Arti Mokel dalam Puasa Ramadan, Bagaimana Hukumnya dalam Islam?

Arti Mokel dalam Puasa Ramadan, Bagaimana Hukumnya dalam Islam?

Alvin Setiawan - detikHikmah
Sabtu, 30 Mar 2024 11:00 WIB
Ilustrasi makan kurma
Ilustrasi mokel atau berbuka puasa sebelum waktunya (Foto: Getty Images/rachasuk)
Jakarta -

Mokel merupakan istilah yang sering digunakan pada bulan Ramadan. Apa arti mokel dan hukumnya dalam Islam?

Mokel menjadi salah satu istilah slang dengan konotasi negatif. Pada dasarnya, dilansir dari laman NU Lumajang, mokel berasal dari istilah lokal yang populer di Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Namun, mokel kini mulai digunakan oleh masyarakat umum dalam obrolan sehari-hari. Mokel dipakai untuk menjelaskan aksi berbuka puasa sebelum waktunya atau sengaja membatalkan puasa.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dikutip CNN Indonesia, konteks berbuka puasa sebelum waktunya merujuk pada berbuka sebelum waktu Magrib tiba. Untuk itulah, mokel dikenal sebagai istilah berkonotasi negatif karena hal itu dilakukan dengan sengaja.

Selain mokel, ada pula istilah yang menjelaskan makna serupa yakni, godin dan mokak.

ADVERTISEMENT

Hukum Mokel dalam Islam

Islam memandang mokel sebagai perbuatan yang tercela. Apalagi jika membatalkan puasa tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat atau karena suatu uzur.

Dinukil dari buku Fikih Empat Mahzab Jilid 2 karya Syekh Abdurrahman Al-Juzairi, ada hukuman kafarat berlaku bagi mereka melakukannya secara sengaja.

Sementara itu, menuruy buku Puasa bukan Hanya Saat Ramadhan karya Ahmad Sarwat, kafarat tersebut sama seperti orang yang melakukan hubungan badan pada pada siang hari di bulan Ramadan. Kafarat itu harus ditebus adalah puasa dua bulan berturut-turut.

Jika tidak mampu, maka wajib memerdekakan budak. Kemudian, memberi makanan kepada 60 orang fakir miskin dengan masing-masingnya 1 mud makanan pokok jika masih tidak memungkinkan.

Orang yang membatalkan puasa dengan sengaja termasuk orang yang merugi. Pasalnya, orang tersebut kehilangan berkah dan keutamaan puasa Ramadan.

Dijelaskan dalam kitab Fiqih Sunnah karya Sayyid Sabiq yang diterjemahkan Khairul Amru Harahap dan Masrukhin, pendapat tersebut berlandaskan pada hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah RA. Rasulullah SAW bersabda,

مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ فِى غَيْرِ رُخْصَةٍ رَخَّصَهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُ لَمْ يَقْضِ عَنْهُ وَإِنْ صَامَ الدَّهْرَ كُلَّهُ

Artinya: "Barang siapa tidak puasa satu hari di bulan Ramadan tanpa adanya keringanan yang Allah 'azza wa jalla berikan kepadanya, maka tidak akan bisa menjadi ganti darinya, sekalipun ia berpuasa selama satu tahun." (HR Abu Hurairah)

Ada azab tersendiri bagi orang yang sengaja membatalkan puasa sebelum tiba waktunya tanpa ada uzur sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits yang terdapat dalam buku Jalan Takwa karya Idrus Abidin. Berikut bunyi haditsnya,

Dari Abu Umamah RA, ia menuturkan bahwa mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Ketika saya sedang tidur, saya didatangi oleh dua orang laki-laki. Keduanya menarik lenganku dan membawaku ke gunung yang sangat terjal."

Keduanya berkata, "Naiklah." Saya mengatakan, "Aku tidak mampu." Kemudian mereka berdua berkata, "Kami akan membantumu." Maka aku pun menaikinya sehingga ketika saya sampai di pegunungan yang gelap, tiba-tiba terdengar suara yang sangat keras. Lalu saya bertanya, "Suara apa itu?" Mereka menjawab, "Itu adalah suara jeritan para penghuni neraka."

Kemudian saya dibawa berjalan-jalan hingga saya menyaksikan orang-orang yang bergantungan pada urat besar di atas tumit mereka. Mulut mereka robek, dan dari robekan itulah mengalir banyak darah. Kemudian saya (Abu Umamah) bertanya, "Siapakah mereka itu?" Rasulullah SAW menjawab, "Mereka adalah orang-orang yang berbuka (membatalkan puasa) sebelum tiba waktunya."

Hadits tersebut diriwayatkan Ibnu Khuzaimah dalam shahih-nya dan Hakim dalam Mustadrak-nya. Al-Albani menshahihkan hadits ini dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib. Adapun, Adz-Dzahabi mengatakan hadits ini shahih sesuai syarat Muslim, namun ia tidak mengeluarkan hadits ini.

Ada golongan yang diperbolehkan tidak berpuasa atau membatalkan puasa Ramadhan. Meski demikian, mereka tetap diwajibkan untuk membayar fidyah atau qadha puasa.

Mengutip buku Fiqhul Islam Belajar Fikih Mazhab Syafi'I Untuk Pemula oleh Imam Syafi'i, dijelaskan golongan orang boleh tidak berpuasa atau membatalkan puasa yakni musafir, orang yang sakit, wanita hamil dan menyusui, wanita haid dan nifas, orang yang lanjut usia.

Wallahu a'lam.




(rah/rah)

Hide Ads