Di zaman sekarang, hampir semua aspek kehidupan berubah, termasuk urusan rumah tangga. Di Indonesia, keluarga tradisional biasanya menerapkan sistem satu nafkah, yakni suami menjadi pencari nafkah utama, sementara istri mengurus rumah tangga.
Namun, sekarang justru banyak pasangan suami istri yang sama-sama berkarier dan memiliki penghasilan. Bahkan, banyak kasus penghasilan istri lebih besar daripada suaminya. Padahal, menurut hukum Islam yang wajib memberikan nafkah itu adalah suami. Tak heran jika kondisi ini terkadang menimbulkan konflik panjang di kehidupan rumah tangga, bahkan sampai berujung perceraian.
Lalu, bagaimana hukumnya jika seorang suami tidak memberi nafkah karena penghasilan istri lebih besar? Simak penjelasan menurut Islam berikut ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Suami Wajib Memberi Nafkah meski Penghasilan Istri Lebih Besar
Dalam hukum Islam maupun hukum negara, suami tetap wajib memberi nafkah kepada istri, meski penghasilan istri lebih besar. Nafkah adalah kewajiban mutlak suami, tidak tergantung besar kecilnya penghasilan istri.
Sebagaimana dijelaskan dalam buku Tanya Jawab Seputar Fikih Wanita Empat Mazhab karya A. R. Shohibul Ulum, saat ini banyak ibu bekerja dan sering meninggalkan rumah untuk urusan pekerjaan. Menurut ulama Hanafiah, jika istri bekerja tanpa izin suami, suami tidak wajib memberi nafkah. Namun, bila bekerja dengan izin suami, kewajiban nafkah tetap berlaku. Izin suami di suatu waktu tidak otomatis berlaku selamanya, artinya suami berhak untuk menolak di lain waktu. Jika istri tetap membangkang, ia tergolong nusyuz dan nafkah bisa gugur.
Kondisi ekonomi istri tidak mempengaruhi kewajiban nafkah suami, termasuk saat penghasilan istri lebih besar dari suami. Suami tetap wajib menafkahi istri. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 80 Ayat 4, suami wajib menanggung:
a. Nafkah, pakaian, dan tempat tinggal istri;
b. Biaya rumah tangga, perawatan, dan pengobatan istri dan anak;
c. Biaya pendidikan anak.
Sementara itu, Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menegaskan hal serupa yaitu suami wajib melindungi istrinya dan memberikan keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
Jadi, jika istri tidak memiliki gaji, bergaji lebih sedikit, atau bahkan berpenghasilan lebih besar daripada suami, kewajiban nafkah dari suami tetap berlaku.
Nafkah bukan hanya untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, tetapi juga sebagai tanggung jawab suami menurut syariat Islam dan hukum negara. Kewajiban ini hanya gugur jika istri membebaskan nafkah atau istri nusyuz (istri yang membangkang atau durhaka kepada suami).
Selain itu, jika suami tidak memberikan nafkah kepada istri, istri berhak menuntut secara hukum, bahkan hal ini bisa menjadi alasan untuk perceraian atau tuntutan nafkah masa lalu maupun masa depan.
Kedudukan Suami sebagai Pemberi Nafkah dalam Islam
Menukil buku Hukum Perkawinan dalam Teori dan Perkembangan karya Dr. Cucu Solihah, dalam Islam, suami memiliki tanggung jawab untuk memberi nafkah kepada istri dan anak-anak. Namun, dalam kenyataan, tidak semua suami langsung mampu memenuhi kewajiban ini. Hal ini bisa terjadi karena belum memiliki pekerjaan tetap, mengalami pemutusan hubungan kerja, mengalami cacat, atau karena penghasilan istri lebih besar daripada suami.
Sementara itu, wanita sebenarnya tidak dilarang bekerja di luar rumah. Selama pekerjaan tersebut tidak mengurangi martabatnya sebagai perempuan, ibu, dan tetap menjaga fitrahnya, Islam memperbolehkan hal ini.
Pada umumnya, hubungan suami istri seharusnya berbasis kesetaraan. Namun, dalam kehidupan sehari-hari tentu praktik ini tidak mudah untuk dilakukan. Islam memberikan pedoman jelas perihal nafkah ini yang tertuang dalam Al-Qur'an surah At-Talaq ayat 7,
لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِّنْ سَعَتِهٖۗ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهٗ فَلْيُنْفِقْ مِمَّآ اٰتٰىهُ اللّٰهُ ۗ لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا مَآ اٰتٰىهَاۗ سَيَجْعَلُ اللّٰهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُّسْرًا ࣖ
Artinya: "Hendaklah orang yang lapang (rezekinya) memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang disempitkan rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari apa (harta) yang dianugerahkan Allah kepadanya. Allah tidak membebani kepada seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang dianugerahkan Allah kepadanya. Allah kelak akan menganugerahkan kelapangan setelah kesempitan."
Menurut Tafsir Al-Qur'an Kementerian Agama RI, dalam ayat tersebut Allah SWT menjelaskan kewajiban ayah memberikan upah kepada perempuan yang menyusukan anaknya menurut kemampuannya. Jika kemampuan ayah itu hanya dapat memberi makan karena rezekinya sedikit, maka hanya itulah yang menjadi kewajibannya. Allah SWT tidak akan memikulkan beban kepada seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya.
Apabila istri bekerja dan hasilnya dapat membantu keluarga, hal ini merupakan perbuatan baik dan menjadi amal saleh bagi perempuan tersebut. Menurut Mazhab Syafi'i dan Hanbali, jika suami benar-benar tidak mampu, istri boleh meminta fasakh (pembatalan nikah).
Sementara itu, menurut Mazhab Hanafi dan Maliki, suami yang tidak mampu memberi nafkah tidak boleh diceraikan, dan nafkah yang tertunda tetap menjadi utang yang wajib dilunasi saat ia mampu.
Dalil tentang Kewajiban Suami Menafkahi Istri
Dalam Islam, kewajiban memberi nafkah tetap ada meski istri punya penghasilan sendiri. Suami memang ditugaskan untuk menafkahi istri, sebagaimana dijelaskan Allah SWT dalam Al-Qur'an surah An-Nisa' ayat 34,
اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ ۗ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ ۗوَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ۚ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا ۗاِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا
Artinya: "Laki-laki (suami) adalah penanggung jawab atas para perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari hartanya. Perempuan-perempuan saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, berilah mereka nasihat, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu,) pukullah mereka (dengan cara yang tidak menyakitkan). Akan tetapi, jika mereka mentaatimu, janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
Kewajiban suami memberi nafkah dimulai saat istri telah mempersilahkan dirinya untuk digauli (tamkin) dan berlangsung selama ikatan pernikahan masih ada. Nafkah tetap wajib sampai ikatan itu berakhir, baik karena wafat maupun perceraian.
(kri/kri)












































Komentar Terbanyak
Innalillahi, Ketua Takmir Masjid Jogokariyan Meninggal Dunia
Sosok Pria Muslim Hentikan Penembakan Massal Yahudi di Pantai Bondi
Doa Bulan Rajab Sesuai Sunnah Rasulullah SAW: Arab, Latin dan Artinya