Di atas lahan kurang lebih 1 hektare, santri-santri itu cekatan menjalankan tata produksi berbasis agro teknologi. Berpegang teguh pada visi Rahmatan lil alamin, mereka mampu menuai pangan dari lahan garapan untuk kebutuhan santri atau pun dijual di gerai organik dan jejaring pesantren.
Geliat santri-santri dalam menjaga ketahanan pangan dan penyelamatan lingkungan di pusat pemerintahan Kota Intan itu, menjadikan Ath-Thaariq sebagai representatif Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) PBB untuk kategori family farming decade di Indonesia untuk tahun 2018-2028.
Sementara itu di wilayah perkotaan, Pesantren Miftahul Khoir yang memiliki lahan yang terbatas di Kota Bandung, tetap mampu bergeliat di bidang industri kreatif, yakni fesyen.
Lewat brand Alifba Family Wears yang berfokus pada baju anak-anak, unit bisnis pesantren Miftahul Khoir yang dirintis sejak tahun 2018 itu bisa meraup omzet dari puluhan hingga ratusan juta Rupiah per bulannya.
Setiap pundi-pundi yang dihasilkan, digunakan untuk pengembangan pesantren dan juga pemberdayaan santri-santri, khususnya bagi santri yang tidak mampu.
Begitu pun Pesantren Darul Hidayah memiliki cara yang berbeda untuk berdaya. Pesantren yang berada di kawasan padat penduduk Bandung itu, memiliki unit usaha yang bergerak di sektor teknologi, yakni dengan menciptakan Lampu Limar (lampu mandiri rakyat) bertenaga surya.
Ribuan lampu dengan tenaga terbarukan yang diproduksi di pesantren Darul Hidayah setiap bulannya ditebarkan ke berbagai pelosok negeri yang belum tersentuh aliran listrik.
Berdasarkan Pangkalan Data Pondok Pesantren Kementerian Agama (Kemenag) RI pada 2021, di Jabar terdapat 8.343 pesantren. Lebih banyak dibandingkan Banten (4.579 pesantren), Jawa Timur (4.452 pesantren) maupun Jawa Tengah (3.787 pesantren).
Pesantren di Jabar menyimpan potensi 'emas' yang besar untuk memperkuat ketahanan pangan dan menggerakkan roda ekonomi di masa yang akan datang. Di pesantren jua lah terdapat sumber daya manusia pada usia produktif berhimpun.
Laman Open Data Jabar pada 2021, mengungkapkan jumlah santri di Jabar tercatat hampir mencapai 1 juta jiwa, tepatnya 907.515 jiwa. Tak heran jika Pemerintah Provinsi dan Bank Indonesia Jawa Barat berinvestasi di pesantren lewat berbagai program unggulan.
Komisioner KPAI Ai Maryati Solihat dalam kolom 'Hari Santri dan Bonus Demografi di Indonesia' yang terbit di detikcom pada 21 Oktober 2022, menyebut Indonesia akan mendapatkan bonus demografi dari kalangan santri.
Indonesia akan mencapai manusia produktif di atas usia 15 tahun dan di bawah 64 tahun di tahun 2030-2040. Sehingga anak-anak yang saat ini menjadi bagian santri, akan menjadi populasi yang menjadi target sosial lapis generasi emas yang membawa kemajuan bangsa menuju kesejahteraan ekonomi.
"Menurut Bappenas pada tahun tersebut penduduk usia produktif Indonesia mencapai 64% dari total jumlah penduduk yang diproyeksikan berjumlah 270 juta jiwa. Secara sederhana dengan meningkatnya usia produktif akan meningkatkan modalitas sosial dan pertumbuhan dalam berbagai lini," tulis Ai seperti dikutip detikJabar.
Wakil Gubernur Jawa Barat Uu Ruzhanul Ulum mengungkapkan, berbagai program dan inovasi dalam rangka mendorong ketangguhan dan pemerataan perekonomian di seluruh lapisan masyarakat di wilayah Jawa Barat.
Adapun Inovasi yang telah dilakukan Pemerintah Provinsi Jawa Barat yaitu One Pesantren One Product (OPOP). Untuk OPOP, Pemprov Jabar telah menginvestasikan dana hingga ratusan miliar Rupiah untuk memantik ketahanan pangan dan pusat ekonomi pesantren-pesantren di wilayah Jabar.
"Kalau pesantren ekonominya hebat, mungkin ada efek domino kepada tetangga dalam bidang ekonomi," ujar Ruzhanul dalam West Java Investment Summit 2022 Day 2, Kamis (6/10/2022).
Pakar ekonomi dari Universitas Pasundan (Unpas) Acuviarta Kartabi melihat pesantren sebagai roda penggerak ekonomi berkelanjutan di Jabar. Sebab, ia melihat pesantren merupakan sebuah institusi yang memiliki sumber daya manusia yang mumpuni.
"Jelas pesantren itu tidak hanya berbasis pendidikan, tapi juga merupakan roda penggerak ekonomi. Tidak ada keraguan bahwa pesantren sebagai suatu penggerak ekonomi, karena memiliki SDM yang bagus dan organisasi yang bagus," kata Acuviarta kepada detikJabar, Kamis (17/11).
Lalu bagaimana geliat pesantren-pesantren di bidang ketahanan pangan dan ekonomi di Jabar ? Simak di halaman selanjutnya.
Ketahanan Pangan dengan Konsep Rahmatan Lil Alamin
Santri dari Pesantren Ath-Thaariq tengah menyiram tanaman sayur (Yudha Maulana/detikJabar)
|
Jalan setapak terhampar ketika detikJabar menuju lokasi pesantren Ath-Thaariq yang berada di Kampung Cimurugul, Kelurahan Sukagalih, Kecamatan Tarogong Kidul, Kabupaten Garut. Walau berada dekat kantor Bupati Garut, pesantren ini terletak di tengah persawahan, akses menuju pesantren ini hanya bisa dilalui oleh sepeda motor dengan jarak kurang lebih 100 meter dari jalan utama.
Di sana, detikJabar menemui Faisal Syahril Sidiq (25) salah seorang santri yang ditugaskan mengurus berbagai macam tanaman dan ternak di Ath-Thaariq. Pria dengan senyuman yang ramah itu mengajak berkeliling melihat berbagai macam tanaman dan ternak yang dibudidayakan di lingkungan pesantren.
Beragam tanaman ditanam di sana mulai dari beragam palawija seperti singkong, kacang panjang, talas, oyong, umbi ganyong, sorghum dan lainnya. Rupa-rupa sayuran dan buah seperti salada, buncis, tomat ceri, labu, kelapa hingga tanaman herbal macam temulawak, temuireng, rosela, telang, daun salam, kenikir, komprey, randa midang dan lainnya.
Dikelilingi oleh persawahan, pesantren ini bisa memproduksi 3,5 ton beras dari sawah yang memiliki luas kurang lebih 4.500 meter persegi. Di sana juga terdapat sarana pemuliaan tanah untuk kompos, pupuk cair dan juga budi daya maggot.
Selain itu, ada juga kolam ikan nila dan lele yang tak hanya diambil ikannya, tetapi airnya juga dimanfaatkan untuk keperluan menyiram tanaman. Pemberian pakan ikan pun diselingi dengan keong sawah yang dibudidayakan dalam kolam, keong itu akan direbus terlebih dahulu sebelum diberikan kepada ikan.
"Saya tertarik datang ke sini, karena ini gudangnya ilmu agama dan pertanian. Jadi banyak hal yang saya dapatkan di pesantren ini. Itu jadi acuan, selain ilmu agamanya, pertanian di sini juga sangat dikedepankan, pokoknya tentang alam dan lingkungan bagaimana menjaga, merawat, dan menghasilkan antara alam itu sendiri," ujar Sidiq saat berbincang dengan detikJabar, 11 November 2022.
![]() |
Sudah tiga tahun Sidiq menimba ilmu di pesantren ekologi ini, selama itu ia mengonsumsi pangan yang berasal di lingkungan pesantren. Tiap komoditas diklasifikasikan ke dalam 42 zona di atas lahan 1 hektare milik pesantren.
"Untuk karbohidrat ada dari beras, kita selingi juga dengan jagung atau sorgum. Namun, karena ini musim penghujan terus, paling kita yang paling banyak itu dari talas atau umbi ganyong, karena setiap musim ada dan dia tidak terpaut dengan iklim," ujarnya.
Sidiq pun mengajak detikJabar melihat aneka tanaman herbal yang dibuat teh seperti telang. Di sana terdapat fasilitas untuk mengeringkan teh dan pengemasan. Teh-teh dari bunga yang berkhasiat menyembuhkan keluhan medis itu pun dijual di gerai-gerai penjual komoditas organik di Jawa Barat.
Setiap hasil pangan akan dikonsumsi oleh penghuni Pondok Pesantren, sementara hasil yang berlebih atau surplus dijadikan komoditas untuk dijual kepada komunitas lain atau jejaring pesantren.
![]() |
Walau dibekali ilmu pertanian dengan paradigma keanekaragaman hayati, namun urusan agama tetap menjadi yang utama di pesantren tersebut. Saat ini, ada sekitar 15 santri yang bermukim sambil menimba ilmu agama dan pertanian di Ath-Thaariq.
"Agendanya biasanya Subuh, jadi setelah Subuh siap-siap sekolah. Ada yang kuliah juga, habis Maghrib kumpul semua sampai ke setengah 10-an, yang mungkin ada waktu luang, sebelum sekolah atau kuliah kita siram tanaman, kalau musim hujan kita cabuti rumputnya sore," katanya.
Tak ada yang terbuang sia-sia di pesantren ini. Seperti halnya tanaman atau dedaunan yang layu akan diolah menjadi pupuk dengan bio komposting. Benih atau biji-bijian yang berlebih dijadikan sebagai seed art atau seni merangkai biji di papan yang bernilai ekonomis.
Berawal dari Keresahan hingga Menanam untuk Tuhan
Berdirinya pesantren ini tak lepas dari sosok aktivis Nissa Wargadipura (50), wanita yang masuk dalam deretan 11 tokoh inspiratif Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM) itu mendirikan Pesantren Ekologi Ath-Thaariq karena resah melihat kondisi para petani di Sagara, Garut yang terlilit utang dan menjual lahan garapannya karena tak memahami soal tata produksi.
Sekedar diketahui, Nissa merupakan salah satu pendiri dari Serikat Petani Pasundan (SPP). Ia telah malang melintang melakukan advokasi kepada petani-petani yang berhadapan dengan kasus agraria, mengubah paradigma dari pupuk kimia ke organik hingga memberikan pemahaman kesetaraan gender bagi kaum hawa yang bercocok tanam.
Ia pun memberikan kritik keras terhadap program Revolusi Hijau, yang dinilainya merusak tatanan sosial, ekologi dan keanekaragaman hayati karena para petani hanya diperkenankan menanam satu jenis tumbuhan saja seperti contohnya pohon karet yang diimplementasikan di 2.500 hektare lahan di Sagara Garut untuk digarap 700 kepala keluarga.
"Ternyata karet itu harus menunggu lama, 7-8 tahun baru keluar getahnya. Bayangkan selama 8 tahun mereka harus mengutang kanan dan kiri, karena tanam palawija enggak bisa, tela enggak bisa, karena akan mengganggu produktivitas karetnya sendiri. Lalu jalan keluarnya apa? lahannya dijual, karena mereka selama 8 tahun harus menghadapi situasi utang yang selama ini didampingi oleh Teh Nissa," katanya.
![]() |
Setelah itu, Nissa mundur dari Serikat Petani Pasundan kemudian bersama suaminya mengorganisir suatu laboratorium alam untuk pertanian dengan pendekatan holistik pada tahun 2008. Laboratorium alam itu diwujudkan dalam bentuk Pesantren Ath-Thaariq dengan visi rahmat bagi semesta pada 2008 silam.
"Dari kegelisahan itu maka kemudian mendirikan Ath-Thaariq, dimana menjadi pesantren dengan menekankan kepada planting for God (menanam untuk Tuhan), kan Revolusi Hijau itu antitesis dari semesta. Jadi Revolusi Hijau itu merusak tatanan, manusia jadi kapitalis, itu sesuatu yang ditentang oleh Tuhan," tuturnya.
Ajak Pemuda Mengembangkan Desa hingga Dilirik FAO PBB
Lewat kurikulum pada visi Rahmatan lil alamin, transfer ilmu pertanian yang berorientasi pada ekonomi dan penyelamatan ekologi pun diberikan kepada para pemuda di desa-desa di Garut, yang akhirnya menjadi santri Ath-Thaariq.
"Desa-desa banyak ditinggalkan, banyak anak-anak petani tidak ingin bertani, karena apa? karena Revolusi Hijau itu, maka desa tidak berkembang, mereka jadi tertinggal. Ini ingin kita kembalikan lagi, maka saat mereka datang ke Ath-Thaariq tidak membawa bekal, pulangnya membawa bekal. Bukan hanya mendapatkan hulu hilir pendidikan di desa, mereka juga akan mencintai desa dan hidup di desa," katanya.
"Kita juga mencari skema bagaimana lahan garapan ini tidak berbasis monokultur karena Revolusi Hijau tapi Biodiversity, tapi menaikkan ekonomi dan ekologi," kata Nissa melanjutkan.
Pesantren ini pun tak hanya menerima santri dari daerah setempat, tetapi juga kerap didatangi oleh mahasiswa Kampus Merdeka maupun organisasi-organisasi yang memiliki kepedulian terhadap penyelamatan alam dan pangan. Tak hanya dari dalam negeri, bahkan pembelajar dari luar negeri sekali pun datang ke Ath-Thaariq.
"Santri itu hanya sedikit tapi yang reguler yang banyak, kelas reguler itu satu minggu dia belajar dari mana, contohnya dari Uniga, kampus merdeka, anak-anak Bestari, santri-santrinya dari luar, yang menetap itu sedikit itu hanya sekitar 15 orang. tapi kebanyakan kita berhadapan dengan banyak orang, komunitas pembelajar, baru datang rombongan FAO untuk belajar di kita," ujarnya.
Soal visi Rahmatan lil alamin itu, para santri diharapkan bisa mendapatkan tiga keadilan selama menimba di Ath-Thaariq, yakni keadilan sosial, keadilan gender dan keadilan lingkungan.
"Jadi jelas pendekatannya diturunkan lagi planting for God lagi itu namanya agro ekologi jadi itu sistem untuk mempertemukan ilmu kampung dan ilmu kampus, diturunkan lagi lebih spesifik dengan memakai kearifan lokal buruan bumi dan kebon taleun (kebun pekarangan) tapi sistemnya pengelolaan berbasis budaya orang Sunda, zona-zona ini yang kemudian diperkuat, ada zona sayuran non popular jotang, jonghe, kelor, kersen, roway-rowayan ada banyak zona," katanya.
