Di balik keindahan pantai dan panorama Gunung Rinjani, Lombok menyimpan warisan spiritual yang jarang diketahui banyak orang yaitu Islam Wetu Telu. Paham keislaman khas masyarakat Bayan, Lombok Utara, ini lahir dari proses panjang akulturasi antara Islam dan budaya lokal, yang hingga kini masih menyisakan jejak dalam kehidupan masyarakat adat.
Akbar, seorang pemandu wisata lokal, menceritakan kisah ini dengan antusias saat ditemui detikHikmah di sela acara Media Gathering Institut Agama Hindu Negeri (IAHN) Gde Pudja Mataram, Minggu (9/11/2025).
"Islam Wetu Telu ini adalah sebuah paham yang muncul untuk mengimbangi ajaran agama Hindu. Kalau di Bali ada Tri Hita Karana-harmoni antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama, dan manusia dengan alam-di Lombok konsep itu diislamkan lewat Wetu Telu," jelas Akbar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jejak Islam dari Masa Majapahit
Menurut Akbar, akar Islam Wetu Telu sudah ada sejak masa paham Boda Sasak, jauh sebelum Islam menyebar di Lombok. Paham ini kemudian dipertegas dengan kedatangan Sunan Prapen, utusan dari Gresik, pada abad ke-9 hingga ke-10, masa ketika Lombok masih berada di bawah pengaruh Majapahit.
"Filosofi Wetu Telu itu menggambarkan tiga fase kehidupan makhluk: masemi atau tumbuh, menganak atau beranak, dan meteluk atau bertelur. Dari situ, muncul pandangan bahwa segala sesuatu di alam ini punya proses hidup yang saling terhubung," ujarnya.
Selain itu, lanjut Akbar, ajaran Wetu Telu juga berpijak pada sumber-sumber Islam: Al-Qur'an, Hadits, dan ijma' para ulama. Namun dalam praktiknya, paham ini beradaptasi dengan tradisi lokal yang kuat, menghasilkan bentuk keagamaan yang unik-sebuah pertemuan antara nilai Islam dan kearifan Nusantara.
Wilayah Bayan, di Lombok Utara, menjadi pusat penyebaran Islam Wetu Telu. Di sana, warisan tradisi ini masih terjaga, terutama di kalangan para tetua adat. Meski demikian, generasi muda Bayan kini sudah mempraktikkan Islam secara sempurna sesuai rukun dan syariat.
"Generasi tua masih menjaga pegangan lama itu, seperti ritual dan acara tradisi. Tapi anak-anak mudanya sudah mengikuti ajaran Islam yang utuh. Sama seperti di Yogyakarta atau Solo, kesultanannya masih melestarikan upacara tradisi meski kehidupan modern sudah berkembang," jelas Akbar.
Salah satu peninggalan berharga dari masa Wetu Telu adalah Babat Lombok, naskah kuno yang ditulis di daun lontar menggunakan aksara mirip huruf Jawa.
"Kalau di Jawa punya Primbon, kita punya Babat Lombok. Ditulis dengan aksara Henecereke, mirip Honocoroko. Itu semacam kitab sejarah dan ajaran kehidupan masyarakat Sasak," terang Akbar.
Kini, Babat Lombok masih dibaca dalam upacara-upacara adat besar seperti haul Masjid Bayan atau perayaan desa. Namun ajaran Wetu Telu sendiri, kata Akbar, lebih dilihat sebagai simbol peradaban dan warisan budaya, bukan lagi sebagai sistem keagamaan.
"Wetu Telu sekarang hanya simbolisme saja. Tapi itu penting, karena dari sanalah kita tahu bahwa Islam di Lombok tumbuh dari proses dialog panjang antara agama, budaya, dan alam," tuturnya.
Dalam filosofi Islam Wetu Telu, hubungan manusia dengan Tuhan, sesama, dan alam tidak bisa dipisahkan. Nilai harmoni inilah yang menjadi pesan abadi dari Bayan kepada dunia modern yang kerap kehilangan keseimbangan.
"Dulu leluhur kita sudah bicara soal keseimbangan ekosistem, kesadaran sosial, dan spiritualitas. Semua itu ada dalam Wetu Telu," imbuh Akbar.
"Seperti rumput yang tumbuh, manusia yang beranak, dan burung yang bertelur. semua adalah bagian dari satu kesatuan kehidupan yang selaras," tutupnya.
Melansir laman Indonesia.go.id, Islam Wetu Telu dapat dijumpai di Desa Sembalun yang terletak di kaki Gunung Rinjani. Masyarakat sana masih melestarikan budaya animisme dan spiritual yang dipercaya sebagai penjaga Gunung Rinjani.
Pada tahun 1940, penulis J. Van Ball mencatat bahwa Wetu Telu merupakan pusat kebudayaan sekaligus komunitas masyarakat Sasak. Catatan tersebut kemudian diterjemahkan oleh Koentjaraningrat dalam bukunya Pesta Alip di Bayan.
Pesta Alip sendiri adalah upacara adat yang diadakan setiap delapan tahun sekali, bertujuan untuk merawat dan menghormati makam para leluhur Bayan yang berada di kompleks Masjid Kuno Bayan.
Asal-usul istilah Wetu Telu hingga kini belum diketahui secara pasti. Kata wetu bukan berasal dari bahasa Sasak-Bayan, melainkan diduga berasal dari bahasa Jawa, seiring dengan masuknya Islam melalui para penyebar dari Jawa. Kata wetusering dihubungkan dengan kata metu dalam bahasa Jawa yang berarti "muncul" atau "keluar", sedangkan telu berarti "tiga" dalam bahasa Sasak-Bayan.
Dalam hal Syahadat, tidak terdapat perbedaan makna dengan umat Islam pada umumnya. Hanya saja, masyarakat Wetu Telu mengucapkannya bukan dalam bahasa Arab atau Jawa.
Praktik salat mereka pun serupa, termasuk pelaksanaan salat lima waktu, salat Jumat, salat jenazah, serta salat pada hari besar seperti Idul Fitri dan Idul Adha. Namun, dalam keseharian, mereka dikenal melaksanakan tiga salat utama, yaitu Subuh, Magrib, dan Isya.
Perbedaan lain terlihat dalam ibadah puasa, di mana masyarakat Wetu Telu berpuasa tiga kali dalam sebulan-pada awal, pertengahan, dan akhir Ramadan. Selama berpuasa, mereka wajib mematuhi sejumlah pantangan, seperti tidak bekerja, tidak keluar rumah, dan tidak berbohong.
Dalam urusan zakat, masyarakat Wetu Telu tidak menyalurkannya kepada fakir miskin, melainkan kepada para kyai sebagai wujud penghormatan dan balas budi, dengan harapan memperoleh keberkahan dan kesejahteraan dunia-akhirat.
Yang membedakan secara mencolok adalah rukun Islam kelima. Penganut Wetu Telu tidak mengenal ibadah haji ke tanah suci. Sebagai gantinya, mereka menempatkan penghormatan kepada leluhur sebagai perantara hubungan manusia dengan Tuhan.
Bagi masyarakat Wetu Telu, leluhur diyakini sebagai pembawa berkah dan pelindung bagi keturunannya. Keyakinan ini juga melahirkan sistem aturan spiritual yang disebut Pemalik - seperangkat pantangan dan norma adat yang diyakini membawa kesialan jika dilanggar, serta diwariskan turun-temurun sebagai pedoman moral dan sosial komunitas Wetu Telu.
(hnh/lus)












































Komentar Terbanyak
Gus Irfan soal Umrah Mandiri: Pemerintah Saudi Izinkan, Masa Kita Larang?
Cak Imin Sebut Indonesia Gudang Ulama
MUI Surakarta Jelaskan Hukum Jenazah Raja Dimakamkan dengan Busana Kebesaran