Nafkah iddah dan mut'ah adalah hak perempuan yang timbul akibat putusnya ikatan pernikahan. Ketentuan mengenai dua nafkah ini tidak hanya berkaitan dengan aspek ekonomi, melainkan juga mencerminkan prinsip perlindungan dan tanggung jawab dalam hukum Islam terhadap perempuan pasca perceraian. Untuk lebih jelasnya, simak pembahasannya berikut ini.
Apa Itu Nafkah Iddah dan Mut'ah dalam Islam
Dikutip dalam buku Pemenuhan Hak Perempuan dan Anak Pasca Perceraian dalam Perspektif Maqasid al-Syariah karya Fajri Ilhami, nafkah iddah tersusun dari dua unsur istilah. Kata nafkah secara etimologis bermakna mengeluarkan atau memberikan sesuatu kepada keluarga guna memenuhi kebutuhan hidup. Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa nafkah mencakup segala hal yang dibutuhkan istri, seperti makanan, tempat tinggal, pelayanan rumah tangga, serta biaya pengobatan.
Sementara itu, istilah iddah berasal dari kata (ŘšŮŘŻŮŮŘŠ) yang secara bahasa berarti hitungan. Mazhab Hanafi mendefinisikan iddah sebagai masa yang ditetapkan secara syariat bagi seorang perempuan setelah berakhirnya ikatan perkawinan. Masa ini memiliki konsekuensi hukum tertentu, di antaranya larangan bagi perempuan yang ditalak untuk menerima pinangan laki-laki lain sebelum masa iddahnya selesai.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dikutip dari buku Urgensi Pemberian Mut'ah Pasca Perceraian dalam Perspektif Hukum Islam dan Perundang-Undangan di Indonesia karya Titin Triana dkk., nafkah mut'ah pada dasarnya berangkat dari kondisi psikologis istri yang diceraikan.
Perceraian dipandang dapat menimbulkan penderitaan dan kesedihan karena harus berpisah dari suami. Oleh karena itu, Islam mewajibkan mantan suami memberikan mut'ah sebagai bentuk penghiburan dan upaya meringankan beban batin istri pasca perceraian. Namun, sebagian pendapat menyatakan bahwa dalam perkara cerai gugat yang diajukan oleh istri, kewajiban mut'ah dapat gugur dengan pertimbangan tidak adanya penderitaan akibat kehendak sepihak dari pihak istri sendiri.
Berdasarkan pengertian tersebut, nafkah iddah dipahami sebagai sejumlah harta yang wajib diberikan oleh mantan suami kepada mantan istri yang ditalak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya selama masa iddah.
Sementara itu, nafkah mut'ah merupakan pemberian tambahan dari mantan suami kepada mantan istri sebagai bentuk penghormatan dan penghiburan pasca perceraian, yang diberikan sesuai dengan ketentuan syariat dan mempertimbangkan kondisi para pihak.
Dalil Nafkah Iddah dan Mut'ah dalam Islam
Nafkah iddah dan mut'ah disebutkan dan dijelaskan dalam sumber-sumber syariat Islam, baik Al-Qur'an maupun kitab-kitab fikih klasik, sebagai bentuk kewajiban suami yang tidak gugur meskipun hubungan pernikahan telah berakhir.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam QS At Talaq ayat 6:
اŮŘłŮŮŮŮŮŮŮŮŮŮŮŮ Ů ŮŮŮ ŘŮŮŮŘŤŮ ŘłŮŮŮŮŮŘŞŮŮ Ů Ů ŮŮŮŮ ŮŮŮŘŹŮŘŻŮŮŮŮ Ů ŮŮŮŮا ŘŞŮŘśŮاۤعŮŮŮŮŮŮŮŮŮ ŮŮŘŞŮŘśŮŮŮŮŮŮŮŮا ŘšŮŮŮŮŮŮŮŮŮŮŰ ŮŮاŮŮŮ ŮŮŮŮ٠اŮŮŮٰت٠ŘŮŮ ŮŮŮ ŮŮاŮŮŮŮŮŮŮŮŮا ŘšŮŮŮŮŮŮŮŮŮŮ ŘŮŘŞŮٰ٠ŮŮŘśŮŘšŮŮŮ ŘŮŮ ŮŮŮŮŮŮŮŮŰ ŮŮاŮŮ٠اŮŘąŮŘśŮŘšŮŮŮ ŮŮŮŮŮ Ů ŮŮاٰتŮŮŮŮŮŮŮ٠اŮŘŹŮŮŮŘąŮŮŮŮŮŮŰ ŮŮŘŁŮŘŞŮŮ ŮŘąŮŮŮا بŮŮŮŮŮŮŮ٠٠بŮŮ ŮŘšŮŘąŮŮŮŮŮŰ ŮŮاŮŮŮ ŘŞŮŘšŮاسŮŘąŮŘŞŮŮ Ů ŮŮŘłŮŘŞŮŘąŮŘśŮؚ٠ŮŮŮŮ٠اŮŘŽŮعٰŮŰ
Latin: AskinĹŤhunna min Ḽaiᚥu sakantum miw wujdikum wa lÄ tuá¸ÄrrĹŤhunna lituá¸ayyiqĹŤ 'alaihinn(a), wa in kunna ulÄti Ḽamlin fa anfiqĹŤ 'alaihinna ḼattÄ yaá¸a'na Ḽamlahunn(a), fa in ará¸a'na lakum fa ÄtĹŤhunna ujĹŤrahunn(a), wa'tamirĹŤ bainakum bima'rĹŤf(in), wa in ta'Äsartum fasaturá¸i'u lahĹŤ ukhrÄ.
Artinya: Tempatkanlah mereka (para istri yang dicerai) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Jika mereka (para istri yang dicerai) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)-mu maka berikanlah imbalannya kepada mereka; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu sama-sama menemui kesulitan (dalam hal penyusuan), maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. (Aáš-ᚏalÄq: 6)
Ayat tersebut menjadi dasar kewajiban nafkah iddah, yakni pemenuhan kebutuhan istri yang ditalak selama masa iddah. Adapun kewajiban mut'ah ditegaskan dalam ayat berikutnya sebagai pemberian dari suami kepada istri yang diceraikan, yang diberikan sesuai kemampuan dan dengan cara yang patut sebagai bentuk ihsan pasca perceraian.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam QS Al Baqarah ayat 236:
ŮŮا ŘŹŮŮŮاŘŮ ŘšŮŮŮŮŮŮŮ٠٠اŮŮ٠ءŮŮŮŮŮŮŘŞŮ٠٠اŮŮŮŮŘłŮاۤإ٠٠Ůا ŮŮŮ Ů ŘŞŮŮ ŮŘłŮŮŮŮŮŮŮŮ٠اŮŮŮ ŘŞŮŮŮŘąŮŘśŮŮŮا ŮŮŮŮŮŮŮ ŮŮŘąŮŮŮŘśŮŘŠŮ Ű ŮŮŮŮ ŮŘŞŮŮŘšŮŮŮŮŮŮŮŮ ŘšŮŮŮ٠اŮŮŮ ŮŮŮŘłŮؚ٠ŮŮŘŻŮŘąŮŮŮ ŮŮŘšŮŮŮ٠اŮŮŮ ŮŮŮŘŞŮع٠ŮŮŘŻŮŘąŮŮŮ Ű Ů ŮŘŞŮاؚŮا ۢبŮاŮŮŮ ŮŘšŮŘąŮŮŮŮŮŰ ŘŮŮŮŮا ŘšŮŮŮ٠اŮŮŮ ŮŘŮŘłŮŮŮŮŮŮŮ
Latin: LÄ junÄḼa 'alaikum in ášallaqtumun-nisÄ'a mÄ lam tamassĹŤhunna au tafriá¸ĹŤ lahunna farÄŤá¸ah(tan), wa matti'ĹŤhunna 'alal-mĹŤsi'i qadaruhĹŤ wa 'alal-muqtiri qadaruhĹŤ matÄ'am bil-ma'rĹŤf(i), Ḽaqqan 'alal-muḼsinÄŤn(a).
Artinya: Tidak ada dosa bagimu (untuk tidak membayar mahar) jika kamu menceraikan istri-istrimu yang belum kamu sentuh (campuri) atau belum kamu tentukan maharnya. Berilah mereka mut'ah,73) bagi yang kaya sesuai dengan kemampuannya dan bagi yang miskin sesuai dengan kemampuannya pula, sebagai pemberian dengan cara yang patut dan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat ihsan. (Al-Baqarah: 236)
Penentuan Besaran Mut'ah Menurut Pendapat Ulama dan Praktik Peradilan
Dikutip dari buku Pengantar Jurimetri dan Penerapannya dalam Penyelesaian Perkara Perdata karya M. Natsir Asnawi, penentuan besaran mut'ah yang dibebankan kepada suami akibat terjadinya talak selama ini merujuk pada perbedaan pendapat para ulama mazhab. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa mut'ah diberikan dalam bentuk tiga potong pakaian, yaitu rompi, khimar, dan jubbah, sebagai ukuran minimal pemberian mut'ah.
Mazhab Syafi'i menetapkan bahwa nilai mut'ah tidak boleh kurang dari tiga puluh dirham atau nilai yang setara. Selain itu, dianjurkan agar mut'ah tidak melebihi setengah dari mahar mitsil, meskipun apabila nilainya melebihi batas tersebut tetap dibolehkan, mengingat kewajiban mut'ah bersifat umum tanpa batas maksimal yang tegas.
Sementara itu, mazhab Maliki dan Hanbali berpandangan bahwa besaran mut'ah ditentukan berdasarkan kelayakan dan kondisi ekonomi suami. Semakin baik keadaan finansial suami, maka semakin besar pula mut'ah yang patut diberikan kepada istri yang ditalak, dan demikian pula sebaliknya.
Dalam perkembangan praktik hukum Islam kontemporer, pendapat yang paling banyak diikuti adalah pandangan yang menyerahkan penentuan besaran mut'ah kepada kebijaksanaan hakim. Hakim diberikan kewenangan untuk menetapkan nilai mut'ah yang adil dan layak berdasarkan kondisi para pihak. Pendapat ini juga sejalan dengan praktik peradilan di Indonesia dan telah dikuatkan oleh Mahkamah Agung melalui sejumlah putusan, di antaranya Putusan MA Nomor 280 K/AG/2004 dan Putusan MA Nomor 608 K/AG/2003.
Kapan Nafkah Iddah Wajib dan Gugur?
Dikutip dari Fikih Empat Madzhab Jilid 5 karya Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi, nafkah iddah tidak berlaku dalam semua kondisi perpisahan, melainkan terikat pada sebab dan status sah atau tidaknya hubungan perkawinan.
Dalam kasus seorang perempuan yang menikah kembali karena mengira suami pertamanya telah meninggal dunia, kemudian diketahui bahwa suami pertamanya masih hidup, maka pernikahan kedua dinyatakan tidak sah. Akibatnya, perempuan tersebut tetap wajib menjalani masa iddah, namun tidak berhak mendapatkan nafkah iddah, baik dari suami pertama maupun dari suami kedua. Hal ini karena suami pertama belum menjatuhkan talak, sedangkan pernikahan dengan suami kedua tidak sah dan tidak melahirkan kewajiban nafkah.
Al-Juzairi juga menjelaskan bahwa apabila perpisahan terjadi karena kematian suami, maka istri tidak berhak memperoleh nafkah iddah selama masa iddah wafat, baik dalam keadaan hamil maupun tidak. Ketentuan ini berlaku secara umum dan tidak dikecualikan bagi ummul walad menurut pendapat yang dijadikan pegangan.
Dalam hal perempuan yang ditalak mengaku masa iddahnya belum berakhir, seperti mengklaim belum mengalami haid atau mengaku sedang hamil, maka pada dasarnya pengakuannya dapat diterima dengan sumpah. Selama belum ada bukti kuat bahwa masa iddah telah selesai, nafkah iddah tetap menjadi kewajiban suami. Apabila kemudian terbukti bahwa iddah telah berakhir, maka kewajiban nafkah pun gugur. Namun, nafkah iddah yang telah diberikan sebelumnya tidak dapat ditarik kembali oleh mantan suami.
(inf/inf)












































Komentar Terbanyak
Sosok Pria Muslim Hentikan Penembakan Massal Yahudi di Pantai Bondi
Benarkah Malaikat Tidak Masuk Rumah yang Ada Anjingnya? Ini Penjelasan Ulama
Ditjen PHU Pamit dari Kemenag setelah 75 Tahun Tangani Haji Indonesia