Menjadi seorang ibu adalah anugerah yang terindah yang pernah diterima oleh setiap perempuan. Setiap ibu pun mendambakan menjalani proses melahirkan anaknya ke dunia dengan tenang dan nyaman.
Hal sebaliknya terjadi di Gaza. Di tengah-tengah agresi militer Israel, melahirkan kini menjadi sebuah mimpi buruk. Ketersediaan alat medis untuk menunjang proses melahirkan sangatlah terbatas, bahkan para perempuan harus menahan rasa sakit karena tidak diberi obat bius saat proses operasi caesar.
Pelayanan pra-kelahiran hampir tidak ada, sebab semua kapasitas rumah sakit terkuras untuk merawat korban luka massal akibat pemboman Israel. Akhirnya, lebih banyak perempuan yang melahirkan di kamp-kamp pengungsian, bahkan di jalan dibandingkan di rumah sakit.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengutip The Washington Post (24/1/2024), seorang perempuan bernama Waala tak menyangka jika kelahiran anak keempatnya akan memicu kepanikan dan ketakutan mendalam. Proses melahirkan dibantu sang paman, Wisaam yang merupakan seorang dokter.
Tempat Waala untuk melahirkan anaknya adalah di tanah dingin di antara tenda-tenda. Suasana malam yang dingin dan gelap menyelimuti, penerangan hanya bermodal senter dari ponsel Wisaam.
Tidak ada seorang pun yang bisa menghubungi suami Walaa, dan ibunya sangat ketakutan sehingga terkadang dia harus memalingkan muka. Mereka memotong tali pusar anak laki-laki itu dengan pisau bedah yang tidak steril dan mengisi kaleng dengan air panas agar tetap hangat.
Lahirlah seorang bayi laki-laki dengan berat 3kg dan Waala namai Ramzy. Saat lahir, Ramzy dibedong menggunakan pakaian dalam yang ukurannya terlalu besar untuk anak-anak di kamp lain. Setelah itu, Waala masih harus menahan rasa sakit akibat luka robek saat melahirkan.
Menurut perkiraan internasional CARE, bencana kemanusiaan yang disebabkan oleh serangan militer Israel selama tiga bulan melawan Hamas di Gaza menyebabkan sekitar 52.000 wanita hamil menjadi korban terbesarnya. Ketika serangan udara mendorong 1,9 juta orang ke sudut yang semakin kecil di wilayah yang terkepung, penyakit menyebar, kelaparan semakin dekat dan tingkat anemia sangat tinggi sehingga risiko perdarahan pascamelahirkan meningkat dan pemberian ASI seringkali tidak mungkin dilakukan. 40% kehamilan berisiko tinggi.
"Apa yang kita ketahui tentang komplikasi yang berhubungan dengan kehamilan sulit untuk mencegahnya dalam situasi apa pun. Namun cara kita menyelamatkan nyawa seorang wanita dan bayi baru lahir adalah dengan menangani komplikasi tersebut dengan cepat," kata Rondi Anderson, spesialis kebidanan untuk Project HOPE.
"Jadi perempuan yang memiliki akses terhadap perawatan darurat adalah mereka yang masih hidup. Wanita yang tidak melakukannya, mati." lanjutnya.
Seperti dietahui, genosida yang dilakukan oleh Israel kepada warga Gaza sudah memasuki hari ke-110. 25 ribu lebih orang Palestina tewas akibat insiden tersebut. Kebanyakan korbannya adalah wanita dan anak-anak.
(hnh/lus)
Komentar Terbanyak
Mengoplos Beras Termasuk Dosa Besar & Harta Haram, Begini Penjelasan MUI
Daftar Kekayaan Sahabat Nabi
Info Lowongan Kerja BP Haji 2026, Merapat!