Badal haji merupakan salah satu bentuk keringanan dalam syariat bagi muslim yang tidak mampu melaksanakan ibadah haji secara langsung. Ibadah haji sendiri adalah rukun Islam kelima yang diwajibkan bagi setiap muslim yang memenuhi syarat istitha'ah. Namun dalam kondisi tertentu, seperti sakit permanen, usia lanjut, atau sebab lain yang tidak memungkinkan, kewajiban tersebut tidak dapat ditunaikan dengan tenaga sendiri.
Sebagai solusi, Islam memberikan jalan keluar berupa badal haji, yaitu pelaksanaan haji yang diwakilkan kepada orang lain dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Memahami hukum, dalil, serta tata cara pelaksanaannya menjadi penting agar ibadah ini tetap sah dan sesuai tuntunan Rasulullah SAW.
Pengertian Badal Haji
Menurut Kementerian Agama (Kemenag) RI, badal haji merupakan kegiatan menghajikan orang yang telah meninggal (yang belum haji) atau menghajikan orang yang sudah tak mampu melaksanakannya (secara fisik) disebabkan oleh suatu udzur, seperti sakit yang tak ada harapan sembuh.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara menurut Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), badal haji merupakan pelaksanaan ibadah haji yang dilakukan oleh seseorang untuk menggantikan orang lain yang tidak mampu menunaikannya sendiri. Praktik ini memiliki dasar hukum dalam ajaran Islam yang menjelaskan tentang kemampuan seorang Muslim serta kewajibannya dalam melaksanakan rukun Islam kelima.
Tujuan utama badal haji adalah memastikan bahwa setiap Muslim yang memiliki keinginan untuk berhaji tetap dapat menunaikannya meskipun menghadapi kendala yang tidak dapat diatasi.
Melalui mekanisme badal haji, umat Islam dapat saling membantu dalam memenuhi kewajiban agama secara bersama-sama, sekaligus memperkuat nilai-nilai persaudaraan dan solidaritas dalam Islam.
Dalil dan Hukum Badal Haji
Untuk memahami dasar hukum badal haji, para ulama merujuk pada beberapa riwayat sahih yang secara jelas menunjukkan bahwa Rasulullah SAW membolehkan seseorang untuk menghajikan orang lain dalam kondisi tertentu. Berikut beberapa hadits yang menjadi landasan penting dalam pembahasan ini.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ الْفَضْلِ أَنَّ امْرَأَةَ مِنْ خَثْعَمَ قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبِي شَيْخٌ كَبِيرٌ عَلَيْهِ فَرِيضَةُ اللَّهِ فِي الْحَجِّ وَهُوَ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَسْتَوِيَ عَلَى ظَهْرِ بَعِيرِهِ. فَقَالَ النَّبِيُّ - صلى الله عليه وسلم - فَحُجَّى عَنْهُ". (رواه البخاري ومسلم واللفظ له)
Artinya: Dari Ibnu Abbas dari al-Fadl: "Seorang perempuan dari kabilah Khats'am bertanya kepada Rasulullah: "Wahai Rasulullah, ayahku telah wajib haji, tapi dia sudah tua renta dan tidak mampu lagi duduk di atas kendaraan?". Jawab Rasulullah: "Kalau begitu lakukanlah haji untuk dia!" (HR. Bukhari, Muslim, dan lain-lain).
Dalam riwayat lain, Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma menceritakan bahwa Rasulullah SAW membolehkan seorang anak menghajikan ibunya yang tidak mampu lagi melakukan perjalanan. Hal ini menjadi dalil jelas bahwa badal haji diperkenankan dalam kondisi tertentu.
عَنِ ابْنِ عَبَّاس - رضي الله عنهما - أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ إِلَى النَّبي - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَتْ: إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ، فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ أَفَأَحُجُ عَنْهَا قَالَ: نَعَمْ، حُجَّى عَنْهَا، أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أكُنْتِ قَاضِيَةً اقْضُوا الله، فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ". (رواه البخاري والنساء)
Artinya: Dari Ibnu Abbas ra: "Seorang perempuan dari Bani Juhainah datang kepada Nabi SAW., dia bertanya: "Wahai Nabi SAW., Ibuku pernah bernazar ingin melaksanakan ibadah haji hingga beliau meninggal, padahal dia belum melaksanakan ibadah haji tersebut, apakah aku bisa menghajikannya? Rasulullah menjawab: Ya, hajikanlah untuknya, kalau ibumu punya hutang kamu juga wajib membayarnya bukan? Bayarlah hutang Allah, karena hak Allah lebih berhak untuk dipenuhi" (HR. Bukhari dan Nasa'ï).
Ada pula hadits lain dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma yang menegaskan bahwa seseorang boleh menghajikan kerabatnya yang sudah tidak mampu melakukannya sendiri. Riwayat ini turut menguatkan legitimasi syariat badal haji.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ - صلى الله عليه وسلم - سمع رَجُلاً يَقُولُ لَبَّيْكَ عَنْ شُبُرُمَةَ. قَالَ: مَنْ شُبُرُمَةَ. قَالَ: أَخٌ لي أَوْ قَرِيبٌ لِي. قَالَ: "حَجَجْتَ عَنْ نَفْسِكَ". قَالَ: لا. قَالَ: "حُجَّ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ حُجَّ عَنْ شُبُرُمَةَ". (رواه أبو داود وابن ماجة)
Artinya: Dari Ibnu Abbas, pada saat melaksanakan haji, Rasulullah SAW. mendengar seorang lelaki berkata: "Labbaika 'an Syubrumah" (Labbaik/aku memenuhi pangilan-Mu ya Allah, untuk Syubrumah). Lalu Rasulullah bertanya: "Siapa Syubrumah?". "Dia saudaraku atau kerabatku, wahai Rasulullah", jawab lelaki itu. "Apakah kamu sudah pernah haji?" Rasulullah bertanya". "Belum" jawabnya. "Berhajilah untuk dirimu, lalu berhajilah untuk Syubrumah", lanjut Rasulullah. (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Selain berlandaskan hadits-hadits Nabi SAW, ketentuan mengenai badal haji juga telah diatur dalam berbagai regulasi resmi di Indonesia. Regulasi ini disusun untuk memastikan pelaksanaan badal haji berjalan tertib, sah, dan sesuai dengan prinsip syariat sekaligus standar administrasi negara.
Beberapa peraturan penting yang mengatur hal tersebut antara lain:
- Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan UU No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, Pasal 28 huruf b dan Pasal 42 ayat (3) huruf b.
- Peraturan Menteri Agama Nomor 14 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler.
- Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 15 Tahun 2016 tentang Istitha'ah Kesehatan Jemaah Haji.
- Keputusan Dirjen Nomor 456 Tahun 2015 tentang Pedoman Safari Wukuf dan Badal Haji.
Syarat Badal Haji
Agar pelaksanaan badal haji sah, terdapat syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi baik oleh orang yang diwakilkan maupun yang mewakili.
Orang yang membadalhajikan harus sudah pernah haji terlebih dahulu, sebagaimana pendapat mazhab Syafi'i dan mazhab Hanbali, bahwa orang yang akan menghajikan orang lain harus sudah haji untuk dirinya.
Apabila dia belum haji, maka tidak sah menghajikan orang lain, sebagaimana hadits dari Ibnu Abbas menyatakan:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعَ رَجُلاً يَقُولُ: لَبَّيْكَ عَنْ شُبُرُمَةَ. قَالَ: مَنْ شُبْرُمَهُ ؟ قَالَ: أَخٌ لِي أَوْ قَرِيبٌ لِي. قَالَ: حَجَجْتَ عَنْ نَفْسِكَ ؟ قَالَ: لا. قَالَ: حُجَّ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ حُجَّ عَنْ شُبُرُمَةَ. (رواه أبو داود وابن حبان والحاكم)
Artinya: Dari Ibnu Abbas ra., bahwasannya Nabi SAW. mendengar lelaki berkata: "Ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu untuk Syubramah". Nabi SAW. bertanya: Siapa Syubramah? Dia menjawab: Syubramah adalah saudaraku atau kerabatku. Nabi SAW. bertanya: Apakah engkau berhaji untuk diri Anda? Dia berkata: Bukan. Lalu Nabi SAW. bersabda: Berhajilah untuk dirimu, kemudian berhaji untuk Syubramah. (HR. Abu Daud, Ibnu Hibban, dan Hakim).
Meskipun demikian, menurut mazhab Hanafi dan Maliki, bahwa orang yang belum haji boleh menghajikan (membadalhajikan) orang lain dan sah menurut hukum, tetapi orang tersebut berdosa karena belum haji untuk dirinya (Muhammad Ahmad, Fiqh al-Haj wa al-'Umrah wa al-Ziyarah, hlm. 39)
Jumhur ulama sepakat bahwa haji merupakan ibadah wajib bagi setiap Muslim yang memiliki kemampuan (istitha'ah), dan kewajiban itu hanya sekali seumur hidup.
Istitha'ah mencakup dua bentuk, yaitu istitha'ah binafsih, yaitu kemampuan untuk berhaji sendiri karena memiliki kecukupan biaya dan kondisi fisik yang memadai; serta istitha'ah bighairihi, yaitu kemampuan berhaji melalui perantara orang lain (badal haji), yang berlaku bagi orang yang berada dalam kondisi al-ma'dzub atau telah meninggal dunia.
Para ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan badal haji. Mayoritas ulama membolehkannya atau dalam istilah fikih disebut al-hajj 'an al-ghair. Tiga mazhab yang membolehkannya adalah Hanafi, Syafi'i, dan Hanbali.
Sementara itu, mazhab Maliki tidak memperkenankan badal haji kecuali jika seseorang sebelum wafat telah berwasiat untuk dihajikan, itupun menggunakan harta peninggalannya selama tidak melebihi sepertiganya (lihat Abd al-Rahman al-Jazairi, Al-Fiqh 'ala al-Madzahib al-Arba'ah, Vol. I, hlm. 706-710; Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, III/426).
