Jika Mahar Belum Dibayar Setelah Akad, Apakah Berdosa?

Jika Mahar Belum Dibayar Setelah Akad, Apakah Berdosa?

Salsa Dila Fitria Oktavianti - detikHikmah
Selasa, 16 Des 2025 14:00 WIB
Jika Mahar Belum Dibayar Setelah Akad, Apakah Berdosa?
Ilustrasi mahar. Foto: Getty Images/Light Design
Jakarta -

Mahar merupakan persoalan yang dibahas dalam fikih munakahat, karena mahar adalah hak istri yang ditetapkan sejak terjadinya akad nikah. Dalam Islam, mahar bukan sekadar simbol, melainkan kewajiban yang memiliki konsekuensi hukum.

Al-Qur'an telah memberikan ketentuan umum terkait kewajiban mahar, sebagaimana firman Allah SWT dalam surah An-Nisa' ayat 4:

وَاٰتُوا النِّسَاۤءَ صَدُقٰتِهِنَّ نِحْلَةً ۗ فَاِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْۤـًٔا مَّرِيْۤـًٔا

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Artinya: "Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (mahar) itu dengan senang hati, terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati."

Ayat ini menjadi dasar bahwa mahar wajib diberikan kepada istri sebagai bagian dari akad pernikahan yang sah.

ADVERTISEMENT

Pengertian Mahar dalam Islam

Dikutip dari buku Hukum Perkawinan Islam Menurut Empat Mazhab Disertai Aturan yang Berlaku di Indonesia karya Dr. Holilur Rohman, mahar dalam bahasa Arab memiliki beberapa sebutan, di antaranya mahar dan ṣadāq.

Dalam Al-Qur'an, istilah mahar disebut dengan beberapa kata, seperti ṣadāq, niḥlah, farīḍah, dan ajr. Sementara itu, dalam hadits, mahar dikenal dengan istilah mahr, 'aliqah, dan 'uqr. Mahar disebut ṣadāq karena pemberian tersebut merupakan wujud kegembiraan suami atas terjadinya pernikahan.

Secara istilah, mahar adalah harta yang wajib diberikan oleh suami kepada istri pada saat akad nikah, atau karena sebab-sebab tertentu seperti wati' syubhat, nikah fasid, dan keadaan lain yang menimbulkan kewajiban mahar, sebagai imbalan atas kebolehan bersenang-senang dengan istri.

Menurut mazhab Syafi'i, mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan suami kepada istri karena adanya pernikahan yang sah atau karena kewajiban memberikan mahar mithl, yaitu mahar yang besarnya disamakan dengan mahar yang diterima oleh perempuan sepadan dalam keluarganya.

Al-Jaziri dikutip dalam sumber yang sama, menambahkan bahwa menurut mazhab Syafi'i, kewajiban mahar juga timbul karena adanya wati', hilangnya keperawanan perempuan secara paksa oleh suaminya, terjadinya khulu', atau karena adanya persaksian.

Adapun menurut tiga mazhab selain Syafi'i, kewajiban mahar hanya timbul karena adanya akad nikah atau karena terjadinya wati', baik wati' dalam pernikahan fasid, wati' syubhat, maupun wati' yang terjadi karena paksaan.

Mahar musamma, yaitu mahar yang disebutkan ketika akad nikah, menjadi hak istri secara sempurna setelah terjadi hubungan badan (wati') antara suami dan istri.

Apabila suami menceraikan istri sementara mahar belum diserahkan dan keduanya telah melakukan hubungan badan, suami wajib membayar mahar secara penuh sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan dalam akad. Namun, apabila perceraian terjadi sebelum adanya hubungan badan, suami hanya berkewajiban membayar separuh dari mahar yang telah disebutkan.

Apakah Mahar Boleh Dibayar Setelah Akad?

Masih merujuk pada sumber yang sama, para ulama dari berbagai mazhab menjelaskan mahar tidak harus selalu dibayarkan secara tunai pada saat akad nikah, melainkan boleh ditunaikan setelah akad dengan ketentuan tertentu.

Menurut mazhab Hanbali, mahar boleh dibayarkan secara tunai ketika akad, dan boleh pula dibayar setelah akad, baik secara tunai maupun secara bertahap. Apabila suami menyatakan bahwa mahar akan dibayarkan pada waktu tertentu setelah akad, ia wajib menunaikannya sesuai dengan waktu yang telah disepakati. Namun, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama Hanbali jika mahar tidak dibayarkan saat akad dan penundaannya tidak disertai batas waktu yang jelas.

Abu al-Khattab berpendapat mahar tersebut tidak sah dan harus diganti dengan mahar mithl, sedangkan al-Qadi berpendapat mahar tetap sah. Pendapat yang menyatakan keabsahan mahar ini dinilai lebih dekat dengan pendapat Imam Ahmad bin Hanbal.

Sementara itu, dalam buku Fikih Sunnah Jilid 3 karya Sayyid Sabiq, dijelaskan pandangan para imam mazhab terkait kelebihan mahar yang disepakati setelah akad nikah.

Abu Hanifah dalam sumber yang sama berpendapat kelebihan mahar yang ditetapkan setelah akad tetap dianggap sebagai mahar apabila telah terjadi persetubuhan atau suami meninggal dunia. Namun, jika perceraian terjadi sebelum persetubuhan, kelebihan tersebut tidak sah dan istri hanya berhak atas separuh dari mahar yang telah disebutkan sebelumnya.

Imam Malik berpendapat kelebihan mahar tetap sah apabila telah terjadi persetubuhan. Akan tetapi, jika perceraian terjadi sebelum persetubuhan, istri berhak atas separuh dari mahar yang telah disebutkan beserta separuh dari kelebihan mahar tersebut. Jika suami meninggal dunia sebelum persetubuhan dan sebelum mahar diterima, kelebihan mahar gugur dan istri hanya berhak atas mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah.

Adapun menurut Imam Syafi'i, kelebihan mahar yang disepakati setelah akad dipandang sebagai hibah baru. Jika hibah tersebut telah diterima oleh istri, hukumnya sah. Namun, apabila belum diterima, kelebihan mahar tersebut gugur. Sementara itu, Imam Ahmad berpendapat hukum kelebihan mahar mengikuti hukum pokok mahar yang berlaku dalam pernikahan.

Dari penjelasan para ulama tersebut, diketahui mahar pada dasarnya boleh dibayarkan setelah akad nikah, baik secara tunai maupun ditangguhkan, selama terdapat kesepakatan yang jelas, dan hal tersebut bukan perbuatan dosa.




(kri/kri)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads