- Apa Itu Tarjih?
- Cara Menerapkan Metode Tarjih 1. Kedua Dalil Naqli (Teks) yang Saling Bertentangan 1) Berkaitan dengan keadaan perawi hadits 2) Berkaitan dengan waktu periwayatan hadits 3) Berkaitan dengan cara periwayatan 4) Berkaitan dengan waktu datangnya hadits 5) Berkaitan dengan kualitas redaksi hadits 6) Berkaitan dengan kandungan hukum 7) Berkaitan dengan faktor luar hadits 2. Kedua Dalil 'Aqli (Nalar) yang Saling Bertentangan 3. Pertentangan antara Dalil Naqli dan Dalil 'Aqli
Dalam hukum Islam, terkadang terdapat dua atau lebih perbedaan pendapat terkait suatu masalah, terutama jika pendapat ini diambil dari suatu dalil. Tak sedikit terjadi pertentangan antara berbagai dalil yang pendapatnya saling bertolak belakang.
Dalam menghadapi situasi seperti ini, dibutuhkan sebuah metode untuk menentukan mana yang lebih tepat agar tidak terjadi kesalahan dalam pengambilan keputusan. Salah satu metode yang dapat digunakan dalam hukum Islam untuk menyelesaikan masalah ini disebut dengan istilah "tarjih". Apa itu tarjih? Berikut penjelasan selengkapnya.
Baca juga: 3 Asas dalam Hukum Islam, Apa Saja? |
Apa Itu Tarjih?
Dalam buku Logika Hukum yang disusun oleh Abu Yasid dijelaskan bahwa secara etimologi, tarjih adalah mengunggulkan atau memenangkan. Artinya, dari proses seleksi dalil yang dilakukan, salah satu dalil diunggulkan sehingga dapat digunakan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Secara terminologi, tarjih adalah upaya seorang mujtahid untuk mendahulukan salah satu dalil yang saling bertentangan dengan dalil-dalil lainnya. Metode ini dilakukan dengan mempertimbangkan skala prioritas, di mana dalil yang dipilih dianggap memiliki keutamaan, sehingga penggunaannya dianggap lebih baik.
Selain itu, mengutip buku Tuntunan Ibadah yang ditulis oleh Yoandi Putra Harahap, tarjih juga bisa diartikan sebagai evaluasi terhadap berbagai pendapat fikih untuk menentukan mana yang lebih sesuai dengan prinsip-prinsip Al-Qur'an, as-Sunnah, dan lebih bermanfaat untuk diterima. Dengan demikian, tarjih adalah bagian dari proses ijtihad, meskipun dianggap sebagai tingkatan ijtihad yang lebih rendah.
Dalam lingkungan Muhammadiyah, tarjih tidak hanya sekadar memperkuat pendapat yang sudah ada, tetapi lebih luas dari itu, sehingga hampir sama dengan ijtihad. Di lingkungan Muhammadiyah, tarjih adalah segala bentuk aktivitas untuk menyikapi berbagai masalah sosial dan kemanusiaan berdasarkan perspektif agama Islam, terutama yang berkaitan dengan norma-norma syariah.
Secara keseluruhan, tarjih adalah sebuah penilaian terhadap suatu dalil yang bertentangan untuk menentukan mana yang lebih kuat, atau penguatan terhadap salah satu dari dua dalil yang bersifat kurang pasti atau kurang meyakinkan.
Cara Menerapkan Metode Tarjih
Dikutip dari sumber sebelumnya, dalam penerapan metode al-tarjih, terdapat beberapa cara yang dapat digunakan, tergantung pada jenis dalil yang saling bertentangan. Ada tiga bentuk penyusunan dalil ketika terjadi pertentangan, yaitu:
1. Kedua Dalil Naqli (Teks) yang Saling Bertentangan
Jika terjadi pertentangan antara dua teks hadits, ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk menyelesaikannya. Para ulama fiqih telah mengidentifikasi tujuh langkah yang bisa dilakukan untuk memilih hadits yang lebih kuat, yaitu:
1) Berkaitan dengan keadaan perawi hadits
Hadits yang diriwayatkan oleh lebih banyak perawi lebih diutamakan, begitu juga yang berasal dari perawi yang lebih berkualitas. Kualitas perawi bisa dilihat dari kefaqihannya, penguasaan bahasa Arab, pengetahuan akidah, kedekatannya dengan Nabi, dan hubungannya dengan para ahli hadits.
2) Berkaitan dengan waktu periwayatan hadits
Hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang sudah baligh (dewasa) harus diutamakan dibandingkan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang masih anak-anak atau belum dewasa pada saat itu.
3) Berkaitan dengan cara periwayatan
Hadits yang jelas keterkaitannya dengan Nabi SAW harus diutamakan dibandingkan yang masih diperselisihkan. Begitu juga hadits yang menyebutkan sebab-sebab turunnya lebih diprioritaskan dibandingkan yang tidak mencantumkan ashab al-nuzulnya. Selain itu, hadits yang diriwayatkan dengan redaksi langsung dari Nabi SAW juga lebih diutamakan daripada yang hanya diriwayatkan secara makna saja.
4) Berkaitan dengan waktu datangnya hadits
Hadits-hadits Madaniyah harus diutamakan atas hadits-hadits Makkiyah jika terjadi pertentangan pemaknaan. Begitu juga, hadits-hadits yang diperkirakan turun lebih akhir lebih diutamakan daripada yang datang lebih awal.
Misalnya, hadits yang mengandung keringanan (al-takhfif) harus diprioritaskan atas hadits yang lebih berat (al-taghlidh), karena di awal Islam, Nabi SAW lebih banyak memberikan beban untuk mengubah kebiasaan Jahiliah, sementara di akhir risalah, beliau lebih banyak memberikan kemudahan.
5) Berkaitan dengan kualitas redaksi hadits
Hadits dengan redaksi yang fasih dan sesuai dengan kaidah bahasa Arab yang standar, harus diutamakan dibandingkan hadits dengan redaksi yang belum memenuhi kriteria fasahah. Selain itu, hadits yang menggunakan redaksi haqiqah (makna sebenarnya) lebih diutamakan daripada hadits yang menggunakan redaksi majaz (makna kiasan).
6) Berkaitan dengan kandungan hukum
Jika satu hadits mengandung hukum tertentu sementara hadits lainnya tidak mengandung hukum, maka hadits yang mengandung hukum harus diutamakan. Hal ini karena hadits yang mengandung hukum tersebut kemungkinan datang belakangan untuk mengisi kekosongan hukum yang tidak ada dalam hadits yang tidak mengandung hukum.
Ini tercermin dalam kedua hadits berikut:
ΩΨ§Ω Ψ±Ψ³ΩΩ Ψ§ΩΩΩ Ψ΅ΩΩ Ψ§ΩΩΩ ΨΉΩΩΩ ΩΨ³ΩΩ Ω Ω Ω Ψ³ Ψ°ΩΨ±Ω ΩΩΩΨͺΩΨΆΨ§Ω.
"Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa menyentuh zakarnya maka hendaknya berwudhu." (HR. Abu Dawud).
ΩΨ§Ω Ψ±Ψ³ΩΩ Ψ§ΩΩΩ Ψ΅ΩΩ Ψ§ΩΩΩ ΨΉΩΩΩ ΩΨ³ΩΩ ΩΨ±Ψ¬Ω ΩΩ Ψ§ Ψ³Ψ£ΩΩ ΨΉΩ Ω Ψ³ Ψ§ΩΨ°ΩΨ± ΩΩ ΩΩΩ ΩΨΆΩΨ‘ Ψ Ψ₯Ω ΩΩ Ψ₯ΩΨ§ Ψ¨ΨΆΨΉΨ© Ω ΩΩ.
"Rasulullah SAW bersabda kepada lelaki ketika ia bertanya tentang menyentuh zakar, apakah harus berwudhu, 'Tidak ada zakar itu, kecuali bagian dari kamu." (HR. Ahmad).
Pada hadits kedua, tidak ada ketentuan hukum yang jelas mengenai orang yang menyentuh kemaluan, sementara pada hadits pertama disebutkan bahwa menyentuh zakar membatalkan wudhu. Dalam hal ini, hadits pertama lebih diutamakan karena memberikan ketentuan hukum baru, sedangkan hadits kedua tidak menambah hukum baru dan karena itu dianggap lebih lemah.
Contoh lainnya, hadits yang menunjukkan hukum haram harus diutamakan daripada hadits yang menunjukkan hukum halal. Karena, melanggar hukum haram akan berdampak pada dosa dan ancaman sanksi, sementara hukum halal atau ibahah tidak menimbulkan konsekuensi dosa. Hal ini juga diperkuat oleh sebuah hadits yang mengatakan:
Ω Ψ§ Ψ§Ψ¬ΨͺΩ ΨΉ Ψ§ΩΨΩΨ§Ω ΩΨ§ΩΨΨ±Ψ§Ω Ψ₯ΩΨ§ ΩΨΊΩΨ¨ Ψ§ΩΨΨ±Ψ§Ω ΨΉΩΩ Ψ§ΩΨΩΨ§Ω
"Tidaklah berkumpul halal dan haram itu, kecuali dimenangkan yang haram atas yang halal." (HR. Baihaqi)
7) Berkaitan dengan faktor luar hadits
Salah satu faktornya adalah seberapa banyak ulama salaf yang mengamalkan sebuah hadits. Jika sebuah hadits banyak digunakan oleh ulama salaf, sementara hadits lain tidak begitu banyak digunakan, maka hadits yang lebih banyak diterima oleh ulama salaf lebih layak dipilih, karena hadits yang diterima oleh kebanyakan pakar lebih mengarah kepada kebenaran daripada hadits yang jarang digunakan.
2. Kedua Dalil 'Aqli (Nalar) yang Saling Bertentangan
Pertentangan antar dalil 'aqli (nalar) sering terjadi pada dalil qiyas (analogi), yaitu menyamakan hukum suatu hal yang tidak disebutkan dalam teks dengan hukum hal lain yang sudah ada ketentuannya dalam teks. Penyamaan ini dilakukan karena ada kesamaan illat (alasan) antara kedua hukum tersebut.
Jika alasan dari suatu ketentuan hukum disebutkan secara jelas dalam teks, maka tidak akan ada pertentangan antar dalil qiyas. Namun, jika alasan hukum tersebut tidak disebutkan secara jelas dalam teks, maka pertentangan antar dalil qiyas bisa terjadi dan harus diselesaikan. Dalam kondisi ini, qiyas dengan alasan yang lebih kuat harus dipilih dan diutamakan sebagai dasar hukum.
Sebagai contoh, illat diperbolehkannya mengqashar salat dalam perjalanan. Sebagian ulama berpendapat bahwa illat untuk melaksanakan salat qashar adalah safar (perjalanan), sementara ulama lain berpendapat bahwa illatnya adalah masyaqqah (kesulitan).
Ketika terjadi pertentangan seperti ini, para ulama terdahulu lebih memilih pendapat pertama karena ada kesepakatan bahwa illat hukum qiyas dapat didasarkan pada mazhannah (dugaan). Karena, safar (perjalanan) dianggap sebagai petunjuk yang kuat adanya kesulitan dalam melaksanakan ibadah.
3. Pertentangan antara Dalil Naqli dan Dalil 'Aqli
Jika terjadi pertentangan antara dalil teks (naqli) dan dalil nalar ('aqli), ada dua kemungkinan.
Pertama, jika dalil naqli berbentuk khusus dan menunjukkan hukum secara jelas (manthuq), maka dalil naqli lebih diunggulkan karena hukum yang berasal dari teks lebih valid daripada dalil yang hanya berasal dari nalar.
Kedua, jika dalil naqli yang khusus memberikan petunjuk hukum secara tersirat, maka dalil naqli dan dalil 'aqli memiliki kekuatan yang seimbang. Dalam hal ini, untuk menentukan mana yang lebih unggul, diperlukan analisis mendalam yang bergantung pada sudut pandang seseorang dalam memberikan penilaian.
Sebaliknya, jika dalil naqli berbentuk umum, dan terjadi pertentangan dengan dalil 'aqli, keduanya memiliki kekuatan sebanding. Oleh karena itu, pendapat ulama memiliki perbedaan dalam penyimpulan dalam menyikapi masalah ini, ada yang mendahulukan dalil 'aqli, ada yang mendahulukan dalil naqli yang umum, dan ada pula yang memilih posisi netral atau mengatakan situasi tersebut tidak dapat diputuskan secara pasti atau mawquf.
Baca juga: Sumber Hukum Islam, Al-Qur'an hingga Qiyas |
(inf/inf)
Komentar Terbanyak
MUI Serukan Setop Penjarahan: Itu Bentuk Pelanggaran Hukum
Berangkat ke Mesir, Ivan Gunawan Kawal Langsung Bantuan untuk Gaza
BPJPH Dorong Kesiapan Industri Nonpangan Sambut Kewajiban Sertifikasi Halal