Mesir dan Qatar Kecam Pernyataan Netanyahu soal Pengusiran Warga Gaza

Mesir dan Qatar Kecam Pernyataan Netanyahu soal Pengusiran Warga Gaza

Indah Fitrah - detikHikmah
Minggu, 07 Sep 2025 15:00 WIB
Israeli Prime Minister Benjamin Netanyahu attends the U.S. Independence Day reception, known as the annual
PM Israel Benjamin Netanyahu. Foto: REUTERS/Ronen Zvulun/Pool/ File Photo Purchase Licensing Rights
Jakarta -

Negara-negara Arab pada Jumat (5/9/2025) mengecam keras pernyataan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang menyebut adanya rencana untuk memindahkan warga Palestina dari Gaza melalui perlintasan Rafah di perbatasan Mesir.

Dalam wawancara dengan saluran Telegram Israel, Abu Ali Express, Netanyahu mengklaim terdapat "rencana berbeda untuk membangun kembali Gaza" dan menuduh bahwa "separuh penduduk ingin meninggalkan Gaza," sambil menyebutnya sebagai "bukan pengusiran massal." Ia juga menambahkan: "Saya dapat membuka Rafah untuk mereka, tetapi akan segera ditutup oleh Mesir."

Pernyataan ini langsung menuai kecaman dari Mesir, Yordania, dan Qatar.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dilansir dari Anadolu Ajansi, Kementerian Luar Negeri Mesir menilai komentar Netanyahu sebagai bagian dari "upaya berkelanjutan untuk memperpanjang eskalasi di kawasan dan mengabadikan ketidakstabilan sambil menghindari akuntabilitas atas pelanggaran Israel di Gaza."

Kairo menegaskan kembali "penolakan tegasnya terhadap pengusiran paksa warga Palestina dari tanah mereka." Kemenlu Mesir juga menekankan bahwa menargetkan warga sipil, infrastruktur penting, dan aspek kehidupan sehari-hari untuk memaksa pengungsian adalah "pelanggaran berat hukum humaniter internasional dan merupakan pembersihan etnis."

ADVERTISEMENT

Mesir menyerukan komunitas internasional untuk "mengaktifkan mekanisme akuntabilitas terhadap tindakan-tindakan tersebut," serta memperingatkan bahwa hal ini "semakin digunakan sebagai propaganda politik di Israel karena ketiadaan keadilan internasional."

Kairo menegaskan tidak akan pernah terlibat dalam praktik semacam itu atau menjadi perantara pengungsian warga Palestina, menyebutnya sebagai "garis merah" yang tidak dapat dilampaui. Mesir juga menyerukan diakhirinya "kekacauan yang ingin dipaksakan Israel," serta mendesak "gencatan senjata segera di Gaza, penarikan Israel dari wilayah kantong tersebut, dan dukungan internasional untuk memungkinkan Otoritas Palestina yang sah kembali ke Gaza."

Senada dengan Mesir, Kementerian Luar Negeri Yordania juga menyebut pernyataan Netanyahu tersebut sebagai "pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional dan hukum humaniter internasional."

Menurut Amman, "Pernyataan ini juga merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap hak asasi rakyat Palestina yang tidak dapat dicabut untuk tetap tinggal di tanah mereka dan mendirikan negara merdeka dan berdaulat sesuai dengan amanat 4 Juni 1967, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya," ujarnya sebagaimana dikutip dari Anadolu Ajansi.

Pada kesempatan yang sama, Kementerian Luar Negeri Qatar juga menyampaikan penolakan keras, menyebut komentar Netanyahu sebagai "perpanjangan dari kebijakan pendudukan yang melanggar hak-hak saudara-saudara Palestina, menunjukkan penghinaan terhadap hukum dan perjanjian internasional, dan melakukan upaya jahat untuk menghalangi jalan menuju perdamaian, khususnya solusi dua negara."

Qatar menegaskan, "Kebijakan hukuman kolektif yang dipraktikkan oleh pendudukan terhadap warga Palestina, termasuk genosida brutal yang sedang berlangsung di Jalur Gaza, kejahatannya di Tepi Barat, pelanggaran kesucian agama, rencananya untuk memperluas permukiman dan meyahudisasi Yerusalem, serta pembatasan masuknya bantuan kemanusiaan kepada warga sipil, tidak akan berhasil memaksa rakyat Palestina untuk meninggalkan tanah mereka atau merampas hak-hak sah mereka."

Pernyataan itu juga menekankan perlunya komunitas internasional untuk "bersatu dengan tekad untuk melawan kebijakan ekstremis dan provokatif pendudukan Israel, guna mencegah berlanjutnya siklus kekerasan di kawasan tersebut dan penyebarannya ke dunia."

Mesir dan Qatar Masih Memimpin Upaya Mediasi Hamas-Israel

Kecaman dari negara-negara Arab ini muncul ketika Mesir dan Qatar masih memimpin upaya mediasi antara Hamas dan Israel, dengan tujuan mengamankan gencatan senjata serta memfasilitasi masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza.

Reporter Al Jazeera, Hamdah Salhut, menilai komentar Netanyahu "sangat kontroversial" karena menurutnya pemerintah Israel sendiri telah menegaskan bahwa "mereka ingin Palestina keluar dari Gaza."

"Kecaman dari Qatar dan Mesir pada dasarnya memberi tahu Israel bahwa ini semua adalah bagian dari rencana besar mereka, bahwa Israel adalah pihak yang melancarkan perang di Jalur Gaza, bahwa kejahatan yang berkelanjutan terhadap rakyat Palestina dan penutupan total perlintasan perbatasan Rafah adalah alasan mengapa mereka dipenjara di Gaza, bukan karena alasan lain. Israel-lah yang secara sepihak menciptakan kebijakan ini," ujarnya.

Sementara itu, genosida yang sedang berlangsung di Gaza telah memasuki hari ke-700 pada Jumat (5/9/2025), dengan lebih dari 64.300 warga Palestina dilaporkan tewas akibat kampanye militer Israel yang telah menghancurkan daerah kantong tersebut dan menyebabkan kelaparan massal.

Pada November lalu, Mahkamah Pidana Internasional mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Israel juga menghadapi kasus genosida di Mahkamah Internasional atas perang di Gaza.




(inf/erd)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads