Hukum Makan Darah Ayam yang Digoreng, Halal atau Haram?

Hukum Makan Darah Ayam yang Digoreng, Halal atau Haram?

Yusuf Alfiansyah Kasdini - detikHikmah
Jumat, 01 Nov 2024 16:18 WIB
7 Makanan dari Darah Hewan, Ada Bubur hingga Sup Darah!
Makanan dari darah hewan. Foto: Getty Images/iStockphoto/SamuelBrownNG
Jakarta -

Hukum memakan darah yang digoreng atau olahan lain menjadi salah satu bahasan dalam fikih kuliner. Darah dalam hal ini ada dua jenis.

Makanan yang terbuat dari darah hewan sering dikenal dengan sebutan marus atau saren dan cukup populer di beberapa daerah Indonesia. Namun, bagaimana sebenarnya pandangan Islam mengenai konsumsi darah yang digoreng ini? Apakah diperbolehkan atau justru diharamkan? Berikut penjelasan hukumnya.

Larangan Memakan Darah Hewan

Dalam pandangan Islam, hukum memakan darah hewan secara tegas dinyatakan haram sebagaimana dikatakan Ahmad Sarwat dalam bukunya Halal atau Haram? Kejelasan Menuju Keberkahan. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT yang melarang konsumsi darah yang mengalir. Allah SWT berfirman dalam surah An-Nahl ayat 115,

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

اِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيْرِ وَمَآ اُهِلَّ لِغَيْرِ اللّٰهِ بِهٖۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَّلَا عَادٍ فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

Artinya: "Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (hewan) yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Akan tetapi, siapa yang terpaksa (memakannya) bukan karena menginginkan dan tidak (pula) melampaui batas, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

ADVERTISEMENT

Darah yang dimaksud adalah jenis darah hewan yang keluar atau mengalir dari tubuh saat proses penyembelihan atau setelahnya. Sebagaimana dibicarakan pada surah Al-An'am ayat 145,

قُلْ لَّآ اَجِدُ فِيْ مَآ اُوْحِيَ اِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلٰى طَاعِمٍ يَّطْعَمُهٗٓ اِلَّآ اَنْ يَّكُوْنَ مَيْتَةً اَوْ دَمًا مَّسْفُوْحًا اَوْ لَحْمَ خِنْزِيْرٍ فَاِنَّهٗ رِجْسٌ اَوْ فِسْقًا اُهِلَّ لِغَيْرِ اللّٰهِ بِهٖۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَّلَا عَادٍ فَاِنَّ رَبَّكَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

Artinya: "Katakanlah, "Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali (daging) hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi karena ia najis, atau yang disembelih secara fasik, (yaitu) dengan menyebut (nama) selain Allah. Akan tetapi, siapa pun yang terpaksa bukan karena menginginkannya dan tidak melebihi (batas darurat), maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Di Indonesia, ada olahan darah hewan yang dikenal dengan sebutan marus, yang sering kali diolah dan dikonsumsi. Dijelaskan dalam buku Taudhihul Adillah tulisan M. Syafi'i Hadzami, marus dibuat dengan merebus darah hewan hingga mengental dan membeku, menyerupai tekstur dan bentuk limpa.

Meski tampak berbeda setelah diolah, pada dasarnya marus tetaplah darah yang mengalami proses pembekuan. Oleh karena itu, dalam hukum Islam, mengonsumsi marus tetap dikategorikan haram, darah yang dibekukan ini tetap dianggap najis.

Lebih lanjut, Islam hanya membolehkan dua jenis darah yang dibekukan untuk dikonsumsi, yaitu hati dan limpa. Rasulullah SAW secara khusus menghalalkan konsumsi dua organ ini meskipun keduanya pada dasarnya adalah bagian dari darah.

Kedua organ tersebut dianggap memiliki sifat dan status berbeda dibandingkan dengan darah lainnya karena kedua organ tersebut memang sudah dari asalnya terbentuk seperti itu, sehingga konsumsi hati dan limpa tidak melanggar prinsip syariat.

Rasulullah SAW bersabda, "Dihalalkan bagi kami dua macam bangkai dan dua macam darah. Bangkai ikan dan belalang. Hati dan limpa." (HR al-Baihaqi)

Jadi, meskipun marus mungkin terlihat mirip dengan limpa dalam bentuk dan tekstur, hukum mengonsumsinya tetap berbeda. Limpa dibolehkan, sedangkan marus dilarang.

Hukum Memakan Darah Ayam yang Digoreng

Adapun tentang hukum memakan darah ayam yang digoreng dalam pandangan Islam perlu dicermati dari jenis darah yang dimaksud. Dalam fikih seperti yang sudah dijelaskan di atas, darah yang mengalir, seperti darah yang keluar dari leher hewan saat disembelih dianggap najis dan haram untuk dikonsumsi.

Namun, mayoritas ulama dari mazhab Hanafi, Maliki, Hanbali, dan pendapat terkuat dari mazhab Syafi'i memberikan pengecualian terhadap darah yang tersisa, tertinggal atau tidak mengalir langsung dari tubuh hewan.

Dikutip dari buku Kopi Luwak dalam Hukum Islam karya Rahmat Syah, menurut pandangan ulama, darah yang sedikit dan tidak mengalir, dapat dianggap dimaafkan (tidak najis) dan boleh dimakan, mengingat jumlahnya yang sangat kecil serta bercampur dalam makanan.

Dasar hukum ini merujuk pada hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah binti Abu Bakar RA. Aisyah RA menyebutkan bahwa pada masa Rasulullah SAW, terkadang dari daging yang dimasak masih keluar darah berwarna kekuningan, namun Rasulullah SAW tidak melarang untuk mengonsumsinya.

Aisyah RA berkata, "Kami memasak daging pada masa Rasulullah SAW, di mana dari daging yang dimasak itu keluar darah yang kekuning-kuningan. Lalu Rasulullah SAW memakannya dan tidak melarangnya. Pendapat yang dipegangi adalah pendapat yang pertama (darah tersebut najis) karena darah itu mengalir. Namun tidak pula boleh menafikan makna sunnah di atas (di mana Nabi memakannya dan tidak melarangnya) karena hal semacam itu termasuk kategori yang dimaafkan. Jadi, sesungguhnya sesuatu yang dimaafkan tidak termasuk najis". (HR Ahmad)

Berdasarkan penafsiran ini, para ulama menyimpulkan bahwa darah yang mengalir tetap haram, sementara darah yang sedikit dan tidak mengalir boleh dikonsumsi karena dianggap tidak najis.

Ibnu Juraij dalam kitab Fiqh as-Sunnah karya Sayyid Sabiq yang diterjemahkan oleh Abu Aulia dkk menyatakan, "Yang mengalir adalah yang ditumpahkan. Sementara darah yang ada di dalam urat tidak apa-apa."

Selain itu, Abu Mijlaz menyatakan darah yang tertinggal di tempat penyembelihan atau yang menempel pada alat masak tidak dianggap najis dan dimaafkan. Hal ini sesuai pula dengan pendapat Aisyah RA sebelumnya.

Dengan demikian, jika yang dimaksud adalah darah ayam yang hanya sedikit dan muncul setelah proses memasak atau menggoreng, maka hal tersebut dimaafkan dalam hukum Islam. Akan tetapi, jika darahnya dalam jumlah besar dan mengalir, maka tetap diharamkan.




(kri/kri)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads