Hukum Tidak Memandikan dan Mengafani Jenazah Saat Korban Bencana Sangat Banyak

Hukum Tidak Memandikan dan Mengafani Jenazah Saat Korban Bencana Sangat Banyak

Salsa Dila Fitria Oktavianti - detikHikmah
Rabu, 17 Des 2025 14:00 WIB
Hukum Tidak Memandikan dan Mengafani Jenazah Saat Korban Bencana Sangat Banyak
Ilustrasi bencana alam. Foto: Ilustrasi menggunakan Gemini AI
Jakarta -

Hukum tidak memandikan dan mengafani jenazah saat korban bencana sangat banyak menjadi isu yang dibahas dalam fikih Islam, khususnya ketika pelaksanaan pemulasaraan jenazah tidak memungkinkan dilakukan secara sempurna.

Situasi bencana yang sering kali menghadirkan keterbatasan tenaga, waktu, dan sarana, menyebabkan kewajiban tersebut sulit dijalankan sebagaimana kondisi normal.

Memandikan dan mengafani jenazah saat korban bencana sangat banyak perlu dipahami berdasarkan kaidah umum syariat yang memperhatikan kemampuan manusia dan kondisi darurat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Prinsip ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah ayat 286 yang menegaskan bahwa Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam QS Al-Baqarah ayat 286:

ADVERTISEMENT

لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا ۗ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَآ اِنْ نَّسِيْنَآ اَوْ اَخْطَأْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَآ اِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهٗ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهٖۚ وَاعْفُ عَنَّاۗ وَاغْفِرْ لَنَاۗ وَارْحَمْنَا ۗ اَنْتَ مَوْلٰىنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكٰفِرِيْنَ ࣖ

Latin: Lā yukallifullāhu nafsan illā wus'ahā, lahā mā kasabat wa 'alaihā maktasabat, rabbanā lā tu'ākhiżnā in nasīnā au akhṭa'nā, rabbanā wa lā taḥmil 'alainā iṣran kamā ḥamaltahū 'alal-lażīna min qablinā, rabbanā wa lā tuḥammilnā mā lā ṭāqata lanā bih(ī), wa'fu 'annā, wagfir lanā, warḥamnā, anta maulānā fanṣurnā 'alal qaumil-kāfirīn(a).

Artinya: Allah tidak membebani seseorang, kecuali menurut kesanggupannya. Baginya ada sesuatu (pahala) dari (kebajikan) yang diusahakannya dan terhadapnya ada (pula) sesuatu (siksa) atas (kejahatan) yang diperbuatnya. (Mereka berdoa,) "Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami salah. Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung kami. Maka, tolonglah kami dalam menghadapi kaum kafir." (Al-Baqarah: 286)

Hukum Tidak Memandikan dan Mengafani Jenazah dalam Islam

Hukum memandikan dan mengafani jenazah pada dasarnya merupakan kewajiban kolektif (fardhu kifayah) bagi kaum Muslimin yang masih hidup. Dikutip dari buku Fikih Empat Madzhab Jilid 2 karya Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi, kewajiban ini dianggap gugur apabila telah dilaksanakan oleh satu orang atau beberapa orang. Artinya, tidak seluruh kaum Muslimin menanggung dosa selama pengurusan jenazah sudah dilakukan oleh pihak yang mampu.

Para ulama sepakat bahwa pemandian jenazah yang diwajibkan cukup dilakukan satu kali, dengan syarat mencakup seluruh bagian tubuh. Adapun pemandian lanjutan dalam jumlah ganjil hukumnya tidak wajib.

Mayoritas ulama memandangnya sebagai amalan sunnah, meskipun Madzhab Maliki berpendapat bahwa pemandian tambahan tersebut hanya bersifat anjuran dan tidak sampai pada tingkat sunnah.

Dalam kondisi normal, kewajiban memandikan dan mengafani jenazah Muslim menjadi bagian penting dari penghormatan terakhir terhadap mayat. Namun, dalam situasi luar biasa seperti bencana alam, wabah, atau peristiwa dengan jumlah korban yang sangat banyak, para ulama membuka ruang keringanan.

Syariat Islam tidak memaksakan pelaksanaan kewajiban di luar batas kemampuan, sebagaimana kaidah fikih menyebutkan bahwa kewajiban dapat gugur ketika terdapat uzur syar'i atau keadaan darurat yang nyata.

Oleh karena itu, apabila tidak memungkinkan untuk memandikan dan mengafani seluruh jenazah karena keterbatasan waktu, tenaga, atau kondisi keamanan, maka pelaksanaannya disesuaikan dengan kemampuan yang ada. Prinsip kemudahan (taysir) dan menghindari kesulitan (raf'ul haraj) menjadi landasan utama dalam pengurusan jenazah pada situasi darurat semacam ini.

Sebagai penguat dalam pembahasan hukum memandikan jenazah pada situasi darurat, Fatwa MUI Nomor 18 Tahun 2020 yang ditetapkan pada 27 Maret 2020 menegaskan adanya kelonggaran dalam tata cara pengurusan jenazah. Dalam fatwa tersebut dijelaskan bahwa pemandian jenazah dapat dilakukan tanpa membuka pakaian demi menjaga keselamatan orang lain.

Apabila berdasarkan pertimbangan ahli yang tepercaya jenazah tidak memungkinkan untuk dimandikan, maka pemandian dapat diganti dengan tayamum sesuai ketentuan syariat.

Fatwa tersebut juga menjelaskan bahwa penguburan jenazah boleh dilakukan dengan jenazah tetap berada di dalam peti tanpa harus membuka plastik pembungkus maupun kain kafan. Bahkan, dalam kondisi darurat yang nyata, penguburan beberapa jenazah dalam satu liang kubur diperbolehkan.

Ketentuan ini didasarkan pada prinsip darurat syar'i, sehingga pelaksanaan kewajiban memandikan dan mengafani jenazah tetap menyesuaikan kemampuan dan kondisi lapangan tanpa mengabaikan tujuan utama syariat.

Hukum Tidak Mengafani Jenazah dalam Kondisi Darurat

Mengafani jenazah merupakan kewajiban berikutnya setelah proses pemandian. Dikutip dari buku Pendidikan Agama Islam karya Bachrul Ilmy, jenazah yang telah dimandikan wajib segera dikafani. Hukum mengafani ini adalah fardhu kifayah, sehingga kewajiban tersebut gugur apabila telah dilaksanakan oleh sebagian kaum Muslimin.

Para ulama sepakat bahwa kain kafan yang digunakan harus bersih dari najis dan sekurang-kurangnya mampu menutup seluruh jasad jenazah. Dalam kondisi normal, pengafanan menjadi bagian penting dari penghormatan terakhir terhadap jenazah Muslim sebelum dimakamkan.

Dalam ajaran Islam, kain kafan yang dianjurkan adalah kain berwarna putih. Anjuran ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Ibnu Umar, yang menganjurkan kaum Muslimin untuk menggunakan pakaian berwarna putih dan mengafani jenazah dengan kain tersebut. Namun, ketentuan ini bersifat anjuran, bukan syarat sah pengafanan.

Rasulullah SAW dalam hadits riwayat At-Tirmidzi dari Ibnu Umar bersabda:

الْبِسُوا مِنْ ثِيَابِكُمُ الْبَيَاضَ فَإِنَّهَا خَيْرُ ثِيَابِكُمْ وَكَفِّنُوْا فِيهَا مَوْتَاكُمْ

Artinya: "Pakailah olehmu kain yang putih karena sesungguhnya kain yang putih itu adalah sebaik-baiknya kain dan kafanilah mayat kamu dengan kain putih."

Apabila kain kafan berwarna putih tidak tersedia, maka diperbolehkan menggunakan kain apa pun yang ada, selama dapat menutupi seluruh tubuh jenazah dan suci dari najis. Bahkan dalam kondisi tertentu, pengafanan dapat dilakukan dengan bahan sederhana seperti kain seadanya, tikar, atau daun lebar. Ketentuan ini menunjukkan adanya fleksibilitas dalam syariat, khususnya ketika dihadapkan pada keterbatasan sarana.

Dalam situasi darurat, seperti bencana alam atau peristiwa dengan jumlah korban meninggal yang sangat banyak, tidak terpenuhinya pengafanan secara sempurna dapat dimaklumi secara syar'i.

Selama keterbatasan tersebut benar-benar nyata dan di luar kemampuan, kewajiban mengafani dapat disesuaikan dengan kondisi lapangan. Prinsip ini sejalan dengan kaidah fikih bahwa kewajiban syariat berlaku sesuai kemampuan dan tidak dimaksudkan untuk memberatkan.

Adapun pembiayaan kain kafan pada dasarnya diambil dari harta milik jenazah sendiri, yakni harta yang tidak terkait dengan hak pihak lain. Jika jenazah tidak memiliki harta, maka biaya pengafanan menjadi tanggungan orang yang selama hidupnya berkewajiban menafkahinya.

Apabila pihak tersebut juga tidak mampu, maka pembiayaan diambil dari Baitul Mal atau kaum Muslimin yang mampu. Namun, dalam kondisi darurat massal, keterbatasan pembiayaan dan sarana dapat menjadi uzur yang menggugurkan tuntutan pengafanan secara ideal.

Dengan demikian, sebagaimana halnya kewajiban memandikan jenazah, kewajiban mengafani pun tetap berlandaskan prinsip kemudahan dan kemampuan. Syariat Islam memberikan kelonggaran agar penghormatan terhadap jenazah tetap terjaga tanpa mengabaikan realitas keadaan yang sangat terbatas.

Syarat Jenazah yang Wajib Dimandikan

Dikutip dalam buku Fikih oleh Hasbiyallah, berikut beberapa syarat jenazah yang wajib untuk dimandikan, di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Jenazah Tersebut Beragama Islam

Memandikan jenazah non-Muslim tidak termasuk kewajiban. Meski demikian, Madzhab Syafi'i menyatakan bahwa memandikan jenazah non-Muslim tidak diharamkan apabila dilakukan semata-mata untuk tujuan kebersihan, bukan sebagai bentuk ibadah.

2. Jenazah Bukan Merupakan Anak Gugur dengan Kondisi Tertentu

Menurut ulama Syafi'iyah, anak gugur yang lahir sebelum usia kandungan enam bulan memiliki beberapa ketentuan. Jika telah berbentuk ciptaan manusia, maka ia wajib dimandikan meskipun tidak disalatkan.

Namun, apabila belum berbentuk, maka tidak ada kewajiban memandikannya. Adapun anak gugur yang lahir setelah masa kandungan sempurna, maka tetap wajib dimandikan walaupun terlahir dalam keadaan meninggal.

3. Masih Terdapat Bagian Tubuh Jenazah, Meskipun Hanya Sebagian Kecil

Syafi'iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa kewajiban memandikan tetap berlaku selama masih ada bagian tubuh yang tersisa. Sementara itu, Hanafiyah mensyaratkan agar bagian tubuh yang ada lebih dari separuh atau setidaknya separuh beserta kepala. Malikiyah berpendapat kewajiban memandikan baru berlaku jika bagian tubuh yang tersisa mencapai sepertiga badan, meskipun dengan kepala.

4. Jenazah Tersebut Bukan Orang yang Wafat dalam Keadaan Syahid

Dalam fikih Islam, jenazah syahid tidak dimandikan dan tidak dikafani secara sempurna seperti jenazah pada umumnya, karena kemuliaan khusus yang diberikan syariat kepada mereka.

Pengurusan jenazah saat korban bencana sangat banyak hendaknya dipahami dengan mempertimbangkan kemampuan, situasi lapangan, serta prinsip kemudahan yang diajarkan dalam syariat Islam.

Wallahu a'lam.




(inf/inf)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads