Warisan atau harta pusaka adalah salah satu amanah yang harus disalurkan dengan adil sesuai syariat Islam. Namun, tidak semua orang yang memiliki hubungan dengan pewaris berhak menerima bagian warisan.
Hasbi Ash Shiddieqy dalam buku Internalisasi Hukum Waris karya Syaikhu menjelaskan bahwa penghalang warisan adalah sifat atau keadaan tertentu yang membuat seseorang kehilangan hak untuk mendapatkan harta pusaka meskipun syarat dan rukun mewarisi telah terpenuhi.
Lantas, apa saja hal-hal yang menyebabkan seseorang tidak mendapat bagian harta pusaka? Yuk, simak penjelasan selengkapnya berikut ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal-hal yang Menyebabkan Seseorang Tidak Mendapat Bagian Harta Pusaka
Sayyid Sabiq juga menegaskan bahwa ada beberapa penyebab utama yang menghalangi seseorang mendapatkan bagian harta pusaka, yaitu: perbudakan, perbedaan agama, dan pembunuhan.
Hal ini didukung oleh pendapat Ali al-Shabuni, yang menyebutkan tiga poin serupa sebagai penghalang utama, yakni perbudakan, pembunuhan, dan perbedaan keyakinan agama. Kesepakatan ini memperlihatkan pentingnya memahami aturan penghalang warisan dalam Islam.
Penyebab-penyebab ini telah diatur dengan tegas dalam syariat berdasarkan hadits Rasulullah SAW yang terdapat pada buku Hukum Waris karya Muhammad Thaha Abul Ela Khalifah.
Landasan Dalil tentang Penyebab Terhalangnya Hak Mewarisi Harta Warisan dalam Islam
Seperti yang disebutkan sebelumnya, ada tiga hal utama yang menyebabkan terhalangnya hak untuk mewarisi harta pusaka. Berikut adalah dalil yang mendasarinya:
1. Perbudakan
Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa menjual pohon kurma setelah diserbukkan maka buahnya untuk penjualnya, kecuali ada syarat dari pembelinya. Dan, barangsiapa menjual seorang budak maka harta budak itu menjadi milik penjualnya, kecuali ada syarat dari pembelinya." (HR Ibnu Majah).
Mengutip dari sumber sebelumnya, dalam pengertian bahasa perbudakan adalah kondisi penghambaan dan ketidakmampuan seseorang karena lemah atau dikendalikan oleh hukum akibat kekufuran.
Seorang budak tidak memiliki hak untuk menerima harta pusaka dari tuannya. Hal ini disebabkan oleh status budak yang dianggap tidak mampu mengelola harta warisan karena ia tidak memiliki harta sedikitpun serta tidak memiliki hubungan keluarga yang sah dengan ahli waris lainnya.
Menurut Syekh Ali Ahmad al-Jurjawi, seorang budak masuk dalam kategori harta kekayaan yang dimiliki oleh pemberi warisan. Dengan kata lain, budak dianggap sebagai bagian dari kepemilikan tuannya yang telah wafat.
Oleh karena itu, budak tidak memenuhi syarat untuk memperoleh harta pusaka yang seharusnya diwariskan kepada ahli waris yang sah. Sebagai dasar hukum, perbudakan menjadi penghalang untuk mendapatkan warisan karena statusnya yang tidak diakui sebagai pewaris yang sah dalam syariat Islam.
2. Perbedaan Agama
Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda: "Orang Muslim tidak boleh mewariskan harta kepada orang kafir dan orang kafir tidak boleh mewariskan harta kepada orang Muslim." (HR Muslim).
Perbedaan agama menjadi salah satu faktor yang menyebabkan hilangnya hak seseorang untuk menerima harta pusaka dalam hukum warisan Islam. Hal ini berlaku apabila antara pewaris dan ahli waris terdapat perbedaan keyakinan. Para ulama sepakat bahwa seorang non-Muslim tidak memiliki hak waris terhadap seorang Muslim.
Perbedaan agama yang dimaksud mencakup semua jenis keyakinan di luar Islam, baik dari golongan kafir kitabiy (yang memiliki kitab suci) maupun kafir bukan kitabiy. Dalam konteks ini, tidak diperbolehkan adanya pewarisan antara Muslim dan non-Muslim, baik itu dari pewaris Muslim kepada ahli waris non-Muslim ataupun sebaliknya.
Secara logis, harta pusaka dianggap sebagai media penghubung yang mempererat hubungan antara ahli waris dan pewaris. Ketika terdapat perbedaan agama, hubungan tersebut terputus, karena perbedaan keyakinan menciptakan batasan dalam hal perwalian, tanggung jawab, dan saling tolong-menolong. Oleh karena itu, perbedaan agama menjadi alasan utama yang menghalangi seseorang untuk menerima atau mewariskan harta pusaka.
3. Pembunuhan
Rasulullah SAW juga bersabda, "Seorang pembunuh tidak dapat mewarisi sedikit pun." (HR Abu Daud).
Pembunuhan didefinisikan sebagai tindakan sengaja yang merampas nyawa orang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam pembagian harta pusaka, pembunuhan menjadi salah satu penyebab hilangnya hak waris.
Para ahli fikih (jumhur fuqaha) telah sepakat bahwa seseorang yang melakukan pembunuhan terhadap orang yang meninggalkan warisan tidak memiliki hak untuk mewarisi harta tersebut.
Pembunuhan yang dimaksud di sini adalah tindakan yang dilakukan dengan maksud mempermudah atau mempercepat proses pewarisan oleh pelaku terhadap harta pusaka milik korban.
Apabila seorang ahli waris membunuh seseorang yang menjadi pewarisnya, maka ia secara otomatis terhalang dari hak warisnya. Aturan ini ditetapkan untuk mencegah upaya memanfaatkan jalan pintas melalui tindakan melanggar hukum syariat demi memperoleh warisan.
Ketentuan ini juga didasarkan pada prinsip kemaslahatan, agar tidak ada individu yang tergoda untuk melakukan pembunuhan demi mendapatkan harta pusaka. Syariat dengan tegas melarang tindakan ini untuk melindungi keadilan dan menjaga hak-hak yang telah diatur secara adil sesuai hukum agama.
Baca juga: Apakah Pembunuh Berhak Mendapatkan Warisan? |
(inf/inf)












































Komentar Terbanyak
Wamenag Romo Syafi'i Menikah Hari Ini, Habib Rizieq Jadi Saksi
Rieke Diah Pitaloka Geram, Teriak ke Purbaya Gegara Ponpes Ditagih PBB
Pemerintah RI Legalkan Umrah Mandiri, Pengusaha Travel Umrah Syok