Musisi jalanan menggunakan pengeras suara atau sound system biasa dijumpai di persimpangan jalan di Jogja. Kebanyakan dari mereka bergabung dalam komunitas Jogja Akustik Manajemen (JAM). Berikut lika-liku kisah Musisi jalanan mendulang cuan di persimpangan Jogja.
Tentang Jogja Akustik Manajemen
Salah satu pengurus JAM, Agung, mengatakan komunitas ini pertama terbentuk sekitar lima tahun lalu.
"Pertama ngamen pakai sound ya ini. Dulu (diawali) lima tim, sekarang alhamdulillah saat ini ada 32 tim. Satu tim ada yang 3 (orang) ada yang 2 (orang)," jelas Agung saat dijumpai detikJogja di simpang Gondomanan Kota Jogja, Jumat (14/3/2025) malam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Agung mengatakan, JAM tidak pernah membuka perekrutan anggota. Namun, jika ada yang ingin bergabung, ada proses seleksi yang harus dilalui. Agung tak memerinci tahapan seleksi itu.
"Kita ndak pernah merekrut, cuma banyak yang DM (mengirim pesan lewat media sosial) mau gabung. Cuma kita seleksi juga, nggak asal. Kalau nanti asal kasihan pengendara juga," ujar Agung.
"Dari manajemen juga ada aturannya, harus pakai sepatu, rapi. Ada seragam juga, setiap hari Senin, Rabu, Jumat, pakai seragam. Kalau ada ambulans kita harus berhenti, nggak boleh minum miras pas lagi perform, dan ndak boleh memaksa pengendara harus memberi," imbuhnya.
Agung melanjutkan, anggota komunitas bisa menggunakan piranti ngamen seperti alat musik, sound, hingga aki. Piranti itu diadakan secara swadaya oleh anggota komunitas. Setiap selesai ngamen, anggota wajib mengisi kas Rp 5 ribu.
"(Kebutuhan piranti ngamen) Kita saling membantu aja," ujar Agung.
Sedangkan untuk jam mengamen, menurut Agung terbilang fleksibel, namun di beberapa lokasi tidak diperkenankan ngamen sampai malam hari.
"(Pendapatan) Biasanya ya rata-rata Rp 100 ribu, paling apes kalau hujan, udah bubar kalau hujan. Kita ada kas, Rp 5 ribu per hari," urai Agung.
"Rata-rata sampai jam 22.00 WIB, dan hanya di beberapa titik aja yang boleh sampai malam. Kayak di sini (Gondomanan) boleh sampai malam," sambungnya.
Rolling Lokasi Ngamen
Salah satu anggota JAM yang mangkal di simpang Pingit, Jetis, Jogja, Fadli mengatakan JAM membuat jadwal tempat mangkal untuk anggotanya setiap hari. Setiap harinya lokasi ngamen anggota JAM akan di-rolling, mereka akan mangkal di tempat yang berbeda.
"Itu kan ada jadwal, nanti digilir, ini kan sekarang saya main di sini, besok di Ngipik, jadi tiap hari muter, biar pengendara ndak bosen juga," ujar Fadli kepada detikJogja di tempatnya mangkal, Jumat (14/3) malam.
"Kadang berdua, kadang bertiga, tergantung titiknya, kayak Limaran itu harus bertiga. Nanti dibagi (penghasilan), nanti ada kas ada nabung, ada kumpulan wajib 2-3 bulan sekali," lanjut Fadli.
Fadli mengatakan, JAM sudah punya titik mangkal reguler di kota Jogja, meski ia tak membeberkan di mana saja posisinya. Namun menurutnya para anggota JAM juga harus berbagi tempat dengan pengamen lain di luar JAM.
"Kan ada 30-an tim, nanti (tiap tim) itu dapat (jatah mangkal) di (simpang) Limaran sekali, kan ada titik-titik reguler kan, dapatnya sekali-sekali," papar Agung.
"Ada juga yang di luar komunitas, (contohnya) di Ngabean itu (JAM dapat jatah) yang malam. Kalau siang angklung, kan beda (komunitas), di sana ada sound juga kalau pagi tapi bukan JAM. Gantian kalau di sana," pungkasnya.
Guru Ngaji-Jasa Stempel Jadi Musisi Jalanan
Sebagian musisi jalanan Jogja juga punya pekerjaan lain. Ada yang masih membuka jasa pembuatan stempel keliling, bahkan ada yang menjadi guru mengaji Al-Qur'an.
Seperti Fadli, salah seorang pengamen sound yang bekerja menawarkan jasa pembuatan stempel secara keliling. Dia mengamen dan bergabung dalam komunitas Jogja Akustik Manajemen (JAM) saat Pandemi COVID-19 melanda.
"Masuk komunitas ini baru dua tahunan, 2023 kemarin. Sebelumnya (kerja jasa) stempel, tapi sales keliling, buat stempel door to door, ke toko-toko," jelasnya saat ditemui detikJogja di tempat mangkalnya, Simpang Pingit, Jetis, Kota Jogja, Jumat (14/3) malam.
"Cuma karena ada Corona terus sempet sepi (pesanan stempel), terus gabung sini (komunitas JAM). Tapi pesanan Stempel itu masih jalan," sambung Fadli.
Baca juga: Suka Duka Jadi Musisi Jalanan Jogja |
Selengkapnya di halaman selanjutnya.
Berbeda dengan Fadli, rekannya bernama Astro memiliki kerja sampingan yang lebih banyak. Astro juga anggota JAM.
"Saya ngamen sejak SMP, di jalan-jalan di kampung-kampung. Saya juga ada lagu sendiri, kalau ngampung (ngamen di kampung) sering pakai lagu sendiri," ungkapnya.
Astro juga menggeluti berbagai pekerjaan lain untuk menghidupi ibunya. Ia mengaku juga sebagai guru mengaji, sering mendapat job mengisi Quroatul Quran di berbagai acara.
"Kalau ada hajatan nikahan atau khitanan itu sering ngisi Qiroatul Quran, terus ini mendekati hari raya kadang suruh ceramah dikit-dikit. Karena saya sejak kecil suka nyanyi sama ngaji," ujar Astro.
"Sama usaha marketplace itu, jadi misal saya di klitikan nyari HP jadul-jadul murah-murah, itu saya posting di marketplace. Jadi ngajar ngaji terus ngisi qiroatil Qur'an, sama di sini (ngamen)," pungkasnya.
Suka Duka Jadi Musisi Jalanan
Musisi jalanan di Jogja ini menceritakan suka duka mencari rezeki di jalanan. Dari mulai beberapa kali mendapat job mengisi acara dadakan hingga harus gigit jari saat hujan mengguyur seharian.
Seperti Agung, salah satu musisi jalanan yang ditemui detikJogja saat beraksi di simpang Gondomanan, Kota Jogja. Ia mengaku kerap diminta mengisi acara seperti wedding hingga acara kampung.
"Alhamdulillah ada aja yang minta nomor HP (menawarkan) 'Mas besok main di sini ya', kadang kita langsung diangkut juga. Kalau ada job dari pengendara kita ndak pernah mbudget (mematok harga)," jelasnya kepada detikJogja, Jumat (14/3/2025) malam.
Agung juga berbagi pengalaman dukanya menjadi pengamen menggunakan pengeras suara atau sound, yakni saat hujan turun.
"Biasanya ya (pendapatan) rata-rata Rp 100 ribu (per hari), paling apes kalau hujan, udah bubar kalau hujan," ungkapnya.
Agung dan teman-temannya membuat wadah komunitas Jogja Akustik Menejemen (JAM). Anggota komunitas ini makin lama makin banyak di tengah sulitnya mencari pekerjaan.
"Ya alhamdulillah bisa membuka lapangan kerja buat temen-temen juga, temen-temen kan juga merasa cari kerjaan sekarang susah," jelasnya.
Seperti Fadli, salah satu anggota JAM itu menjelaskan di momen Ramadan kali ini penghasilan yang ia dapat semakin besar.
"Bulan puasa gini malah lumayan, biasanya paling Rp 200 ribu (per hari), banyak amplop soalnya. Kadang mendekati lebaran itu kadang dikasih sembako kadang beras," ujarnya kepada detikJogja di tempat mangkalnya, simpang Pingit, Jetis, Kota Jogja, Jumat (14/3) malam.
Fadli tak memungkiri ia sering gigit jari saat hujan seperti beberapa waktu belakangan.
"Susah itu kalau hujan, mau main malah hujan, yawis bubar. Kayak kemarin hujan seharian, yawis cuma main malem itu dua jam," pungkasnya.
Komentar Terbanyak
Jawaban Menohok Dedi Mulyadi Usai Didemo Asosiasi Jip Merapi
PDIP Bawa Koin 'Bumi Mataram' ke Sidang Hasto: Kasus Receh, Bismillah Bebas
PDIP Jogja Kembali Aksi Saweran Koin Bela Hasto-Bawa ke Jakarta Saat Sidang