Semangat momentum Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 tentu berbeda dimensi dengan tantangan pemuda di tahun 2022. Pemuda hari ini dihadapkan pada tantangan untuk berkiprah di negara yang sudah berikrar satu tumpah darah, satu bangsa dan satu bahasa ini.
"Ya kalau saya lebih memilih bertani, karena itu keahlian saya. Mungkin inilah kiprah saya sebagai pemuda yang bertani," kata Dadan Ridwan (31), warga Kelurahan Kersamenak, Kecamatan Kawalu, Kota Tasikmalaya, Kamis (27/10/2022).
Kiprah Dadan sendiri selama ini sudah cukup dikenal sebagai petani muda yang menerapkan teknologi pertanian. Selain mengolah kebun sendiri dia juga menjalin kerjasama dengan sederet mitra. Melon, cabai hijau, tomat dan terong adalah beberapa komoditas yang menjadi andalannya dalam menjalankan bisnis pertanian ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ada 8 mitra yang menjalin kerjasama dengan tim saya," kata Duta Petani Milenial Kementerian Pertanian RI tahun 2022 ini.
Dia menjelaskan mitra-mitra usahanya itu tersebar di wilayah Karangresik Kecamatan Cipedes, Kawalu, Ciburuyan Kecamatan Tamansari, Cicariang Kecamatan Kawalu, Karangjaya Kecamatan Cineam dan pesantren Atthohiriyah Mangkubumi.
"Kalau yang di Karangresik itu ada 20 close house, cukup besar," kata Dadan.
Dadan sendiri kini membawahi 4 orang tim inti dan 9 pegawai magang yang mengurusi kebun-kebun yang dikelolanya. Sementara mitra usahanya ada sekitar 20 investor.
"Kalau berbicara kapasitas bisnis mungkin masih kecil, belum ada apa-apanya. Yang penting jalan saja dulu, bisa terus berjalan juga alhamdulillah," kata Dadan.
Kecintaan Dadan terhadap pertanian dimulai pada tahun 2016 lalu, ketika dia memutuskan untuk magang menjadi petani di Jepang.
"Di Jepang saya bekerja sekitar satu tahun. Belajar di sana membuat pandangan saya terhadap pertanian jadi berubah. Di negara maju, pertanian itu sektor yang penting, menjanjikan dan mendapat perhatian dari pemerintah," kata Dadan.
Keseriusan Dadan menjadi petani di Jepang dibuktikan dengan sertifikat penghargaan dari Pemerintah Provinsi Nigata Jepang sebagai petani muda. "Ya semacam penghargaan dari pemerintah di sana untuk petani-petani muda," kata Dadan.
Menggondol banyak ilmu pertanian dari Negeri Matahari Terbit membuat Dadan banyak menyimpan asa untuk membangun pertanian di kampung halamannya Tasikmalaya.
"Tanpa bermaksud tendensius terhadap pertanian di Indonesia, tapi memang banyak hal-hal positif yang harus kita tiru dari negara-negara maju. Baik itu penerapan teknologinya mau pun kultur petaninya," kata Dadan.
Teknologi pertanian dari Jepang, oleh Dadan langsung diterapkan di Tasikmalaya, tentunya dengan penyesuaian-penyesuaian dengan kondisi di tanah air. "Teknologi pertanian di Jepang saya terapkan di Tasikmalaya, memang ada penyesuaian-penyesuaian dengan iklim dan kondisi tanah di Tasikmalaya," kata Dadan.
Selain itu dia juga menerapkan pola kerja petani di Jepang kepada petani di Tasikmalaya. "Kalau di kita petani itu kan berangkat setelah matahari terbit, lalu pulang setelah bedug Dzuhur. Nah kalau di Jepang, jam 3 atau paling lambat jam 5 pagi sudah berangkat ke kebun. Pulangnya jam 5 sore," kata Dadan. Pola kerja petani Jepang itu oleh Dadan kemudian diterapkan di Tasikmalaya.
Selain itu dia juga mengatakan petani di Indonesia umumnya berorientasi pada kuantitas hasil panen, sementara di Jepang berorientasi pada kualitas.
Pola bertani yang berorientasi pada kualitas komoditas yang dihasilkan, menurut Dadan sangat penting terutama bagi petani yang tidak memiliki lahan yang luas. "Kalau orientasinya ke kualitas, dengan lahan yang tak luas pun kita bisa mendapatkan hasil yang maksimal," kata Dadan.
Dia menjelaskan jika petani berorientasi pada kualitas komoditas hasil panen, maka perbandingan luas lahan dengan petani yang mengutamakan kuantitas bisa berlipat-lipat perbedaannya.
"Jadi tidak usah berkebun satu hektar (10.000 meter persegi) dengan lahan 1.400 meter persegi pun hasil panennya sama. Maksudnya nilai uang yang dihasilkannya," kata Dadan.
(mso/mso)