Ini Salat yang Tidak Boleh Dijamak dan Qasar, Apa Alasannya?

Ini Salat yang Tidak Boleh Dijamak dan Qasar, Apa Alasannya?

Yusuf Alfiansyah Kasdini - detikHikmah
Sabtu, 26 Okt 2024 10:00 WIB
Ilustrasi laki-laki sedang sholat
Foto: Unsplash/Bimbingan Islam
Jakarta -

Allah SWT memberikan rukhsah (keringanan) bagi umat Islam yang sedang melakukan perjalanan jauh dalam beribadah, yaitu diperbolehkan melaksanakan salat secara jamak dan qashar. Namun, dari lima salat fardhu, ada satu salat yang tidak dapat dijamak atau diqashar.

Perlu diketahui, salat jamak berarti menggabungkan dua salat dalam satu waktu, baik dilakukan pada waktu salat pertama (jamak taqdim) atau pada waktu salat kedua (jamak takhir).

Sementara itu, qashar adalah mempersingkat salat yang biasanya empat rakaat menjadi dua rakaat, seperti dijelaskan dalam Buku Induk Fikih Islam Nusantara oleh Imaduddin Utsman al-Bantanie.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ketentuan Salat Jamak dan Qashar

Dalam Al-Fiqh 'Ala Al-Madzahib Al-Arba'ah karya Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi, dijelaskan bahwa menurut mazhab Syafi'i, diperbolehkan bagi seorang musafir untuk menjamak dua salat, baik melalui jamak taqdim maupun jamak takhir, selama perjalanan yang ditempuh memenuhi syarat jarak yang memungkinkan pelaksanaan qashar.

Menurut mazhab Syafi'i, terdapat enam syarat untuk melaksanakan salat jamak taqdim, yaitu:

ADVERTISEMENT
  1. Kedua salat harus dikerjakan secara berurutan, misalnya jika menjamak taqdim Zuhur dan Asar, keduanya dilakukan pada waktu Zuhur.
  2. Niat untuk melakukan salat jamak harus sudah ada saat salat pertama dimulai.
  3. Kedua salat harus dilakukan secara terus-menerus tanpa jeda yang terlalu lama.
  4. Perjalanan masih berlangsung hingga salat kedua telah dimulai dengan takbiratul ihram.
  5. Waktu salat pertama harus masih mencukupi sehingga kedua salat dapat dilaksanakan secara jamak.
  6. Keyakinan bahwa salat pertama sudah sah dilakukan.

Untuk jamak takhir, mazhab ini menetapkan dua syarat, yaitu:

  • Pertama, harus berniat menggabungkan salat secara takhir saat masih berada dalam waktu salat pertama, dengan waktu yang cukup untuk melaksanakan salat secara lengkap atau dengan rakaat qashar.
  • Kedua, perjalanan masih berlangsung hingga kedua salat tersebut selesai dikerjakan.

Seperti halnya salat jamak, salat qashar juga memiliki ketentuan tertentu. Dalam kitab Fath al-Qorib disebutkan bahwa seorang musafir diperbolehkan melaksanakan salat qashar jika memenuhi syarat berikut:

  1. Perjalanan yang dilakukan bukan untuk maksiat.
  2. Jarak tempuh perjalanan mencapai 16 farsakh (sekitar 85 km).
  3. Salat yang diqashar adalah salat empat rakaat, seperti Zuhur, Asar, dan Isya.
  4. Berniat untuk qashar saat takbiratul ihram.
  5. Tidak menjadi makmum bagi orang yang tidak melakukan qashar.

Bentuk-bentuk Salat Jamak

Dalam buku Fikih Empat Madzhab Jilid 2 karya Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi, dijelaskan bahwa salat jamak adalah pelaksanaan dua salat tertentu yang digabungkan, baik dalam bentuk jamak taqdim (di waktu salat pertama) atau jamak takhir (di waktu salat kedua).

Hanya empat salat yang diperbolehkan untuk dijamak, yaitu salat Zuhur dengan Asar, serta salat Magrib dengan Isya. Selain dari salat-salat ini, tidak diperbolehkan untuk digabung.

1. Jamak Taqdim

Jamak taqdim adalah penggabungan dua salat yang dilaksanakan bersamaan pada waktu salat pertama. Contohnya, salat Zuhur diikuti langsung oleh salat Asar pada waktu zuhur. Begitu juga dengan salat Magrib yang dilanjutkan dengan salat Isya dikerjakan pada waktu magrib.

2. Jamak Takhir

Jamak takhir adalah penggabungan dua salat yang dikerjakan di waktu salat kedua. Misalnya, salat Zuhur digabungkan dengan salat Asar dan dikerjakan pada waktu asar, atau salat Magrib digabungkan dengan salat Isya dan dilakukan di waktu isya.

Hukum yang Tidak Memperbolehkan Salat Jamak

Terkait dengan pelaksanaan salat jamak, terdapat beberapa perbedaan pandangan di kalangan mazhab. Berdasarkan pandangan dari beberapa mazhab besar, hukum mengenai salat jamak memiliki syarat dan kondisi tertentu yang harus dipenuhi. Berikut adalah penjelasan menurut masing-masing mazhab:

1. Mazhab Maliki

Mazhab Maliki memperbolehkan salat jamak dalam beberapa kondisi, seperti ketika seseorang sedang dalam perjalanan, sakit, hujan, atau menghadapi jalan berlumpur dan keadaan gelap di akhir bulan. Selain itu, pelaksanaan ibadah haji di Arafah dan Muzdalifah juga menjadi alasan yang sah untuk menjamak salat.

2. Mazhab Syafi'i

Menurut mazhab Syafi'i, salat jamak diperbolehkan bagi musafir yang menempuh perjalanan hingga mencapai jarak yang membolehkan qashar, baik secara jamak taqdim maupun takhir. Namun, jika alasan menjamak salat adalah hujan, maka hal tersebut hanya diperbolehkan dilakukan dengan jamak taqdim.

3. Mazhab Hanafi

Mazhab Hanafi memiliki pandangan yang lebih ketat terkait pelaksanaan salat jamak. Mereka tidak memperbolehkan menjamak salat bagi musafir maupun orang yang bermukim, kecuali dalam dua kondisi tertentu. Pertama, saat menjamak salat Zuhur dan Asar secara taqdim bagi jamaah haji. Kedua, saat menjamak salat Magrib dan Isya secara takhir bagi jamaah haji.

4. Mazhab Hambali

Mazhab Hambali memperbolehkan menjamak salat Zuhur dan Asar serta salat Magrib dan Isya, baik dengan cara taqdim maupun takhir. Namun, dianjurkan untuk tidak melakukannya jika tidak ada alasan yang mendesak. Kecuali dalam situasi seperti pelaksanaan haji di Arafah dan Muzdalifah, di mana menjamak salat menjadi sunnah yang dianjurkan.

Salat Subuh Adalah Salat yang Tidak Dapat Dijamak atau Diqashar

Para ulama sepakat bahwa salat Subuh tidak dapat dijamak atau diqashar. Salat Subuh dikerjakan sejak waktu fajar hingga menjelang terbit matahari. Ketentuan ini berlandaskan pada hadits dari 'Abdullah bin 'Amr RA, di mana Nabi SAW bersabda:

وَوَقْتُ صَلَاةِ الصُّبْحِ مِنْ طُلُوعِ الْفَجْرِ مَا لَمْ تَطْلُعُ الشَّمْسُ

Artinya: "Waktu salat Subuh dimulai sejak terbit fajar hingga sebelum terbitnya matahari." (HR Muslim)

Dalam kitab Salatul Mu'min karya Sa'id bin 'Ali bin Wahf Al-Qahthani, terdapat dalil yang menunjukkan bahwa waktu terbaik untuk melaksanakan salat Subuh adalah di awal waktu. Hal ini didasarkan pada hadits dari Jabir RA, yang menceritakan saat malaikat Jibril mengimami Nabi SAW untuk salat. Hadits tersebut menyebutkan:

ثُمَّ جَاءَهُ الْفَجْرَ فَقَالَ قُمْ فَصَلَّهُ فَصَلَّى الْفَجْرَ حِينَ بَرَقَ الْفَجْرُ أَوْ قَدْ سَطَعَ الْفَجْرُ ثُمَّ جَاءهُ مِنْ الْغَدِ حِينَ أَسْفَرَ جِدًّا ثُمَّ قَالَ لَهُ قُمْ فَصَلَّهُ فَصَلَّى الْفَجْرَ ثُمَّ قَالَ مَا بَيْنَ هَذَيْنِ وَقْتُ

Artinya: "Kemudian Jibril mendatangi beliau pada waktu Subuh, lalu berkata, 'Berdiri dan kerjakanlah salat Subuh.' Jibril pun lalu mengimami beliau salat ketika fajar sudah menyingsing. Besoknya Jibril mendatangi beliau lagi ketika fajar benar-benar telah terang, lalu berkata kepada beliau, 'Berdiri dan kerjakanlah salat.' Jibril pun mengimami beliau salat Subuh pada waktu itu. Pada hari kedua itu Jibril juga berkata, 'Di antara kedua waktu itu (salat yang kemarin dan yang sekarang) juga merupakan waktu salat.'" (HR Ahmad, At-Tirmidzi, dan An-Nasa'i)

Dalam buku Fikih 5 Salat Fardhu dalam 3 Waktu karya Muhammad Babul Ulum, disebutkan bahwa salat Subuh tidak bisa dijamak maupun diqashar karena tidak ada dalil yang mendukung hukum tersebut tersebut.

Salat yang diperbolehkan untuk dijamak dan diqashar adalah Zuhur dengan Asar serta Magrib dengan Isya. Ketentuan ini telah menjadi kesepakatan para ulama berdasarkan hadits-hadits shahih.




(inf/inf)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads