Perbincangan dengan Sopir Angkot yang Menunggu Penumpang

Cerita Warga Biasa

Perbincangan dengan Sopir Angkot yang Menunggu Penumpang

Sudirman Wamad - detikJabar
Sabtu, 09 Jul 2022 10:00 WIB
Sopir angkot Margahayu-Ledeng di Bandung.
Terminal Margahayu, Kota Bandung. (Foto: Sudirman Wamad/detikJabar)
Bandung -

Endang Rohimat tengah asik berbincang dengan temannya di Terminal Margahayu Raya, Kota Bandung. Terminal angkutan kota (angkot) yang jaraknya sekitar 11 kilometer dari Gedung Sate, pusat pemerintahan Provinsi Jabar.

Endang Rohimat tampak terlihat kocak. Celetukannya sesekali membuat tawa sopir angkot lainnya. Pria 60 tahun itu tengah menunggu giliran narik alias ngetem.

"Lima menitan lagi juga berangkat narik," kata Endang saat berbincang dengan detikJabar, belum lama ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Endang ibarat sudah jadi legenda hidup sopir angkot. Lebih dari separuh hidupnya dihabiskan di jalanan. Berteman dengan angkot, penumpang, dan beradu argumen dengan pengguna jalan lainnya. Bekerja sebagai sopir angkot Endang lakoni sejak era Presiden Soeharto, tepatnya pada 1983.

Endang mencicipi era kejayaan angkot. Kala itu, Rp 100 ribu sangat mudah ia dapat. "Wah, Rp 100 ribu kayak membalikan telapak tangan. Gampang pisan itu dulu mah," kata Endang sembari tersenyum.

ADVERTISEMENT

Kala itu, Endang sangat menikmati menjadi sopir angkot. Penghasilan memang fluktuatif. Tapi, Endang mengaku tak kekurangan.

"Dulu mah setoran per harinya Rp 200 ribu sehari. Masih bisa kita kejar. Karena memang lagi bagus dulu mah," ucap sopir angkot asal Panyileukan itu.

Sopir angkot Margahayu-Ledeng di Bandung.Endang (bertopi), sopir angkot Margahayu-Ledeng di Bandung. Foto: Sudirman Wamad/detikJabar

Berhenti Merokok

Tahun 1990-an, Endang masih merasakan kejayaan. Setoran tinggi, pendapatan juga tinggi. Dalam sehari, Endang mengaku bisa menghabiskan rokok dua sampai empat bungkus. Tak hanya itu, kebutuhan keluarganya juga terpenuhi.

"Mau beli apa saja bisa. Saya rokok terus, dulu mah gitu. Beda sama sekarang," ucap Endang sembari tertawa.

Tawa Endang merupakan bentuk luapan emosi. Putaran roda kehidupan ia alami. Tawanya, ibarat meratapi dan menutupi nasib hari ini. Sebab, penghasilannya kembang kempis.

Hal itu tidak terlepas dari transportasi yang mulai berkembang tahun 2000-an. Hingga akhirnya, beberapa tahun ke belakang muncul transportasi online dan bus dalam kota yang kian canggih. Angkot pun mulai tersisih.

Endang perlahan gigit jari. Sebab penghasilannya tak seperti dulu. Sejumlah kebiasaan ia hilangkan. Termasuk merokok.

"Sekarang mah mikir, daripada beli rokok mending buat jajan anak istri," ungkap Endang.

Kini, penghasilan Endang sebagai sopir angkot tak menentu. Endang bahkan kesulitan meski hanya untuk membawa pulang uang Rp 100 ribu. "Intinya mah menurun," ucap Endang.

Telur Dadar Jadi Makanan Favorit

Penurunan penghasilan sopir angkot itu pun membuat uang setoran ke pemilik angkot juga menurun. Setoran yang sebelumnya mencapai Rp 200 ribu, kini hanya sekitar Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu. Setoran tergantung jenis mobil yang dibawa sopir.

Saat ekonomi sulit, Endang mengaku telur jadi makanan favorit, telur dadar maupun ceplok. Sebab, memasak beberapa butir telur bisa mencukupi kebutuhan makan keluarganya.

"Sekarang mah telur dadar aja. Dibagi-bagi, biar bisa makan semua," kata Endang sembari kembali melempar tersenyum.

Kendati demikian, Endang tetap bersyukur. Di usianya yang sudah senja, Endang punya etos kerja tinggi.

"Mau gimana lagi. Mau minta ke siapa lagi, harus kerja," tutur sopir angkot jurusan Margahayu-Ledeng itu.

Sopir angkot Margahayu-Ledeng di Bandung.Dani, sopir angkot Margahayu-Ledeng di Bandung. Foto: Sudirman Wamad/detikJabar

Armada Berkurang

Kejayaan Terminal Margahayu kian redup. Terminal angkot itu pun kian layu. Jam-jam sibuk mulai jarang. Pagi hingga sore berebut penumpang dengan transportasi lainnya.

Dani salah seorang sopir angkot jurusan Margahayu-Ledeng juga merasakan hal serupa dengan Endang. Dani menjadi sopir angkot sejak 2001. Ia juga sempat mencicipi kejayaan angkot.

"Tiga hari itu bisa beli ponsel, zaman itu. Zaman ponsel belum secanggih ini," kata Dani.

Pria berusia 38 tahun itu mengaku kesulitan memenuhi kebutuhan keluarganya. Kadang, Dani juga telat bayar kontrakan.

"Sulit sekarang mah. Sejak ada ojek online dan lainnya. Sehari bisa Rp 100 ribu itu susah, rata-rata di bawah Rp 100 ribu. Itu bersih, sudah bayar setoran dan bensin," kata Dani.

Saat ini tarif angkot bisa Rp 8 ribu hingga Rp 10 ribu. Dani juga menyebut jumlah armada angkot di Terminal Margahayu menurun. Kini tersisa tinggal puluhan. Pandemi menjadi biang keroknya, selain daripada perkembangan transportasi di kota.

"Dulu mah 125 angkot, sekarang tinggal 70 angkot yang terdaftar," ucap Dani.



Hide Ads