![]() |
Karena geliat yang ditunjukkan, Pesantren Ath-Thaariq diganjar sebagai representatif family farming decade oleh FAO PBB. Bahkan, orang-orang FAO Indonesia sempat mendatangi Ath-Thaariq untuk bertukar gagasan.
"Ath-Thoriq jadi representatif FAO Indonesia di rentang 2018-2028 untuk family farming," ujarnya.
Siap Hadapi Ancaman Resesi Global 2023
Nissa optimistis, pesantren yang diampunya memiliki sistem dan bekal yang cukup untuk menghadapi badai resesi yang mulai mengancam sejumlah negara di dunia. Sejumlah pakar menakar, resesi akan membuat harga makanan dan minuman melonjak karena inflasi.
"100 persen kami siap karena kami tidak belanja, kami punya kelapa sendiri, kami punya ikan sendiri, telur sendiri, ayam sendiri, beras sendiri. beras kami 3 ton setengah padahal cuma 4500 meter persegi untuk 15-30 orang mau dimakan seperti apa?," katanya.
![]() |
Selain memiliki hasil panen padi sebanyak 3,5 ton, Nissa juga menekankan agar sumber karbohidrat divariasikan dengan mengonsumsi tanaman lainnya seperti oyong, sukun, singkong atau umbi-umbian lainnya.
"Karbohidrat kami tidak hanya beras tapi juga ada sukun, singkong jadi aman 1.000 persen. kami punya baligo, labu kuning, kami punya oyong, kalau mau kuah santan tinggal petik bikin sendiri, kami sangat aman, punya porang, talas, punya kacang panjang, punya eceng genjer itu semua aman," pungkasnya.
Pesantren Bandung Raup Ratusan Juta Rupiah dari Fesyen Anak
Alifba Family Wear, unit usaha di Pesantren Miftahul Khoir (Foto: Yudha Maulana/detikJabar)
|
Pesantren Miftahul Khoir memiliki usaha konveksi dan baju-baju anak dengan merk Alifba. Omzet di bidang fesyen ini pun tak main-main dari puluhan juta hingga ratusan juta Rupiah setiap bulannya.
Suara Deru mesin jahit menyambut detikJabar ketika menyambangi tempat produksi baju di Miftahul Khoir. Sejauh mata memandang, di dalam ruangan itu bertumpuk potongan kain yang telah dipola yang siap dijahit menjadi baju di antara mesin-mesin jahit yang berjejer.
Tempat produksi itu berada di rumah Ustaz Yusuf Hendra Saputra SEI (35), seorang pengajar di Miftahul Khoir yang sekaligus menggawangi bisnis konveksi dan baju anak Alifba. Yusuf mengatakan, setiap tingkat rumahnya memiliki fungsi masing-masing.
"Lantai dua tadi untuk keperluan display produk Alifba, lantai tiga untuk menjahit, memotong pola, steam dan packing, sedangkan lantai empat untuk sablon," tutur Yusuf ketika berbincang dengan detikJabar 9 November 2022.
Berawal dari Usaha Sablon hingga Mampu Ekspor Produk Fesyen
Yusuf mengatakan, usaha di bidang fesyen ini berawal dari usaha jasa sablon di pesantren. Sebagai modal, ia menjual mobil pribadinya untuk menjalankan bisnis sablon tersebut. Saat itu, ia hanya mendapatkan pesanan sablon dari sang adik, yang telah lama malang melintang di dunia konveksi.
Usaha yang dirintis Yusuf berbarengan dengan program OPOP pada 2019, saat itu ia mendaftar dan lolos audisi pertama. Bisnisnya mendapatkan kucuran dana segar dan pendampingan dari Pemprov untuk pengembangan usaha.
"Kalau dari sablon saja, tidak akan berkembang. Dari situ mulai tercetus lah produk Alifba, saat ikut OPOP lahir Alifba. Mengembangkan usaha dari asalnya sablon saja tapi jadi suatu produk," kenang Yusuf.
![]() |
Ia pun membuat proposal pengembangan usaha, Yusuf menekankan dalam setiap produk Alifba tak ada limbah kain yang terbuang. Bahkan, ia membuat rancangan agar limbah kain atau majun dari hasil produksi dijadikan produk lainnya yang lebih kecil, seperti celana dalam anak.
"Kita dituntut untuk berinovasi, kita bikin brand. Akhirnya setelah berbincang, kita ambil segmen anak-anak. Saya belajar dari pesantren yang berpengalaman," katanya.
"Kita pilih pasar di mana kita buat baju dengan kualitas yang bagus, tetapi dengan harga yang murah. Saya juga selalu mengingatkan kepada yang beli, agar selalu mencuci baju sebelum dipakai, agar bersih apalagi kalau ingin dipakai ibadah," katanya.
