Apa Saja Syarat Sah Nikah Siri? Ini Penjelasan Ulama

Apa Saja Syarat Sah Nikah Siri? Ini Penjelasan Ulama

Salsa Dila Fitria Oktavianti - detikHikmah
Senin, 22 Des 2025 21:35 WIB
Apa Saja Syarat Sah Nikah Siri? Ini Penjelasan Ulama
Foto: Getty Images/iStockphoto/KMNPhoto
Jakarta -

Syarat sah nikah siri perlu dipahami secara menyeluruh agar tidak terjadi kesalahan dalam pelaksanaan akad nikah.

Dalam Islam, sah atau tidaknya sebuah pernikahan tidak ditentukan oleh pencatatan negara, melainkan oleh terpenuhinya rukun dan syarat nikah sesuai ketentuan syariat. Oleh sebab itu, meskipun tidak tercatat secara administratif, sebuah pernikahan tetap bisa dinilai sah secara agama apabila memenuhi unsur-unsur yang diwajibkan.

Secara istilah, nikah siri merujuk pada pernikahan yang dilakukan sesuai syariat Islam, namun tidak dicatatkan secara resmi di hadapan negara melalui Kantor Urusan Agama (KUA).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Praktik nikah siri ini telah lama dikenal dalam sejarah Islam dan hingga kini masih menimbulkan perbedaan pandangan di tengah masyarakat, baik dari sisi hukum agama maupun dampaknya dalam kehidupan sosial.

ADVERTISEMENT

Syarat Sah Nikah Siri Menurut Ketentuan Agama Islam

Dikutip dari buku Kiat Jitu Menyelesaikan Kasus Hukum karya Rocky Marbun, nikah siri dipandang sah secara agama selama seluruh rukun dan syarat nikah terpenuhi. Adapun syarat-syarat tersebut meliputi adanya calon suami dan calon istri yang akan menikah, keduanya telah balig dan berakal sehat, adanya mahar sebagai hak mempelai perempuan, adanya wali nikah yang sah, serta dihadiri oleh dua orang saksi. Selain itu, akad nikah harus dilaksanakan dengan ijab dan kabul yang jelas.

Dalam praktiknya, terdapat pula unsur pengumuman dan khotbah nikah yang bersifat pilihan atau anjuran. Meski tidak termasuk syarat mutlak sahnya akad, pengumuman pernikahan dinilai sangat penting untuk menghindarkan pasangan dari fitnah di tengah masyarakat.

Pengumuman tersebut tidak harus diwujudkan dalam bentuk resepsi besar, melainkan cukup dengan pemberitahuan agar pernikahan diketahui secara umum.

Pentingnya pengumuman pernikahan juga sejalan dengan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan dari Anas bin Malik RA.:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم: "ألهمن فِي الْوَلِيمَةِ، وَلَوْ بِشَاةٍ". (رواه البخاري)

Artinya: Dari Anas RA, Rasulullah SAW bersabda, "Adakanlah pesta perkawinan, sekalipun hanya dengan hidangan kambing. (H.R. Bukhari).

Hadits ini menunjukkan adanya anjuran kuat untuk menampakkan pernikahan sebagai bentuk pembeda antara pernikahan yang sah dengan perbuatan yang dilarang. Selain itu, dalam konteks hukum di Indonesia, pengumuman pernikahan juga memiliki fungsi pembuktian apabila suatu saat diajukan permohonan itsbat nikah.

Pandangan Ulama tentang Nikah Siri dan Kedudukan Saksi

Dalam buku Fiqih Munakahat: Hukum Pernikahan dalam Islam karya Sakban Lubis, Muhammad Yunan Harahap, dan Rustam Ependi, dijelaskan bahwa nikah siri dalam perspektif fikih sering dimaknai sebagai pernikahan yang tidak dihadiri oleh dua orang saksi laki-laki, atau dihadiri saksi tetapi jumlahnya tidak mencukupi. Pernikahan semacam ini dinilai tidak sah dan harus difasakh oleh hakim. Sementara anak yang lahir dari pernikahan tersebut dinasabkan kepada ibunya.

Istilah nikah siri sendiri bukanlah hal baru dalam sejarah hukum Islam. Sejak masa Umar bin Khattab RA., praktik pernikahan yang dilakukan tanpa kesaksian yang memadai telah mendapat perhatian serius. Imam Malik meriwayatkan bahwa Umar pernah didatangi sebuah kasus pernikahan yang hanya disaksikan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan. Umar menilai pernikahan tersebut sebagai nikah siri dan tidak membolehkannya.

وحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكَ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ الْمَكِّيِّ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أُتِيَ بِنِكَاحٍ لَمْ يَشْهَد عَلَيْهِ إِلَّا رَجُلٌ وَامْرَأَةٌ فَقَالَ هَذَا نِكَاحُ السِّرِّ وَلَا أُجِيرُهُ وَلَوْ كُنْتُ تَقَدَّمْتُ فِييهِ لَرَجَمْتُ.

Artinya: "Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Abu Az Zubair Al Maki berkata, "Pernah dihadapkan kepada Umar Ibnul Khattab suatu pernikahan yang hanya disaksikan oleh seorang laki-laki dan seorang wanita, maka Umar berkata, "Ini adalah nikah sirri, saya tidak membolehkannya. Sekiranya saya menemukannya. niscaya saya akan merajamnya."(Imam Malik).

Larangan ini menjadi salah satu dasar pandangan para ulama besar seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi'i yang pada prinsipnya tidak membolehkan nikah siri yang tidak memenuhi unsur kesaksian secara sempurna.

Meski demikian, para ulama berbeda pendapat dalam kasus pernikahan yang dihadiri wali dan dua saksi, tetapi para saksi diminta untuk merahasiakannya. Imam Malik memandang pernikahan semacam ini tetap termasuk nikah siri dan harus difasakh, sedangkan Abu Hanifah, Imam Syafi'i, serta Ibnu Mundzir berpendapat bahwa pernikahan tersebut tetap sah secara agama.

Dalam hal kedudukan saksi, para ulama menegaskan bahwa saksi merupakan syarat sah akad nikah, bukan sekadar syarat penyempurna. Oleh karena itu, pada saat akad nikah berlangsung, minimal harus dihadiri oleh dua orang saksi laki-laki muslim. Mencukupkan saksi dengan satu laki-laki dan dua perempuan hanya dibolehkan dalam kondisi darurat, karena hal tersebut dinilai dapat menurunkan derajat akad nikah.

Di tengah masyarakat, nikah siri sering dimaknai dalam beberapa bentuk. Pertama, pernikahan tanpa wali atau saksi yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

Bentuk pernikahan ini secara tegas dinyatakan tidak sah menurut hukum Islam. Rasulullah SAW bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم . "لا نِكَاحَ إِلا بولي " . رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالتَّرْمِذِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ وَقَالَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

Artinya: Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Tidak ada pernikahan kecuali dengan wali." (Hadis riwayat Abu Dawud, Tirmidzi, Ibn Majah, dan dikatakan hadis hasan shahih.)

Makna hadits ini diperkuat oleh hadits dari Aisyah r.a. yang menyatakan bahwa setiap wanita yang menikah tanpa izin walinya, maka pernikahannya batil.

Berdasarkan hadits-hadits tersebut, pernikahan tanpa wali dinilai sebagai pernikahan yang tidak sah dan termasuk perbuatan maksiat. Meski demikian, bentuk dan kadar sanksi bagi pelakunya diserahkan kepada keputusan hakim dalam kategori ta'zir.

Bentuk nikah siri yang kedua adalah pernikahan yang dilangsungkan dengan kehadiran wali dan dua orang saksi, namun para saksi tersebut diminta untuk tidak menyebarluaskan atau mengumumkannya kepada masyarakat. Dalam hal ini, para ulama memiliki perbedaan pendapat. Sebagian berpendapat bahwa pernikahan tersebut tetap sah secara agama, tetapi hukumnya makruh. Sementara itu, pendapat lainnya menilai bahwa pernikahan semacam ini tidak sah.

Pendapat yang menyatakan sah tetapi makruh mendasarkan argumennya pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam ad-Daruquthni dan al-Baihaqi, yang menegaskan bahwa tidak sah suatu pernikahan kecuali dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil.

Adapun pendapat yang menyatakan tidak sah berlandaskan pada hadits yang diriwayatkan oleh an-Nasa'i dan al-Hakim, yang menjelaskan bahwa pembeda antara perbuatan yang halal, yaitu pernikahan, dan perbuatan yang haram, yaitu perzinaan, adalah adanya pengumuman melalui suara dan rebana.

Pandangan ini juga dikuatkan oleh hadits riwayat at-Tirmidzi dan Ibnu Majah yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW menganjurkan agar pernikahan diumumkan, dilaksanakan di masjid, dan disertai dengan pemukulan rebana sebagai bentuk pemberitahuan kepada masyarakat.




(lus/lus)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads