Al-Amin adalah salah satu gelar yang disematkan pada diri Nabi Muhammad SAW yang artinya dapat dipercaya. Gelar ini telah tercermin dalam kehidupan beliau sejak remaja berkat kejujuran, keberanian, dan akhlak luhur lainnya yang beliau miliki.
Sebagai seorang yang dikenal jujur dan dapat diandalkan, Nabi Muhammad SAW memperoleh kepercayaan tinggi dari masyarakat Arab, bahkan dalam urusan perdagangan.
Gelar Al-Amin adalah sebuah pengakuan atas sifat-sifat mulia yang memang pantas beliau dapatkan. Untuk memahami lebih lanjut tentang gelar Al-Amin yang dimiliki Nabi Muhammad SAW ini, simak paparannya berikut ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gelar Al-Amin ketika Nabi Muhammad SAW Remaja
Dalam buku Sejarah Terlengkap Peradaban Islam yang disusun oleh Abdul Syukur Al-Azizi disebutkan bahwa ketika masih remaja, Nabi Muhammad SAW bekerja sebagai penggembala kambing milik keluarganya dan penduduk Makkah. Selain itu, beliau juga berdagang.
Saat tinggal bersama pamannya, Abu Thalib, Nabi Muhammad ikut berdagang ke negeri Syam (Suriah) hingga dewasa dan mandiri. Dalam perjalanan itu, di daerah Bushra, yang terletak di selatan Syam, beliau bertemu dengan seorang pendeta Kristen bernama Buhairah.
Pendeta itu melihat tanda-tanda kenabian pada diri Nabi Muhammad SAW sesuai dengan yang tertulis dalam ajaran Kristen. Buhairah pun memberi nasihat kepada Abu Thalib agar tidak membawa Nabi Muhammad terlalu jauh ke Syam, karena khawatir orang-orang Yahudi yang mengetahui tanda-tanda itu bisa membahayakan beliau.
Nabi Muhammad SAW tidak mengikuti kebiasaan buruk yang dilakukan oleh masyarakat Arab pada masa itu, seperti meminum khamar, berjudi, mengunjungi tempat hiburan, atau menyembah berhala. Sebaliknya, beliau dikenal sebagai sosok yang pemaaf, rendah hati, berani, dan jujur. Karena sifat-sifat ini, beliau mendapat gelar Al-Amin, yang berarti "yang terpercaya".
Al-Amin adalah gelar yang beliau terima jauh sebelum diangkat menjadi Nabi dan Rasul. Pada masa remajanya, banyak orang yang sudah mempercayainya. Bahkan, ketika beliau menjadi seorang pedagang, banyak pedagang Arab yang menitipkan barang atau harta mereka kepadanya saat mereka pergi bepergian, karena kepercayaan yang besar terhadap kejujuran beliau.
Mengutip sebuah riwayat dalam buku Seni Kepemimpinan ala Nabi yang ditulis oleh Muhammad Wildan Aulia, bahwa suatu saat Nabi Muhammad SAW bersabda, "Wahai kaum Quraisy, kemarilah berkumpul kalian semua. Aku akan memberikan sebuah berita kepada kalian semua!" Setelah masyarakat Quraisy berkumpul, beliau bersabda lagi, "Saudara- saudaraku, jika aku memberi kabar kepadamu, di balik bukit ini ada musuh yang sudah siap siaga hendak menyerang kalian, apakah kalian semua percaya? Tanpa ragu mereka menjawab, "Percaya! Engkau sekalipun tidak pernah berbohong, wahai Al-Amin."
Sifat luhur Nabi Muhammad SAW yang dikenal luas juga sampai kepada Siti Khadijah, seorang saudagar wanita kaya yang sudah lama menjanda. Khadijah kemudian meminta Nabi Muhammad SAW untuk pergi ke Syam (Syria) untuk membawa barang dagangannya. Dari perdagangan itu, Nabi Muhammad SAW berhasil memperoleh keuntungan yang sangat besar. Biasanya, Khadijah mengirim orang lain untuk menjualkan barang dagangannya dan membagi sebagian hasilnya dengan mereka.
Melihat kejujuran, keberanian, dan akhlak mulia Nabi Muhammad SAW, Khadijah kemudian melamarnya. Lamaran tersebut diterima dengan baik, dan pernikahan pun segera dilaksanakan.
Awal Mula Nabi Muhammad SAW Menyandang Gelar Al-Amin
Gelar Al-Amin ini semakin kuat disandangkan kepada Muhammad SAW ketika beliau mampu berbuat adil dan bijaksana dalam memutuskan perselisihan.
Dikisahkan pada sumber sebelumnya, ketika Nabi Muhammad SAW berusia 35 tahun, saat itu masyarakat Arab suku Quraisy berkumpul untuk merencanakan pembangunan kembali Ka'bah yang rusak akibat banjir besar. Kerusakan pada Ka'bah ini membuat para pemuka Quraisy khawatir, karena jika dibiarkan, air akan masuk ke dalam Ka'bah.
Selain itu, banyak pencuri yang memanfaatkan kerusakan tersebut untuk mencuri barang berharga yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, mereka memutuskan untuk membangun ulang Ka'bah agar lebih kuat dan aman.
Masyarakat Quraisy dari berbagai kabilah merasa terdorong untuk merenovasi Ka'bah setelah salah seorang pencuri, Mulaih, diketahui telah mencuri barang-barang penting di dalamnya. Mereka memutuskan untuk meninggikan pintu Ka'bah agar tidak ada orang yang bisa masuk dengan bebas. Untuk itu, mereka menghimpun biaya dan pekerja dari berbagai klan. Setelah persiapan matang, mereka mulai merobohkan Ka'bah dengan hati-hati, khawatir Tuhan akan menghalangi niat baik mereka.
Selama renovasi Ka'bah, kabilah-kabilah Quraisy bekerja sama mengumpulkan batu. Namun, perselisihan muncul ketika tiba saatnya untuk meletakkan Hajar Aswad. Setiap klan mengklaim bahwa merekalah yang paling berhak menempatkan batu tersebut di Ka'bah. Perselisihan semakin memanas, bahkan beberapa orang mengusulkan untuk menyelesaikan masalah dengan perang, di mana klan yang menang akan berhak meletakkan Hajar Aswad.
Ketika perselisihan semakin memanas, warga Bani Abdid Dar datang membawa mangkuk penuh darah sebagai tanda pernyataan perang, dan mereka bersama Bani Adi sepakat untuk bertempur hingga titik darah penghabisan.
Melihat situasi yang semakin tegang, masyarakat Quraisy menghentikan sementara renovasi Ka'bah selama beberapa hari. Namun, mereka akhirnya sepakat untuk berkumpul kembali dan bermusyawarah mencari solusi.
Dalam musyawarah tersebut, Abu Umayyah bin al-Mughirah, yang merupakan salah satu yang tertua, mengusulkan untuk mencari jalan tengah guna menyelesaikan perselisihan di antara klan-klan Quraisy, ia berkata "Jadikanlah orang yang pertama kali masuk pintu masjid ini sebagai orang yang memutus masalah yang kalian perselisihkan."
Mengetahui bahwa sosok laki-laki yang pertama masuk Masjidil Haram adalah Nabi Muhammad SAW, para klan-klan yang berselisih itu setuju jika Nabi Muhammad SAW yang meletakkan Hajar Aswad ke Ka'bah. "Ini Muhammad seorang pemuda yang jujur. Kami rida kepadanya," kata salah seorang dari mereka.
Ketika hal itu disampaikan, Nabi Muhammad SAW lalu berkata, "Berilah aku sebuah kain." Kemudian, Nabi Muhammad SAW mengambil Hajar Aswad langsung dengan tangannya dan meletakkan batu tersebut di atas kain tersebut. Tak lama beliau kembali bersabda, "Silakan masing-masing wakil dari kabilah memegang ujung kain ini dan mengangkatnya secara sama-sama." Maka, para wakil dari berbagai kabilah itu pun bersama memegang kain yang berisi Hajar Aswad lalu menggotong benda itu ke Ka'bah.
Sesampainya di dekat Ka'bah, Hajar Aswad yang ada di atas bentangan kain tersebut lalu diambil oleh Nabi Muhammad SAW dan ditempatkan ke tempat asalnya. Sejak itulah klan-klan suku Quraisy berhenti bertikai, pertumpahan darah yang sudah di depan mata juga bisa dihindari. Masyarakat Quraisy juga kembali bisa melanjutkan renovasi Ka'bah yang belum rampung. Dengan keputusan Nabi Muhammad SAW yang sangat bijak inilah beliau semakin kuat dikenal dengan gelar Al-Amin.
(inf/inf)
Komentar Terbanyak
MUI Kecam Rencana Israel Ambil Alih Masjid Al Ibrahimi di Hebron
Mengoplos Beras Termasuk Dosa Besar & Harta Haram, Begini Penjelasan MUI
Acara Habib Rizieq di Pemalang Ricuh, 9 Orang Luka-1 Kritis