Tata Cara Badal Haji
Jika seluruh syarat telah terpenuhi, barulah badal haji dapat dilakukan dengan mengikuti tata cara yang telah diatur dalam fikih.
Tata cara/kaifiyah pelaksanaan badal haji sama dengan pelaksanaan haji untuk diri sendiri kecuali ketika niat harus niat badal untuk seseorang (al-hajju 'an...). Namun terkait miqat badal haji, para fuqaha berbeda pendapat, antara lain:
a. Mazhab Hanbali berpendapat, bahwa orang yang membadalkan haji, wajib memulai ihramnya dari miqat negeri orang yang dibadalkan, kecuali biaya untuk badal haji tidak mencukupi, maka boleh dari miqat mana saja yang mudah, sebagaimana hadits Nabi SAW:
وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ (رواه البخاري)
Artinya: Apabila diperintahkan kepada kamu dengan suatu urusan, maka laksanakanlah sesuai dengan kemampuanmu (HR. Bukhari)
Pendapat ini dikuatkan oleh al-Hasan, Ishaq bin Rahawaib, dan Malik.
b. Imam Atha'bin Rabah berpendapat, jika orang yang nazar tidak berniat dari suatu tempat, maka orang yang akan membadalkan haji dapat memulai niat ihram dari miqatnya.
c. Imam Syafi'i menyatakan, bahwa orang yang berkewajiban haji pertama kali (hijjatul Islam), tetapi diupahkan kepada orang lain, maka orang yang membadalkan harus berniat dari miqatnya orang yang dibadalkan (Abu Muhammad Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni, Juz V, hlm. 120-123).
Prosedur Pelaksanaan Badal Haji
Dikutip dari laman resmi BPKH, badal haji dapat dilaksanakan dengan penuh keberkahan dan tetap sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam apabila mengikuti prosedur yang benar. Berikut tahapan yang umumnya dilakukan dalam pelaksanaan badal haji:
1. Persiapan Mandat (Kuasa)
Langkah awal adalah menyiapkan mandat atau surat kuasa dari pihak yang ibadah hajinya akan digantikan. Mandat ini harus jelas, sah secara hukum, serta diberikan secara sukarela. Kuasa tersebut menjadi dasar bagi pelaksana untuk menjalankan seluruh rangkaian ibadah haji atas nama pemberi kuasa.
2. Verifikasi Kelayakan Pelaksana
Setelah mandat disiapkan, tahap berikutnya adalah melakukan verifikasi terhadap kelayakan pelaksana badal haji. Verifikasi ini meliputi pengecekan kondisi kesehatan, kesiapan finansial, serta kepatuhan terhadap ketentuan hukum. Proses ini bertujuan memastikan ibadah dilaksanakan secara bertanggung jawab dan sesuai syariat.
3. Pendaftaran dan Persiapan Perjalanan
Jika pelaksana dinyatakan layak, tahap selanjutnya adalah melakukan pendaftaran haji sesuai prosedur yang berlaku pada lembaga penyelenggara. Selain itu, seluruh kebutuhan perjalanan seperti tiket, akomodasi, dan dokumen perjalanan, perlu dipersiapkan sebelum keberangkatan ke Tanah Suci.
4. Pelaksanaan Ibadah Haji
Setibanya di Tanah Suci, pelaksana badal haji harus menjalankan seluruh tahapan manasik haji sesuai tuntunan syariat. Hal ini mencakup tawaf, sai, wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah, melempar jumrah, serta ritual lainnya yang menjadi bagian dari ibadah haji.
5. Pelaporan dan Dokumentasi
Setelah seluruh ritual selesai ditunaikan, tahap terakhir adalah memberikan laporan dan dokumentasi kepada pemberi kuasa. Bukti tersebut dapat berupa sertifikat haji, foto, atau dokumen lain yang menegaskan bahwa ibadah haji telah dilaksanakan atas nama yang bersangkutan.
Badal haji merupakan bentuk kemudahan yang diberikan Allah SWT bagi hamba-Nya yang tidak mampu menjalankan ibadah haji secara langsung. Dengan memahami pengertian, dalil, syarat, serta tata caranya, umat dapat melaksanakan ibadah ini dengan benar, sah, dan sesuai tuntunan syariat.
Pada akhirnya, tujuan ibadah tetaplah sama, yaitu untuk mendekatkan diri kepada Allah dan menyempurnakan salah satu rukun Islam dengan penuh keikhlasan.
(inf/inf)












































Komentar Terbanyak
MUI: Nikah Siri Sah tapi Haram
Penjelasan Kemenag soal Penetapan Waktu Subuh di Indonesia
Daftar Besaran Biaya Haji Reguler 2026 Tiap Embarkasi Daerah