HIV/AIDS tak pandang bulu. Wanita ataupun pria memiliki risiko yang sama besarnya untuk terinfeksi HIV/AIDS. Dalam istilah medis, dikenal istilah Populasi Kunci (Ponci) untuk menandakan kelompok masyarakat yang rentan atau berisiko tinggi terinfeksi HIV/AIDS.
Ponci mencakup Wanita Pekerja Seks (WPS), waria, pengguna napza suntik (Penasun), dan laki-laki seks dengan laki-laki (LSL). Keempat kelompok tersebut tergolong ke dalam Ponci karena secara tidak langsung berkaitan dengan pemicu virus HIV/AIDS.
HIV/AIDS umumnya dapat menyebar melalui hubungan seksual yang berisiko dan juga jarum suntik untuk penggunaan narkoba. Kali ini, detikJabar berkesempatan untuk berbincang dengan salah satu orang yang termasuk ke dalam Ponci, tepatnya dari LSL.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia adalah E, seorang lelaki yang berusia 20 tahunan dari kelompok LSL dan juga mengidap status orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Status E sebagai ODHA sudah sejak Januari 2015 yang saat itu masih masa kuliah.
E bercerita penyebabnya mengidap status ODHA adalah karena pekerjaannya dahulu sebagai pekerja seks LSL. Ia mengaku tertular HIV/AIDS dari salah satu pelanggannya, namun tidak tahu yang mana orang tepatnya.
"Awalnya tuh karena saya selama jadi pekerja seks sesama laki-laki, tertular dari sesama cuma enggak tahu dari yang mana," ucap E saat berbincang dengan detikJabar di Female Plus, Jalan Awigombong No. 19, Cicadas, Cibeunying Kaler, Bandung, Jumat (26/8/2022).
Saat masih aktif menjadi pekerja seks, E sadar bahwa pekerjaannya berisiko terinfeksi HIV/AIDS. Karena khawatir, ia pun akhirnya mencoba tes HIV di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung.
"Saya baca-baca di internet ternyata hal itu berisiko tertular virus HIV/AIDS, dari sana saya sempat khawatir terus saya cari tes pengobatan gitu, akhirnya datang ke RSHS. Terus katanya kalo mau tes harus ada rujukan dari dokter, akhirnya datang selang seminggu buat periksa," jelas E seraya mengingat masa-masa awalnya terinfeksi HIV/AIDS.
Setelah melakukan pemeriksaan, E mengalami gejala gatal-gatal di bagian anus yang mana terdapat kuman papiloma. Setelah itu, E ditawarkan untuk melakukan tes HIV/AIDS dan dinyatakan positif.
E mengaku sudah mengira akan terinfeksi HIV/AIDS. Bukan tanpa alasan, pemahaman E mengenai HIV/AIDS membuatnya tersugesti terinfeksi virus mematikan tersebut.
"Awalnya sih karena sudah mengira, sudah baca-baca juga jadi sugesti, kayaknya aku kena, deh, yaudahlah terima aja gitu. Terus pas hasilnya dibuka di konseling diminta dipikirkan dengan kepala dingin, saya positif dan harus segera lakukan pengobatan," terang E.
E juga mengaku pemahamannya terhadap HIV/AIDS sebagian besar mencari tahu sendiri. Ia tidak mendapatkan edukasi ataupun sosialisasi terkait gejala ataupun risiko HIV/AIDS.
"Dulu sih enggak ada yang namanya dari LSM kayak gini, ada teman-teman yang sekarang kayak gini (Female Plus). Jadi tahunya ya cari-cari di internet dan cari cara tes HIV," ucap E.
Kelompok Rentan Terinfeksi HIV/AIDS
Profesi E sebagai pekerja seks dimulai saat ia masih duduk di bangku sekolah. Kini, E sudah tidak aktif menjadi pekerja seks semenjak dinyatakan sebagai ODHA. Saat masih aktif menjadi pekerja seks, E mengaku beberapa pelanggannya ada yang menggunakan pengaman dan ada juga yang tidak menggunakan pengaman.
"Sekarang karena udah positif, tahun lalu masih sempet, tapi sekarang udah enggak. Walaupun aku udah pengobatan dan virusnya udah undetected, tapi aku enggak mau ambil risiko buat pelanggan," ucap E.
Meskipun sudah berhenti, E mengaku masih ada beberapa pelanggan yang menghubunginya hanya untuk sekedar berbincang. E juga menyebutkan bahwa pelanggannya sebagian besar dari laki-laki yang sudah berkeluarga.
"Klien aku banyaknya orang yang sudah berkeluarga punya anak dan istri, dari mahasiswa ada beberapa, lebih banyak yang udah berkeluarga dan punya pekerjaan," tambah E.
Hal ini berkaitan dengan data per Desember 2021 menurut Komisi Penanggulangan HIV/AIDS (KPA) Bandung yang menyebutkan terdapat 664 Ibu rumah tangga (IRT) positif HIV/AIDS yang diduga tertular dari suaminya yang melakukan hubungan seksual berisiko.
Sementara itu, data dari KPA Bandung menunjukkan terdapat 414 mahasiswa ber-KTP Bandung yang positif HIV/AIDS per Desember 2021.
Harapan untuk Melawan Stigma
E menceritakan pengalamannya yang kerap menerima stigma buruk sebagai pengidap ODHA. Selain itu, kepribadian E yang cenderung feminim juga membuatnya beberapa kali merasakan perlakukan tidak mengenakkan dari lingkungannya.
"Waktu positif aku pernah baca-baca di media sosial, banyak orang yang menyebut 'dasar, homoseksual', disebut nyusahin orang, disuruh cepat-cepat tobat. Hal kayak gitu jadi trigger sih," jelas E.
Setelah menerima perlakuan tidak mengenakkan, E memilih berteman dengan sesama pekerja seks. E juga mengaku sering merasa takut hadir di tengah masyarakat karena merasa tidak diterima.
"Kalo aku ya karena takut buat terjun di masyarakat, jadi selalu pake topeng biar diterima masyarakat," tutur E.
Meskipun begitu, E memilih untuk tidak mengubah penampilannya seperti perempuan. Ia mengaku tidak ingin terlalu mencolok dan semakin mengundang cacian dari masyarakat.
Kini, status E sebagai ODHA diketahui oleh seluruh keluarganya, mulai dari orang tua, kakak, dan adik. Bahkan, E juga sempat memberikan saran terhadap adik-adiknya agar tidak terjerumus dalam hubungan seksual berisiko tanpa pengaman. E juga bercerita kedua orang tuanya sempat merasa sedih setelah mengetahui status E.
Namun, kini E sudah terbuka terhadap statusnya dan masih berjuang untuk terus melakukan pengobatan. E juga merasa beruntung karena memiliki teman-teman komunitas ODHA yang kerap memberinya dukungan.
"Saya masih rutin berobat enggak pernah bolong, intinya masih ada orang yang mau nerima seorang ODHA," tutur E.
E juga menyebutkan bahwa kini obat untuk HIV/AIDS selalu tersedia dan terdapat layanan kesehatan yang dapat memudahkan akses obat secara gratis.
E juga mengingatkan kepada ODHA di luar sana bahwa mereka tidak sendirian untuk berjuang. Ia memberikan semangat kepada para ODHA untuk terus berjuang dan bertahan.
"Untuk teman-teman yang positif, kalian enggak sendirian loh, sekarang udah ada obat yang bisa menekan virus, kita sama-sama bisa sehat dan survive, yang bisa selamatin itu diri kita sendiri dan obat itu," terang E.
Selain itu, E juga menyampaikan bahwa mental adalah salah satu faktor penting bagi seorang ODHA. Salah satu cara untuk memupuk hal tersebut adalah dengan cara bergabung dengan komunitas penyintas ODHA.
"Misalkan mental kita ambruk enggak bisa selamatin diri sendiri, coba telaah lagi, di balik cercaan, hinaan, dan mata sinis, pasti ada yang masih mau merangkul, jangan patah semangat, ingat kalian enggak sendiri," jelas E dengan riang dan bersemangat.
Di akhir, E juga menyampaikan harapannya untuk melawan stigma buruk masyarakat terhadap ODHA.
"Soal stigma buruk, coba tolong lebih respect sama kita (ODHA), liat kami sebagai manusia, soalnya kondisi seperti ini juga bukan pilihan kita. Intinya masih ada orang yang mau nerima seorang ODHA, yang penting tidak saling merugikan dan saling respect. Coba kenal kami lebih dekat," Harap E.
Simak Video "Prof Zubairi Sebut HIV/AIDS Bisa Dikontrol dengan Obat"
[Gambas:Video 20detik]
(bbn/tey)