Hukum Childfree dalam Pandangan Islam, Apakah Diperbolehkan?

Hukum Childfree dalam Pandangan Islam, Apakah Diperbolehkan?

Tia Kamilla - detikHikmah
Jumat, 19 Des 2025 13:15 WIB
Hukum Childfree dalam Pandangan Islam, Apakah Diperbolehkan?
Childfree. Foto: Getty Images/iStockphoto/
Jakarta -

Istilah childfree kini semakin sering terdengar dan menjadi bahan obrolan banyak orang. Secara bahasa, childfree artinya pilihan atau keputusan seseorang untuk tidak memiliki anak.

Ada pasangan yang memilih jalan ini karena alasan kesehatan, kesiapan mental, hingga kondisi ekonomi. Namun, pilihan tersebut kerap menimbulkan tanda tanya, terutama bagi umat Islam.

Dalam Islam, memiliki keturunan bukan hanya soal keinginan, tetapi juga berkaitan dengan amanah dan nilai ibadah. Karena itu, muncul pertanyaan besar, apakah memilih hidup childfree diperbolehkan dalam Islam?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Agar tidak salah paham dan tetap sesuai dengan ajaran agama, berikut adalah penjelasan hukum childfree dalam pandangan Islam, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.

ADVERTISEMENT

Hukum Childfree dalam Pandangan Islam

Mengutip buku Fiqh Al-Mahabbah karya Laddoo, hukum childfree dibagi menjadi dua, yaitu boleh dan haram, tergantung niat dan alasannya. Childfree yang dimaksud di sini adalah pilihan untuk sama sekali tidak memiliki anak, baik anak kandung, anak tiri, maupun anak angkat.

Dalam beberapa kondisi, Islam membolehkan childfree, terutama bila ada alasan yang dibenarkan syariat. Salah satunya adalah alasan kesehatan. Misalnya, jika kehamilan berisiko membahayakan nyawa ibu atau calon bayi, atau adanya gangguan infertilitas. Dalam kondisi seperti ini, tidak memiliki anak bukanlah sebuah kesalahan. Jika kehamilan justru mengancam keselamatan ibu, anak, atau keduanya, maka pilihan childfree masih termasuk hal yang diperbolehkan.

Selain alasan kesehatan, menurut penjelasan dari situs resmi Nahdlatul Ulama, terdapat beberapa motif childfree yang juga dipandang boleh. Di antaranya adalah kekhawatiran terhadap kondisi ekonomi, fokus pada karier, rasa takut tidak mampu menjamin masa depan anak, adanya risiko penyakit atau kelainan genetik, alasan sosial seperti masih banyaknya anak terlantar yang bisa diasuh, kekhawatiran terhadap ledakan jumlah penduduk, hingga keyakinan bahwa seseorang bisa memberi manfaat lebih luas bagi masyarakat meski tanpa memiliki anak. Semua alasan ini dinilai dari niat dan dampaknya, bukan semata keputusan tidak punya anak.

Namun, childfree menjadi haram bila didasari oleh keyakinan yang keliru. Misalnya, memandang rendah keberadaan anak, terutama anak perempuan, atau menganut paham antinatalisme yang menganggap kelahiran manusia sebagai sesuatu yang tidak bermoral. Termasuk pula mengikuti ajaran menyimpang yang menolak keturunan secara prinsip. Dalam hal ini, yang membuatnya haram bukan keputusan childfree-nya, melainkan niat dan keyakinan yang bertentangan dengan ajaran Islam.

Dalam Islam sendiri, umat dianjurkan untuk menikah, sebagaimana dijelaskan dalam Surah An-Nur ayat 32,

وَاَنْكِحُوا الْاَيَامٰى مِنْكُمْ وَالصّٰلِحِيْنَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَاِمَاۤىِٕكُمْۗ اِنْ يَّكُوْنُوْا فُقَرَاۤءَ يُغْنِهِمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖۗ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ

Wa ankiḥul-ayāmā minkum waṣ-ṣāliḥīna min 'ibādikum wa imā'ikum, iy yakūnū fuqarā'a yugnihimullāhu min faḍlih(ī), wallāhu wāsi'un 'alīm(un).

Artinya: "Nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahaya, baik laki-laki maupun perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui."

Salah satu tujuan pernikahan adalah menghadirkan keturunan. Meski begitu, Islam juga mengajarkan bahwa tidak semua orang ditakdirkan memiliki anak, dan hal tersebut adalah ketentuan Allah SWT.

Memiliki keturunan setelah menikah termasuk sunnah, dan hadirnya anak yang saleh atau salehah adalah nikmat besar yang patut disyukuri. Anak dapat menjadi sebab bertambahnya pahala orang tua, bahkan setelah mereka wafat. Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda:

"Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau do'a anak yang sholeh" (HR. Muslim)

Dari sini dapat dipahami bahwa Islam memandang childfree secara bijak. Bukan sekadar boleh atau tidak, melainkan melihat niat, alasan, dan beberapa faktor yang melatarbelakanginya.

Faktor-faktor Seseorang Memilih untuk Childfree

Mengacu pada buku Fikih Perempuan Kontemporer karya Agus Hermanto dan Rohmi Yuhani'ah, childfree dimaknai sebagai pilihan pernikahan yang tidak mengharapkan kehadiran seorang anak. Padahal, dalam kebanyakan pernikahan, kehadiran keturunan sering menjadi harapan besar bagi suami, istri, bahkan keluarga besar. Anak dipandang sebagai penerus generasi dan penguat kehidupan rumah tangga. Meski demikian, ada berbagai faktor tertentu yang membuat sebagian pasangan memilih menjalani pernikahan tanpa anak atau childfree. Berikut adalah beberapa faktornya.

1.Faktor Pendidikan

Pola asuh dan pendidikan yang diterima sejak kecil sangat memengaruhi cara pandang seseorang terhadap kehidupan berkeluarga. Banyak pasangan memandang bahwa mendidik anak bukan perkara mudah. Pendidikan dari orang tua maupun guru dianggap sangat penting karena akan membentuk mental, sikap, dan pola hidup anak hingga dewasa. Kekhawatiran tidak mampu memberikan pendidikan yang baik pun menjadi alasan memilih childfree.

2. Faktor Ekonomi

Alasan ekonomi juga sering menjadi pertimbangan utama. Pasangan suami istri bisa merasa belum siap secara finansial atau khawatir tidak mampu memenuhi kebutuhan anak di masa depan. Ketakutan akan kekurangan ekonomi membuat sebagian pasangan memutuskan untuk tidak memiliki keturunan selama pernikahan.

3. Ingin Lebih Dekat dengan Pasangan

Ada pasangan yang ingin menjaga keintiman dan kedekatan satu sama lain. Mereka khawatir kehadiran anak akan mengubah pola kasih sayang dan perhatian dalam rumah tangga. Karena itu, mereka sepakat untuk menjalani pernikahan tanpa anak.

4. Faktor Kesehatan

Kondisi kesehatan suami atau istri juga bisa menjadi alasan. Misalnya, adanya penyakit tertentu, gangguan kesuburan, atau risiko kesehatan yang dapat membahayakan jika hamil. Dalam kondisi seperti ini, childfree dipilih sebagai bentuk menjaga keselamatan dan kesehatan bersama.

5. Pengalaman Traumatis di Masa Lalu

Trauma masa kecil, seperti kurangnya kasih sayang orang tua, dapat memengaruhi kesiapan seseorang untuk menjadi orang tua. Ada rasa takut tidak mampu membimbing anak, tidak percaya diri, atau khawatir tidak bisa memberikan contoh yang baik. Kekhawatiran ini membuat seseorang memilih untuk tidak memiliki anak.

6. Keputusan Bersama Pasangan

Childfree juga bisa menjadi keputusan bersama yang diambil dengan sadar dan penuh pertimbangan. Keputusan ini biasanya dibicarakan secara matang oleh pasangan, bukan keputusan yang diambil secara tergesa-gesa.

Selain faktor-faktor tersebut, kondisi kesehatan mental yang belum stabil juga sering menjadi pertimbangan, terutama bagi perempuan yang belum siap menjalani peran sebagai ibu. Namun dalam Islam, umat diajarkan untuk selalu meyakini bahwa Allah SWT Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya, baik masa lalu, masa kini, maupun masa depan.

Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur'an surah Al-Baqarah ayat 140,

اَمْ تَقُوْلُوْنَ اِنَّ اِبْرٰهٖمَ وَاِسْمٰعِيْلَ وَاِسْحٰقَ وَيَعْقُوْبَ وَالْاَسْبَاطَ كَانُوْا هُوْدًا اَوْ نَصٰرٰى ۗ قُلْ ءَاَنْتُمْ اَعْلَمُ اَمِ اللّٰهُ ۗ وَمَنْ اَظْلَمُ مِمَّنْ كَتَمَ شَهَادَةً عِنْدَهٗ مِنَ اللّٰهِ ۗ وَمَا اللّٰهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُوْنَ

Am taqūlūna inna ibrāhīma wa ismā'īla wa isḥāqa wa ya'qūba wal-asbāṭa kānū hūdan au naṣārā, qul a'antum a'lamu amillāh(u), wa man aẓlamu mimman katama syahādatan 'indahū minallāh(i), wa mallāhu bigāfilin 'ammā ta'malūn(a).

Artinya: "Apakah kamu juga berkata bahwa Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya'qub, dan keturunannya adalah penganut Yahudi atau Nasrani? Katakanlah, 'Apakah kamu yang lebih mengetahui ataukah Allah? Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang menyembunyikan kesaksian dari Allah yang ada padanya?' Allah sama sekali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan."

Selain itu, terdapat juga di dalam surah Al-Baqarah ayat 216,

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ

Kutiba 'alaikumul-qitālu wa huwa kurhul lakum, wa 'asā an takrahū syai'aw wa huwa khairul lakum, wa 'asā an tuḥibbū syai'aw wa huwa syarrul lakum, wallāhu ya'lamu wa antum lā ta'lamūn(a).

Artinya: "Diwajibkan atasmu berperang, padahal itu kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui."




(lus/lus)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads