Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama menyoroti maraknya promosi jasa nikah siri yang akhir-akhir ini beredar luas di berbagai platform media sosial.
Berdasarkan informasi dari laman resmi Kementerian Agama RI, Senin (24/11/2025), Direktur Bina KUA dan Keluarga Sakinah, Ahmad Zayadi, menilai fenomena ini harus mendapat perhatian serius karena dapat memunculkan persoalan keagamaan, sosial, hingga hukum yang berpotensi merugikan masyarakat, terutama perempuan dan anak.
Zayadi menjelaskan bahwa dalam hukum nasional, sebuah perkawinan tidak dianggap sah hanya karena telah memenuhi rukun dan syarat agama, tetapi juga harus dicatatkan secara resmi oleh negara. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah diperbarui melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pencatatan perkawinan bukan sekadar administrasi, tetapi merupakan instrumen perlindungan hukum bagi seluruh pihak," ujarnya.
Ia menambahkan bahwa pencatatan resmi memungkinkan adanya kepastian hak dan kewajiban suami-istri, termasuk perlindungan bagi anak. Tanpa pencatatan negara, hak-hak seperti nafkah, warisan, hingga status hukum anak tidak dapat diproses secara formal. Zayadi juga menekankan bahwa pernikahan tanpa pencatatan tidak akan pernah mendapatkan buku nikah sebagai dasar seluruh urusan hukum keluarga.
"Ini penting dipahami masyarakat: melalui nikah siri, buku nikah tidak akan diterbitkan, dan seluruh hak yang terkait dokumen tersebut otomatis tidak dapat diperoleh," tambahnya.
Selain itu, ia menjelaskan bahwa aturan turunan seperti PP Nomor 9 Tahun 1975 dan PMA Nomor 30 Tahun 2024 tentang Pencatatan Pernikahan mewajibkan akad nikah dilakukan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) atau penghulu. Pengawasan ini meliputi pengecekan identitas calon pengantin, batas usia, status perkawinan, keabsahan wali, serta keberadaan dua saksi yang memenuhi syarat.
"Tanpa mekanisme ini, keabsahan sebuah perkawinan sulit dipertanggungjawabkan, baik menurut hukum negara maupun syariat," ungkapnya.
Lebih jauh, Zayadi menilai praktik jasa nikah siri berbayar yang dipromosikan secara instan di media sosial seringkali tidak memenuhi standar Pedoman Akad Nikah Ditjen Bimas Islam. Tidak adanya verifikasi wali, saksi yang tidak jelas, tidak ada pengecekan usia, dan tidak adanya pengawasan penghulu membuat praktik ini rentan menyebabkan masalah seperti sengketa rumah tangga, penelantaran, poligami tak terkendali, hingga potensi eksploitasi.
"Ini bukan sekadar risiko administratif, tetapi risiko kemanusiaan," tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa negara memiliki kewajiban konstitusional untuk memastikan setiap perkawinan terlaksana sesuai syariat sekaligus memberikan perlindungan hukum kepada warganya. Karena itu, jasa nikah siri digital yang bersifat transaksional dinilai bertentangan dengan prinsip mitsaqan ghalizha dan mengabaikan ketentuan hukum yang berlaku.
Menutup pernyataannya, Zayadi mengimbau masyarakat agar melangsungkan pernikahan secara resmi melalui Kantor Urusan Agama (KUA).
"Pernikahan yang dicatatkan negara memberikan kepastian hukum, menjamin hak istri dan anak, serta memastikan seluruh tata syariat terpenuhi dengan baik. Kami mengajak masyarakat untuk tidak menggunakan jasa nikah tidak resmi yang dipromosikan melalui media sosial demi menghindari dampak hukum, sosial, dan moral yang merugikan," tutupnya.
(lus/lus)












































Komentar Terbanyak
Tolak Mundur dari Ketum PBNU, Gus Yahya Kumpulkan Ulama Malam Ini Tanpa Rais Aam
Gus Yahya Kumpulkan Alim Ulama di PBNU Malam Ini, Rais Aam & Sekjen Tak Diundang
Fatwa MUI: Bumi & Bangunan Hunian Tak Boleh Kena Pajak Berulang