Dalam hukum waris Islam, konsep siapa yang berhak atau tidak berhak menerima warisan telah diatur dengan ketat. Salah satu isu penting yang sering diperdebatkan dalam hal ini adalah posisi pembunuh dalam warisan.
Mengutip buku Hukum Waris Islam dan Penyelesaian Konflik Waris melalui Deteksi Dini dan Mediasi yang disusun oleh Hadi Suyono dkk., tindakan pembunuhan digolongkan sebagai salah satu penggugur kewarisan. Selain pembunuhan, ada dua faktor lain yang dianggap menggugurkan hak waris, yaitu perbudakan dan perbedaan agama.
Meskipun begitu, dalam beberapa literatur, terdapat pandangan bahwa ada faktor-faktor lain yang juga bisa menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi harta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penghalang kewarisan adalah segala tindakan atau kondisi yang menghilangkan hak seseorang untuk mewarisi harta peninggalan pewaris.
Ahli waris yang melakukan tindakan tersebut tidak hanya kehilangan kelayakan untuk mewarisi, tetapi kehadirannya dianggap tidak ada dalam perhitungan warisan.
Dengan kata lain, mereka diharamkan untuk memperoleh bagian dari harta warisan, baik secara hirmān, yaitu tidak mendapatkan warisan sama sekali, maupun secara nuqshān, yakni mendapatkan pengurangan bagian.
Lalu, bagaimana kasusnya jika seorang ahli waris melakukan perbuatan keji terhadap pewarisnya demi mendapatkan harta warisan? Apakah pembunuh berhak mendapatkan warisan? Atau adakah kondisi tertentu yang bisa mempengaruhi keputusan ini? Berikut penjelasannya.
Hukum Pembunuh dalam Warisan
Dalam hukum Islam, pembunuhan dianggap sebagai salah satu penghalang utama yang membuat seseorang tidak berhak menerima warisan dari orang yang telah dibunuhnya.
Pembunuhan ini didefinisikan sebagai tindakan seseorang yang dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Tindakan ini membatalkan hak waris bagi pembunuh meskipun antara pembunuh dan korban terdapat hubungan kekerabatan, keturunan, atau bahkan ikatan pernikahan.
Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh HR. An-Nasa'i menegaskan prinsip ini: "Seorang pembunuh tidak dapat mewarisi barta (dari yang dibunuhnya) sedikitpun" (HR. An-Nasa'i).
Berdasarkan hadits ini, setiap bentuk warisan bagi pelaku pembunuhan menjadi batal. Artinya, pelaku tidak memiliki hak untuk mewarisi harta peninggalan dari orang yang ia bunuh, sekalipun pewaris adalah keluarganya sendiri.
Alasan kuat di balik larangan ini adalah untuk mencegah munculnya niat buruk atau motif tersembunyi yang dapat memicu seseorang mempercepat kematian orang lain demi mendapatkan warisan.
Dalam beberapa kasus, ada kemungkinan bahwa pewaris yang melakukan pembunuhan memiliki kecenderungan untuk mempercepat kematian pewarisnya agar bisa segera menerima harta peninggalan tersebut.
Oleh karena itu, Islam menerapkan konsep saddu adz-dzarai, yaitu mencegah segala bentuk perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan atau tindakan yang menimbulkan mudarat. Dalam hal ini, pembunuhan yang dilakukan untuk mendapatkan warisan sangat jelas dilarang karena bertentangan juga dengan prinsip keadilan dan kemanusiaan.
Selain itu, kaidah fikih juga mendukung prinsip ini dengan aturan: "Siapa yang mempercepat sesuatu sebelum masanya tiba, maka untuk mendapatkan sesuatu tersebut menjadi haram".
Dengan kata lain, siapa saja yang mencoba mempercepat perolehan sesuatu dengan cara yang tidak sah atau melanggar aturan, akan mendapatkan hukuman berupa hilangnya hak atas hal tersebut.
Dengan ketetapan ini, Islam melindungi hak dan kehormatan pewaris dan keluarga, serta mencegah tindakan-tindakan yang dapat mengakibatkan kejahatan atau ketidakadilan di antara keluarga.
Pembunuhan tidak hanya dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan tetapi juga pelanggaran terhadap ketentuan waris dalam Islam, di mana pelakunya dilarang untuk menerima bagian apa pun dari harta peninggalan korban.
Pendapat Ulama tentang Pembunuh dan Warisan
Para ulama dari berbagai mazhab memiliki pandangan yang berbeda terkait hal ini, khususnya dalam menentukan jenis pembunuhan yang dapat menggugurkan hak waris. Berikut adalah pandangan ulama dari empat mazhab mengenai pembunuhan dan warisan:
1. Mazhab Syafi'iyyah
Para ulama mazhab Syafi'iyyah berpendapat bahwa segala bentuk pembunuhan, baik yang dilakukan secara sengaja, semi-sengaja, atau tidak disengaja (kekeliruan), akan menggugurkan hak seorang ahli waris.
Mereka merujuk pada hadits Rasulullah SAW yang menegaskan, "Seorang pembunuh tidak mendapatkan warisan sedikitpun."
2. Mazhab Hanafiyyah
Menurut pandangan Hanafiyyah, tidak semua bentuk pembunuhan menghalangi hak waris. Mereka menetapkan bahwa hanya pembunuhan yang dikenai sanksi qishas (balasan setimpal) atau kaffarah (tebusan) yang dapat menggugurkan hak waris.
Pembunuhan yang bersifat tidak langsung, dilakukan karena hak tertentu, atau pelakunya tidak memenuhi syarat hukum (misalnya, anak kecil atau orang yang tidak waras) tidak akan menggugurkan hak waris.
3. Mazhab Malikiyyah
Ulama Malikiyyah berpendapat bahwa hanya pembunuhan yang dilakukan secara sengaja karena permusuhan atau niat buruk yang menghalangi seseorang dari hak waris.
4. Mazhab Hambaliyyah
Mazhab Hambaliyyah memiliki pendapat yang sedikit berbeda, yaitu bahwa pembunuhan yang menggugurkan hak waris adalah pembunuhan yang dilakukan tanpa alasan yang sah seperti melakukan sanksi qishash, kaffarah, atau diyat (ganti rugi). Namun, jika pembunuhan terjadi untuk membela diri atau melawan penyerangan, hak waris tetap diperoleh.
(inf/inf)
Komentar Terbanyak
MUI Kecam Rencana Israel Ambil Alih Masjid Al Ibrahimi di Hebron
Mengoplos Beras Termasuk Dosa Besar & Harta Haram, Begini Penjelasan MUI
Merapat! Lowongan di BP Haji Bisa untuk Nonmuslim