Lika-liku Perjalanan Pendamping ODHA di Bandung

Lika-liku Perjalanan Pendamping ODHA di Bandung

Muhammad Fadhil Raihan - detikJabar
Minggu, 28 Agu 2022 17:56 WIB
Tia (39) pendamping ODHA dari Female+
Tia (39) pendamping ODHA dari FemalePlus (Foto: Wisma Putra/detikJabar)
Bandung -

Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) seringkali berada dalam kondisi terpuruk. Selain karena stigma buruk masyarakat, virus yang mengancam sistem kekebalan tubuh ini juga kerap membuat ODHA putus asa dan pupus semangat untuk berjuang dalam proses pengobatan.

Stigma buruk masyarakat terhadap HIV/AIDS kerap membuat ODHA dijauhi dan dihindari di masyarakat. Padahal sejatinya ODHA membutuhkan bantuan untuk mendampingi proses pemulihan, baik pulih dalam kesehatan maupun pulih dalam mental dan perasaan.

Maka dari itu, kini banyak bermunculan para pendamping ODHA yang bertugas untuk menemani ODHA dalam melakukan pengobatan ataupun menyuntikkan semangat untuk berjuang melawan penyakit yang mematikan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tia (39) adalah salah seorang pendamping ODHA dari Female Plus yang sudah bertugas selama tiga tahun terakhir. Tia sendiri merupakan salah satu ODHA sejak tahun 2018 yang terpapar dari suaminya yang merupakan pengguna napza suntik (Penasun).

Selain karena sesama ODHA, Tia juga mengungkapkan alasannya menjadi pendamping karena ingin memberi bantuan pada teman-teman ODHA di luar sana. Tia juga ingin belajar lebih lanjut mengenai virus HIV/AIDS.

ADVERTISEMENT

"Karena memang aku tertarik ya, kondisi aku seperti ini (ODHA) juga kayaknya buat tertarik. Soalnya aku penasaran sama satu hal pasti pengin, rasanya aku nggak tahu banget tentang ini. Makanya mau belajar, mau mengenal. Sampai akhirnya aku ketemu Female Plus, ada lowongan dan aku senang banget bisa, satu bagian dari Female Plus yang bantu temen-temen," ucap Tia saat ditemui di Female Plus, Jalan Awigombong No. 19, Bandung belum lama ini.

Tia juga merasa senang ketika berhasil membantu beberapa teman ODHA untuk berjuang melawan HIV/AIDS. Pengalamannya sebagai ODHA juga membuat Tia turut senang ketika teman-teman ODHA menunjukkan progres positif.

"Aku senang bisa kasih motivasi, bisa pengaruhi temen-temen untuk berobat, dari yang awalnya kurus banget jadi sehat, dari yang sedih pas ketemu udah senyum-senyum gitu," ucap Tia sambil tersenyum.

Hambatan Menjadi Pendamping

Selama tiga tahun menjadi pendamping ODHA, Tia menyebutkan terdapat beberapa hambatan selama menjalankan tugasnya. Salah satu hambatannya adalah berasal dari diri sendiri ODHA.

"Nemenin yang susah ditarik untuk start (pengobatan) itu memang susah karena penerimaan dirinya," ucap Tia.

Tia menyebutkan hambatan seperti itu juga banyak terjadi pada pasangan suami istri, yang mana hanya salah satu yang dinyatakan positif HIV/AIDS. Hal tersebut terkadang merambat menjadi permasalahan internal keluarga yang membuat Tia semakin sulit menjangkaunya.

"Rata-rata itu terjadi ke pasangan suami istri, yang satunya negatif satunya positif, itu paling susah. Soalnya jadi masalah keluarga yang buat salah satunya jadi lebih drop," kata Tia.

Hambatan tersebut juga terkadang membuat Tia menjadi hilang kontak dan bahkan sampai diblokir. Meskipun begitu, Tia tetap mencoba mengejarnya sambil memberikan sedikit informasi perihal HIV.

"Itu rata-rata (pasangan suami istri) yang kadang aku lost, aku kejar, kalo dia belum siap aku kasih jeda sambil sedikit kasih informasi tentang HIV, plus minus berobat, sedikit-sedikit aja kalo aku mah," jelas Tia.

Kemudian Tia juga menceritakan hambatan lain dalam pendampingan, yaitu masalah ekonomi. Tia menyebutkan masih sangat banyak ODHA yang tidak mampu secara ekonomi untuk melakukan proses pengobatan.

"Terus hambatan lain dari pasien yang tidak punya uang dan BPJS, tapi stadium udah tinggi. Otomatis kan dokter tidak bisa langsung memberikan obat," ucap Tia.

Tia (39) pendamping ODHA dari Female+Tia (39) pendamping ODHA dari Female+ Foto: Wisma Putra/detikJabar

Tia menjelaskan beberapa ODHA yang kurang secara ekonomi berasal dari berbagai kalangan, mulai dari laki-laki seks dengan laki-laki (LSL), perempuan bukan pekerja seks, ada juga anak yang terdampak dari orang tua yang meninggal karena HIV/AIDS.

Terkait hal tersebut, Tia berkoordinasi dengan Komisi Penanggulangan HIV/AIDS (KPA) mengenai program bantuan seperti BPJS. Terkadang juga beberapa ODHA yang didampingi Tia memiliki dilengkapi hambatan lain selain ekonomi.

"Kadang kita udah bantu berkoordinasi dengan KPA terkait program BPJS, udah dibantu tidak punya ongkos. Selain denial (menolak) tidak mau berobat, merasa sehat, ada juga alasan keuangan dan keluarga, jadi hambatan ada dari sana sini," terang Tia.

Tia juga menceritakan bahwa salah satu kelompok ODHA yang sulit didampingi itu adalah anak yang terinfeksi HIV/AIDS dari orang tuanya yang meninggal sebagai ODHA. Anak yang berstatus ODHA tersebut terkadang kurang mendapatkan perhatian dari keluarga, sehingga tidak melaksanakan pengobatan secara konsisten dan efektif.

"Misalkan ada anak yang positif, terus orang tuanya meninggal, yang urus kakek dan neneknya. Ada juga yang enggak diurus. Kalo pun diurus minum obatnya enggak bener, ada beberapa kasus yang sampe lewat juga karena pemberian obat yang ngasal, padahal edukasi kita udah semaksimal mungkin," jelas Tia.

Tia menyebutkan bahwa anak dengan status ODHA ini sangat memerlukan bantuan karena tidak ada yang mengurusnya. Pemerintah pun belum memberikan perhatian khusus pada anak HIV/AIDS.

"Perhatian pemerintah (terhadap anak HIV/AIDS) belum ada, bantuan hanya dari BPJS aja. Terus misalkan dari KPA bantuan suka ada, tapi seadanya aja, beberapa bantuan lain juga tidak fix per bulan," jelas Tia.

Kurangnya perhatian pemerintah terhadap ODHA yang kurang mampu secara ekonomi tentu akan berpengaruh terhadap proses pengobatannya. Terlebih lagi, seorang ODHA harus menjalani pengobatan selama seumur hidup.

(yum/yum)


Hide Ads