Tak disangka ternyata idenya itu membuat juri OPOP terkesan. Ia pun kemudian lolos seleksi kedua, dan mendapatkan kucuran dana tambahan untuk pengembangan usaha lanjutan. Produk dari Miftahul Khoir pun pernah diekspor ke Dubai, dengan menginduk ke Pesantren Daarut Tauhid.
"Kami pernah ekspor dengan menginduk ke Daarut Tauhid," ujar Yusuf.
![]() |
Berada di lingkungan pesantren, tentu saja, Yusuf kerap melibatkan santri. Harapannya, santri bisa memiliki bekal dan pengalaman untuk berwirausaha setelah lulus dari pondok pesantren. Santri yang ikut berkegiatan di Alifba pun tentu saja mendapatkan uang saku.
"Santri dikasih jatah libur di Sabtu dan Minggu, tapi ada yang tidak pulang. Jadinya mereka sering ikut di sini, alhamdulillah kalau lagi ramai juga suka kebantu dengan adanya dari santri itu," katanya.
"Kewirausahaan ditekankan tapi tidak memaksa, karena itu atas dasar keinginan masing-masing, tapi saya suka menawarkan misal yang sudah lulus daripada tidak ada kerjaan bisa bantu-bantu di sini," ujarnya menambahkan.
Rahasia Tahan Banting di Masa Pandemi
Saat pandemi COVID-19 melanda, Yusuf bersyukur bisnisnya tak mengalami goncangan yang signifikan. Sebab, ia beradaptasi dengan memasarkan produknya secara daring. Ia pun kerap mendapatkan pesanan menjahit dari dinas-dinas.
"Waktu COVID-19, bisnis masih bagus. Saya berjualan online, karena brand fesyen di e-commerce. Saya mainkan di IG. Karena menurut saya bisnis yang bagus itu, yang mengikuti pasar, karena kita tidak bisa mengubah ekosistem pasar yang ada," ujar ayah beranak tiga itu.
Saat ini, bisnis konveksi dan fesyen Alifba di Miftahul Khoir memiliki kapasitas produksi 100 pcs baju dan 300 pcs sablon baju per harinya. Omzet yang diraup pun bisa mencapai puluhan juta dan ratusan juta per bulan.
"Omzet sebulan kalau lagi sepi, sekitar 40 jutaan. Tapi kalau lagi ramai misal di awal tahun sampai ratusan juta," ujarnya.
![]() |
Uang dari hasil penjualan baju pun, ia alokasikan untuk kesejahteraan pegawai dan pembangunan pesantren Miftahul Khoir. Salah satu yang saat ini dibangun adalah asrama akhwat atau bagi santri putri.
"Kalau sebagiannya ke bapak, untuk pembuatan asrama akhwat. Yang belajar bisnis di sini juga dapat tambahan (uang), apalagi yang hari libur suka bantu di sini. Kalau ada acara lomba misal tingkat kota atau nasional, kami yang menanggung, termasuk bila ada acara seperti Maulid dan sebagainya," ujarnya.
"Harapannya juga untuk membantu santri-santri yang kurang mampu di sini," tutur Yusuf melanjutkan.
Rencananya, Yusuf akan lebih fokus memproduksi baju merk Alifba. Ia pun akan lebih fokus melakukan penjualan secara online.
"Bisnis fesyen itu harus mengikuti zaman, harus kreatif kalau monoton mati bisnis fesyen mah. Ke depannya akan nge-blast di media sosial, rencananya kita akan membangun studio dan memiliki tim untuk berjualan di Facebook, Instagram atau TikTok," kata Yusuf.
Lampu Limar, Santri Berbagi Terang ke Penjuru Negeri
Lampu Limar dari Pesantren Darul Hidayah (Foto: Yudha Maulana)
|
Ponpes Darul Hidayah tak jauh berbeda dengan ponpes lainnya. Hanya saja, ada ruangan 'khusus' yang membuat pesantren yang terletak di tengah-tengah gang padat penduduk ini berbeda dengan pesantren lainnya.
Di ruangan mungil seluas kurang lebih 4x3 meter itu, terlihat dua orang santri tengah memproduksi lampu Limar, atau singkatan dari lampu mandiri rakyat.
Tangan santri-santri itu terlihat terampil saat menyolder komponen lampu. Usai kelistrikan rampung, tugas selanjutnya memasang dudukan lampu dan kaca bias. Langkah terakhir adalah menguji kualitas dari lampu tersebut sebelum memasukkannya ke dalam dus.
Di dalam dus itu, terdapat lima lampu Limar yang dilengkapi dengan stop kontak dan bermeter-meter kabel. Limar ini dipasarkan satu paket dengan panel surya sebesar berkemampuan 20 WP.
Instalasinya pun sederhana, panel surya mengonversi listrik yang kemudian disimpan ke aki, lalu lampu Limar mengambil daya dari aki yang telah terisi listrik tersebut. Metode ini diklaim efektif dan ekonomis untuk memberikan penerangan bagi daerah-daerah terpencil.
Meski diproduksi pesantren, lampu Limar ini bisa bertahan hingga pemakaian lebih dari 10 tahun. Lampu Limar tetap bisa menyala, meski panel surya tak bisa menangkap terang matahari secara optimal karena misal cuaca mendung. Meski memiliki daya 1,5 watt, tetapi terang dari lampu Limar ini seperti bola lampu 10 watt.
Bermula dari Rasa Sayang kepada Ibu
Sekretaris I Yayasan Pondok Pesantren Terpadu Darul Hidayah, Ridwan Hidayat, mengatakan gagasan lampu Limar ini datang dari seorang inventor dan pengajar bernama Ujang Koswara pada 2008, tepatnya saat konversi minyak tanah ke gas dilakukan secara masif.
![]() |
Menurut Ridwan, ketika itu Uko --sapaan Ujang-- melihat ibunya kesulitan mencari sumber penerangan. Pasalnya, sehari-harinya ibu dari Uko yang tinggal di Pakenjeng, Garut, mengandalkan cempor atau lampu teplok yang berbahan minyak tanah.
"Ketika itu ibunya kang Uko bilang kenapa harga minyak tanah mahal, ibu gimana. Akhirnya karena rasa sayang beliau kepada ibunya, akhirnya Kang Uko mencari solusi untuk ibunya. Awalnya berawal dari ketidaksengajaan, jadi terinspirasi saat melihat lampu LED dari ponsel yang dayanya dari baterai," ujar Ridwan yang juga bagian dari tim produksi lampu Limar.
Produk awal pun dirampungkan, semula lampu Limar masih bertenaga genset. Warga pun urunan membeli bensin atau solar untuk mengisi daya genset, yang isinya disalurkan kepada lampu Limar.
Melihat masih ada warga yang masih diselimuti gelap kala malam, Uko pun mendirikan Yayasan Pilar Peradaban. Kemudian, pada 2015, Ponpes Darul Hidayah dilibatkan untuk memproduksi lampu Limar. Misinya tetap sama, yakni memberi penerangan pada warga di pelosok negeri.
Libatkan Tenaga Santri
Mengusung misi mulia, tenaga santri pun diserahkan untuk memproduksi lampu Limar. Terhitung, ada kurang lebih 20 santri yang terlibat dalam produksi lampu Limar ini. Ridwan menegaskan santri menjadi lebih produktif. Hal itu juga sesuai dengan arahan Ketua Yayasan H Asep.
"Karena santri itu kebiasaan siangnya kalau enggak ada tugas ya tidur. Jadi bagaimana kalau selain menimba ilmu agama, juga punya bekal dalam kehidupan. Akhirnya dibuka produksi Limar," kata Ridwan.
Ia mengatakan, workshop produksi Limar ini dibentuk dalam konsep ekstrakurikuler sehingga tidak ada paksaan bagi santri untuk terjun memproduksi. Walau demikian, ekstrakurikuler ini diminati karena santri juga bisa dapat uang saku dari hasil keringatnya.
"Awalnya ada beberapa santri yang pegang solder itu takut, tapi setelah mengikuti ekskul ini, ada barang elektronik yang rusak mereka jadi berani dan bisa memperbaiki," ujar Ridwan.
![]() |
Seiring dengan berjalannya waktu, rupanya ada keluhan terkait penggunaan genset untuk Limar. Pasalnya, distribusi tenaga listrik dari genset untuk lampu menemui kendala di jarak. Kejadian itu terjadi di Cianjur Selatan.
"Rumah di pelosok itu kan ada yang jarak antarsatu rumah dengan satu rumah lainnya itu beratus-ratus meter, ini juga jadi kendala. Akhirnya, kang Uko pernah memasang solar panel di Karawang. Pada 2018 kita mulai geser ke solar panel, jangan sampai membebani masyarakat juga," ujar Ridwan.
Dalam satu bulan, rata-rata 100 paket Lampu Limar berhasil diproduksi atau dengan kata lain sekitar 500 bola lampu Limar.
Subsidi Santri Tak Mampu
Harga produksi dari satu paket lampu Limar plus solar panel ini bisa memakan biaya hingga Rp 2 juta. Sebab itu, pihaknya menggandeng pihak-pihak lain yaitu TNI dan CSR perusahaan untuk berbagi terang dengan warga di pelosok.
"Kita bekerja sama dengan TNI juga, karena memang TNI mereka lebih tahu daerah mana yang sangat memerlukan penerangan dan belum teraliri PLN," ucap Ridwan.
"Untuk komersial ke warga sih kita tidak ya, karena untuk ke masyarakat (pengguna), kita gratiskan melalui CSR seperti dari bank BJB dan Telkom. Kemudian juga pernah dengan perusahaan swasta di Kalimantan Timur, kerja sama dengan Pemprov Jabar, kemudian dengan perusahaan di Papua, NTT, Sulawesi, Kalimantan, Sumatra," kata Ridwan.
![]() |
Penghasilan yang datang dari produksi lampu Limar ini, dijadikan subsidi silang untuk membiayai santri-santri dari kalangan tidak mampu. Sekitar 300 santri yang menimba ilmu di Ponpes Darul Hidayah.
Persentasenya 60 persen berasal dari kalangan yang mampu dan 40 persen berasal dari kalangan yang tidak mampu. "Ada anak jalanan juga, kita ajak ngaji di sini. Anak-anak itu kita bantu urus juga Kartu Indonesia Pintar (KIP), bebas uang bangunan. Untuk santri yang menginap, uang dari Limar kita belikan makanan," ucap Ridwan.
Azis Santoso (19), santri di Ponpes Darul Hidayah, mengaku merasakan manfaat dari ekstrakurikuler produksi Limar tersebut. Menurutnya, selain dibekali ilmu reparasi barang elektronika, dia juga bisa mendapatkan pengalaman ketika mengerjakan Limar ini.
Lampu Limar racikan Ponpes Darul Hidayah ini telah memenangkan penghargaan dari Pemprov Jawa Barat, yakni juara ketiga One Pesantren One Product (OPOP) pada 2019. Uang pembinaan pun digunakan untuk memperbarui peralatan produksi.
Jaga Konsistensi hingga Ekosistem Pangsi
Logo Bank Indonesia (Foto: Sylke Febrina Laucereno/detikFinance)
|
Kepala Diskuk Jabar Kusmana Hartadji mengatakan, saat ini terdapat 8.294 pesantren yang memiliki Nomor Statitsik Pondok Pesantren (NSPP). Jika tanpa NSPP, jumlah pesantren di Jabar bisa mencapai 10 ribu lebih.
"Ini jumlah yang sangat besar, dan Jabar memiliki jumlah pesantren yang besar dengan sebaran 31,8 persen," ujar Kusmana saat dihubungi detikJabar, 10 November 2022.
Salah satu program yang dicanangkan ialah One Pesantren One Product (OPOP). Program yang dijalankan sejak tahun 2019 itu, setidaknya memantik geliat ekonomi di 1.000-an pesantren setiap tahunnya.
Baca juga: Ketika Jengkol-Kopi Jabar Menjelajah Dunia |
"Diketahui dari posisi bahwa selama ini pesantren mengandalkan hibah, bansos, infak sodakoh tapi ternyata ada pesantren yang membiayai diri sendiri, bahkan sampai sekitarnya. Itu yang menjadi latar belakang gubernur meluncurkan OPOP, ditargetkan selama kepemimpinan beliau sampai 2023 ada 5.000 ponpes yang menjadi peserta program," ujar Kusmana.
Ia mengatakan, dalam perancangan OPOP, pihak Diskuk mengundang sejumlah pesantren yang menjadi percontohan bisnis di pesantren seperti Daarut Tauhid, Al-Ittifaq dan Nurul Iman. Selain itu, focus group discussion (FGD) juga digencarkan dengan mengundang lembaga dakwah, ormas Islam, Departemen Agama, ulama dan tokoh bisnis.
"Di tahun pertama sempat ada kesulitan dalam penjaringannya, karena melalui online. Audisi tahap satu saat mendaftar kita cek administrasinya, nomor statistik yang tadi, kemudian membuat proposal bisnis, scale up atau yang belum punya bisnis, awal kita bisa merekrut 1000-an pesantren," katanya.
Pendampingan dan uang modal pun diberikan kepada 1.000 pesantren peserta OPOP. Dana yang dikucurkan berkisar Rp 25 juta-Rp 35 juta per pesantren yang lolos audisi tahap pertama. Sementara, tiga pesantren yang lolos ke tiga besar akan diberikan kucuran dana investasi hingga Rp 400 juta.
Beragam produk pun dicanangkan oleh para peserta di berbagai bidang mulai dari pangan, fesyen, perdagangan umum hingga jasa. Produk UMKM dari pesantren ini bahkan sebagian telah ada yang menembus pasar ekspor.
Menjaga Konsistensi Ketahanan Pangan dan Ekonomi di Pesantren
Kendati begitu, Kusmana tak menapik ada pesantren yang tak lagi melanjutkan usaha seperti yang diajukan. Ia mengungkap sejumlah kendala yang dihadapi oleh pesantren.
"Ini terjadi, ada beberapa yang tumbuh, setelah dicek tidak lagi memproduksi yang di awal (diajukan). Jadi kita ada juara kecamatan, kota dan provinsi. Ini rawan saat juara kecamatan, dia misal percetakan karena mungkin ada potensi bisnis yang lain dia beralih ke perikanan, ada juga yang santri yang memegang bisnis sudah lulus, otomatis menjadi terbengkalai, oleh karena itu penting juga kaderisasi di pesantren, atau kiainya langsung menugaskan," ujar Kusmana.
![]() |
Ia melihat sejumlah pesantren yang bertahan melanjutkan bisnisnya, berasal dari pesantren yang melibatkan seluruh elemen di pesantren mulai dari pimpinan ponpes hingga santri.
"Setelah melihat bisnis juara provinsi, itu karena terlibat langsung dari kiai-kiainya. Santri yang mukim atau tidak mukim juga bisa mendapatkan tambahan pendapatan," katanya.
Melihat potensi yang ada dari pesantren, Kusmana optimistis Jawa Barat tidak akan goyah selama pesantren mengoptimalkan fungsi pemberdayaan, di samping fungsi pendidikan dan fungsi dakwah. Ia juga percaya keberadaan pesantren bisa menjadi benteng dari ancaman resesi global.
"Untuk pangan, peserta OPOP ada yang berjalan di bidang perikanan, termasuk perikanan, peternakan, perkebunan. Kita punya potensi, artinya insya Allah akan menjaga ketahanan kita di masa-masa resesi. Terdekat kita akan melakukan temu bisnis peserta OPOP, sekaligus closing 2022. Di sana kita bertukar informasi, dicarikan offtaker-nya," kata Kusmana.
Pesantren Harus Memahami Potensi yang Dimiliki
Pakar ekonomi dari Universitas Pasundan (Unpad) Acuviarta Kartabi mengatakan, saat ini banyak role model pesantren yang sukses menjalankan roda bisnis seperti Daarut Tauhid di Kota Bandung atau Al Ittifaq di Kabupaten Bandung.
Menurutnya kedua pesantren itu sukses merintis dan mengembangkan bisnis, karena memahami bentuk usaha apa yang cocok dengan potensi yang dimiliki baik dari segi pemahaman model bisnis, geografis hingga sumber daya manusia yang kompeten.
"Pendekatan antara satu pesantren dengan pesantren yang lain itu harus ada keunikan tersendiri beda misalnya kota dan perdesaan karena ada local genuine dan uniqueness. Mungkin ada pesantren yang cocok pengembangan di hilir, ada yang di industri hulu, nah oleh karena itu karakteristik itu harus dibangun. Tapi saya kira pesantren sebagai lokomotif perkembangan ekonomi tidak bisa disangsikan," ujar Acuviarta.
Kolaborasi baik dengan swasta atau pemerintah, ujar Acuviarta, menjadi kunci dalam pengembangan bisnis di pesantren. Sebab, bisnis tak hanya urusan memproduksi tetapi juga menjual.
"Kita harus memperhatikan pemasarannya, kalau saya bergerak di perdagangan kita harus lihat konsentrasi terhadap barang, kalau saya pribadi lebih condong kepada kualitas bukan hanya kuantitas. Ya kualitas dan kesiapan," kata Acuviarta.
Ekosistem Pangsi
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengatakan, Pemprov Jabar bersama seluruh kabupaten/kota di Jabar, Bank Indonesia Jawa Barat dan pemangku kepentingan lainnya melakukan berbagai upaya untuk mewujudkan visi Jabar sebagai poros ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia guna mendukung program kesejahteraan rakyat.
Ridwan Kamil pun menyinggung soal program OPOP, yang dimana tercatat sejak 2019-2021 telah diikuti oleh 2.574 pondok pesantren.
"Capaian ini menunjukkan besarnya potensi pondok pesantren sebagai agen penopang keberlanjutan produksi bagi ketahanan pangan Jawa Barat," ujar Ridwan Kamil dalam keterangannya, ditulis Sabtu 12 November 2022.
Sebagai langkah penguatan Ekonomi dan Keuangan Syariah (Eksyar) serta implementasi digitalisasi di sektor pangan, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Barat bersinergi dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, TPID Kab/Kota se-Jawa Barat serta stakeholders terkait lainnya menggelar DIGISEF:West Java Sharia Economic Festival dan West Java Digital Economic Festival (WJSEF β WJDEF) 2022 pada 2 September 2022 lalu.
![]() |
Pada acara itu berbagai produk unggulan dari produk pesantren di Jabar ditampilkan dalam naungan HEBITREN. Tak hanya dari Ponpes, 30 UMKM unggulan Jabar pun yang terdiri dari produk ketahanan pangan, fesyen dan kriya pun dihadirkan di sana.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Barat Herawanto melaporkan telah melakukan berbagai upaya untuk memperkuat peran ekonomi syariah (eksyar) melalui implementasi teknologi dan digitalisasi guna mendukung ketahanan pangan di Jabar. Diantaranya dengan inisiasi Ekosistem Ketahanan Pangan Terintegrasi (Pangsi).
Dalam keterangan resminya, Herawanto menjelaskan Ekosistem Pangsi merupakan sebuah sinergi hexa helix kolaboratif Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Pemerintah Kab/Kota se-Jawa Barat, Bank Indonesia Jawa Barat, Perbankan dan kelompok masyarakat inklusif diantaranya Pondok Pesantren, Kelompok Masyarakat Subsisten, Kelompok Tani hingga Desa Wisata.
"Untuk memperluas Ekosistem Pangsi tersebut, dalam rangkaian DIGISEF 2022 juga diperoleh komitmen atas dukungan pelaku usaha terhadap Ekosistem Pangsi diantaranya perluasan kerjasama antardaerah (KAD) antar beberapa koperasi dan pondok pesantren, serta bantuan saprodi Program Dedikasi untuk Negeri," ujar Herawanto.