Menggunakan Barang Berbahan Kulit Hewan, Bagaimana Hukumnya dalam Islam?

Menggunakan Barang Berbahan Kulit Hewan, Bagaimana Hukumnya dalam Islam?

Amelia Ghany Safitri - detikHikmah
Sabtu, 21 Des 2024 11:00 WIB
referensi
Ilustrasi tas kulit hewan Foto: Master1305/Freepik
Jakarta -

Kulit hewan sering dimanfaatkan untuk berbagai keperluan manusia, seperti bahan pembuatan barang. Namun, status kesuciannya masih sering menjadi pertanyaan, karena tidak semua kulit hewan yang digunakan berasal dari hewan yang halal (suci).

Banyak kulit hewan yang digunakan berasal dari hewan haram atau bangkai, seperti kulit dari hewan yang mati tanpa disembelih dengan cara yang benar atau kulit dari hewan buas yang haram dikonsumsi. Lalu, bagaimana hukum menggunakan barang yang dibuat dari kulit hewan? Berikut penjelasannya.

Hukum Menggunakan Barang yang Dibuat dari Kulit Hewan

Pada dasarnya, kulit hewan adalah sesuatu yang bermanfaat, sehingga hukumnya boleh digunakan, sesuai dengan kaidah fikih yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang bermanfaat itu diperbolehkan, sedangkan yang berbahaya itu haram.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam buku Fatwa-Fatwa Essensial karya H. Anwar Hafidzi, dijelaskan bahwa jika dilihat dari sisi manfaatnya, hukum menggunakan barang yang dibuat dari kulit hewan adalah diperbolehkan. Namun, untuk kulit bangkai, proses penyamakan harus dilakukan terlebih dahulu untuk mengubah statusnya menjadi suci.

Sebagai contoh, pada bangkai hewan yang boleh dikonsumsi, seperti kulit bangkai dari kambing, sapi, unta, kelinci, dan rusa dianggap suci setelah disamak, dan para ulama sepakat akan hal ini. Ini berdasarkan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu 'Abbas RA,

ADVERTISEMENT

إِذَا دُبِغَ الْإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ .

"Jika kulit bangkai telah disamak, hukumnya telah suci." (HR. Muslim, 838)

Riwayat lain yang mendukung pendapat tersebut adalah hadits dari Maimunah bahwa Rasulullah SAW pernah berpapasan dengan sekelompok orang Quraisy yang sedang menyeret kambing sebesar kuda, lalu Rasulullah SAW bersabda,

لَوْ أَخَذْتُمْ إِهَابَهَا قَالُوا إِنَّهَا مَيْتَةٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ يُطَهِّرُهَا الْمَاءُ وَالْقَرَظُ

"Ambillah kulitnya." Mereka menjawab, "Ini bangkai." Kemudian Rasulullah bersabda, "Kulitnya akan dibersihkan oleh air bercampur daun untuk menyamak." (HR. Abu Dawud, 4128 dan An-Nasa'i, 4248)

Begitu pula pada kulit bangkai hewan lain yang haram dikonsumsi selain anjing dan babi, seperti rubah, buaya, ular berbisa, beruang, macan kumbang, dan macan tutul, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.

Namun, pendapat yang paling kuat, terutama dari mazhab Al-Hanafiyah dan Asy-Syafi'iyah, menyatakan bahwa kulit hewan tersebut tetap suci setelah disamak. Hal ini diperkuat dengan hadits Rasulullah SAW,

أَيُّمَا إِهَابٍ بِغَ فَقَدْ طَهُرَ .

"Kulit bangkai yang telah disamak menjadi suci." (At-Tirmidzi, 1728 dan An-Nasa'i, 4241)

Rasulullah SAW juga mengatakan,

دبَاغُهَا ذَكَاتُهَا

"Samaknya adalah dengan sembelihan." (An-Nasa'i, 4243)

Sedangkan untuk kulit hewan buas yang telah disamak, hukumnya dianggap suci dan boleh digunakan. Namun, terdapat hadits yang melarang penggunaan kulit hewan buas jika belum disamak.

"Tahukah engkau bahwa Rasulullah SAW melarang memanfaatkan kulit hewan buas?" la menjawab, "Ya." (HR. Abu Dawud, 4131)

Meski demikian, larangan tersebut berkaitan dengan kulit yang belum disamak atau penggunaan kulit tersebut untuk tujuan yang tidak baik, seperti meniru kebiasaan orang sombong atau para pemboros.

Imam Asy-Syaukani berkata, "Larangan tersebut bisa dimaksudkan sebelum kulit tersebut disamak dan bisa pula karena barang-barang tersebut merupakan pakaiannya para pemboros dan orang-orang sombong lagi congkak." (Nail Al- Authar, 1/71)

Semua jenis kulit hewan ini pada umumnya dapat digunakan dan dianggap halal. Namun, hal ini tidak berlaku untuk kulit hewan anjing dan babi, maupun keturunannya.

Meskipun kulit anjing dan babi telah disamak, keduanya tetap dihukumi haram karena dianggap najis, serta memiliki kotoran dan zat yang berbahaya bagi kesehatan.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga memperhatikan pendapat para ulama terkait proses penyamakan dan alat yang digunakan. Dalam hadits disebutkan bahwa penyamakan kulit dilakukan dengan menggunakan "syats" dan "qarazh" (daun pohon yang digunakan untuk penyamakan).

Abu Hanifah dan ulama syafi'iyyah mengemukakan pendapat mereka terkait dengan makna "syats" dan "qarazh".

Abu Hanifah berpendapat bahwa "syats" dan "qarazh" berarti proses pembersihan dan pengeringan kulit dengan bahan yang dapat membersihkan dan mengeringkan.

Sementara Imam Syafi'i menafsirkan bahwa "syats" dan "qarazh" mencakup empat kondisi yang perlu dipenuhi agar kulit bangkai dapat digunakan, yaitu: pertama, pengeringan sisa kotoran di luar dan basahnya kulit di bagian dalam; kedua, penghilangan bau busuk dan anyir; ketiga, perubahan nama kulit dari "ihab" (tulang basah sebelum disamak) menjadi "adiim" atau "as-sibt"; dan keempat, kulit tetap dalam kondisi semula setelah proses penggunaan.

Dengan demikian, hukum menggunakan barang yang dibuat dari kulit hewan adalah dibolehkan, kecuali pada hewan anjing dan babi. Dan dengan ketentuan, kulit hewan tersebut telah melalui proses samak atau pengolahan hingga bersih dan suci.




(inf/inf)

Hide Ads