Allah SWT telah menciptakan bumi beserta seluruh isinya untuk dimanfaatkan manusia, mulai dari tumbuhan hingga hewan yang bisa dijadikan sumber makanan. Namun, dalam Islam setiap makanan memiliki aturan halal dan haram yang harus diperhatikan oleh umat Islam.
Salah satu hewan yang sering menimbulkan perbincangan adalah belut, hewan air yang bentuknya mirip dengan ular. Pertanyaannya, apakah belut halal untuk dikonsumsi oleh orang Islam atau justru termasuk hewan yang dilarang?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hukum Memakan Belut dalam Islam
Dijelaskan dalam buku Multikulturalisme Dalam Padangan Ulama Nusantara oleh Abdul Khobir, dkk, belut merupakan salah satu hewan air yang secara bentuk mirip dengan ular, sehingga banyak orang keliru dalam memandang status hukumnya.
Di sebagian masyarakat muslim, terutama pada masa lalu, kesalahpahaman ini menimbulkan stigma bahwa belut sama dengan ular yang hukumnya haram dimakan.
Pada abad ke-19 M, muncul pandangan negatif dari sebagian ulama Haramain terhadap orang Jawa yang gemar makan belut. Mereka menganggap kebiasaan tersebut sebagai sesuatu yang tercela karena menyamakan belut dengan ular darat.
Pandangan keliru ini semakin menguat di kalangan masyarakat Makkah, sehingga orang-orang Nusantara yang bermukim di sana sering diejek. Mereka dicap sebagai bangsa primitif yang memakan ular, padahal yang dimaksud sebenarnya adalah belut yang hidup di air.
Kesalahpahaman ini menimbulkan stigma bahwa orang Nusantara tidak membedakan antara makanan halal dan haram. Bahkan muncul anggapan bahwa mereka sengaja memakan sesuatu yang jelas-jelas haram menurut pandangan orang Makkah.
Melihat kondisi tersebut, Syekh Mukhtar Atharid Bogor merasa perlu untuk meluruskan kesalahpahaman ini. Syekh Mukhtar adalah seorang ulama besar, pengajar madzhab Syafi'i, dan ahli hadits yang berkiprah di Masjidil Haram.
Berdasarkan semangat ilmiahnya, Syekh Mukhtar menulis sebuah risalah berjudul Ash Shawa'iq al Muhriqah lil Auham al Kadzibah fi Bayan Hilli al Belut war Radd 'ala Man Harramahu. Di dalamnya, ia mengupas tuntas kehalalan belut sekaligus menepis pandangan yang mengharamkannya.
Risalah ini kemudian menjadi rujukan penting untuk menjernihkan persoalan hukum makan belut. Melalui kitab tersebut, Syaikh Mukhtar menegaskan bahwa belut termasuk hewan air yang halal dikonsumsi, bukan ular darat yang diharamkan.
Belut Halal Dimakan
Nama "belut" tidak dikenal dalam literatur Arab klasik. Istilah ini lebih merupakan sebutan yang populer di kalangan masyarakat Jawa.
Karena itulah Syekh Muhammad Mukhtar bin 'Atharid al-Jawi merasa perlu menanyakan tentang hewan ini kepada guru-gurunya di Makkah yang sebelumnya belum pernah mendengar istilah tersebut.
Dalam karyanya, Syekh Mukhtar kemudian memberikan penjelasan terkait sifat-sifat belut untuk memperjelas hukumnya.
ثُمَّ أَخْبَرْنَا بَعْضَ مَشَايِخَنَا الأَعْلَامَ وَالْجَهَابِذَةَ العِظَامَ مِنْ عُلَمَاءِ مَكَّةَ المُشَرَّفَةِ أَوْصَافَ الْبَلُوْتِ المَذْكُوْرَةِ وَسَأَلْنَاهُمْ عَنْ حُكْمِهِ فَقَالُوْا إِنْ كَانَ هَذَا صِفَتُهُ فَهُوَ حَلَالٌ لِأَنَّهُ مِنَ الصَّيْدِ البَحْرِيِّ
Artinya, "Selanjutnya kami menceritakan pada sebagian guru-guru kami yang alim dan tokoh-tokoh arif yang agung dari Ulama' Makkah al-Musyarrafah, tentang sifat-sifat hewan belut, lalu kami tanyakan tentang hukum (mengonsumsinya), maka mereka menjawab: "jika hewan belut ini (sifatnya sebagaimana yang engkau jelaskan), maka hukumnya adalah halal, sebab tergolong bagian dari binatang buruan lautan" (Mukhtar bin 'Atharid: 13).
Dari uraian tersebut, belut hukumnya halal untuk dikonsumsi, karena termasuk jenis ikan yang kehalalannya telah dijelaskan secara tegas dalam hadits.
Dengan demikian, memperjualbelikan olahan belut pun diperbolehkan, sebagaimana yang biasa kita temukan di berbagai masakan khas Nusantara.
Wallahu a'lam.
(hnh/kri)
Komentar Terbanyak
MUI Serukan Setop Penjarahan: Itu Bentuk Pelanggaran Hukum
Berangkat ke Mesir, Ivan Gunawan Kawal Langsung Bantuan untuk Gaza
Hukum Merayakan Maulid Nabi Menurut Pandangan Ulama