Sarung ditetapkan sebagai salah satu pakaian wajib bagi peserta laki-laki yang mengikuti apel Hari Santri 2023 besok. Bagaimana sejarah asal usul sarung?
Aturan pakaian apel Hari Santri 2023 tersebut termuat dalam Surat Edaran (SE) Sekretaris Jenderal Kementerian Agama Nomor SE 25 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Apel Hari Santri 2023.
Menurut SE tertanggal 11 Oktober 2023 tersebut, peserta apel laki-laki mengenakan sarung, atasan putih, dan berpeci hitam. Adapun, untuk perempuan dapat menyesuaikan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pelaksanaan apel akan berpusat di Tugu Pahlawan Kota Surabaya, Jawa Timur dengan Presiden Joko Widodo sebagai Inspektur apel. Apel akan dimulai pukul 07.00 WIB dan disiarkan secara daring melalui kanal media sosial Kemenag RI.
Sejarah Sarung yang Jadi Pakaian Wajib Hari Santri
Dinukil dari Majalah Inspirasi Vol XV - No.1 Edisi Oktober 2019 oleh Tim SMA Muhammadiyah 1 Gresik, ada yang berpendapat bahwa sarung disebut berasal dari Yaman. Mulanya, sarung digunakan suku Badui yang tinggal di Yaman.
Saat itu, sarung berasal dari kain putih yang dicelupkan ke dalam neel atau perwarna berwarna hitam. Setelahnya, penggunaan sarung pun meluas mulai dari Semenanjung Arab, hingga Asia Selatan, Afrika, Asia Tenggara, Eropa, hingga Amerika.
Sarung disebut masuk ke Indonesia pada abad ke-14. Saat itu, sarung dibawa oleh saudagar Gujarat dan Arab yang juga menyebarkan agama Islam.
Sarung kemudian menjadi pakaian dari komunitas pelaut di Semenanjung Malaya, dekat Sumatra dan Jawa. Menurut seorang peneliti Gittinger, sarung lalu diperkenalkan di pulau Madura dan sepanjang pantai utara Jawa.
Pada akhir abad ke-19, sarung kemudian dibawa oleh saudagar muslim dari Indonesia sekaligus menyebarkan Islam melalui wilayah pantai di Pulau Jawa.
Menurut Dosen UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten M. Ishom el-Saha dalam laman Kemenag RI, asal-usul sarung juga dapat ditelisik dari karya-karya sastra Nusantara. Kain sarung berhubungan dengan kain penutup yang umum digunakan.
Sikap masyarakat Indonesia yang cenderung mudah membaur menjadikan sarung sebagai salah satu ciri khas orang-orang yang bergaul atau srawung. Srawung merupakan istilah bahasa Jawa yang memiliki arti bergaul di dalam bahasa Indonesia.
Salah satu bukti bahwa sarung merupakan pakaian estetis orang-orang yang bergaul terdapat di dalam syair berjudul Cah Angon karya Sunan Kalijaga:
"Dodotiro dodotiro kumintir bedah ing pinggir. Dondomano Jrumatono kanggo sibo mengko sore,"
Dalam lirik tersebut tersirat sejarah tentang penggunaan sarung. Dahulu, orang Jawa terbiasa memakai kain jarik yang dijahit dan disambung menjadi kain sarung untuk menghadiri pertemuan di waktu sore.
Di dalam syairnya, Sunan Kalijaga tidak menyebut sarung melainkan 'dodot' atau pakaian karena pada masanya belum lahir istilah sarung. Meski begitu, apa yang dikemukakan Sunan Kalijaga dapat ditandai sebagai cikal bakal kemunculan sarung. Tentu saja sarung bercorak batik yang lebih dahulu dikenakan para santri.
Penggunaan istilah sarung untuk jenis pakaian yang dikenakan keseharian santri kemudian ditemukan dalam karya sastra awal abad XIX berjudul Hikayat Qadiroun. Karya sastra ini bercerita tentang orang Arab yang dianggap berperilaku aneh oleh masyarakat.
Keanehan tersebut diceritakan bahwa orang Arab itu berkeliling kampung sembari menawarkan sarung kepada masyarakat. Cerita Qadirun ini menyiratkan, penggunaan sarung sebagai simbol pergaulan sesama masyarakat tidak boleh redup meski sudah ada larangan kompeni untuk bergerombol menonton pertunjukkan.
Seiring berjalannya waktu, pemerintah Indonesia kemudian menetapkan Hari Sarung Nasional pada 3 Maret 2019. Hari besar nasional tersebut ditetapkan oleh Presiden Joko Widodod (Jokowi) pada acara Festival Sarung Indonesia 2019 di Plaza Tenggara GBK, Senayan, Jakarta.
Sejak saat itulah, setiap tanggal 3 Maret diperingati sebagai Hari Sarung Nasional. Tujuan diperingati Hari Sarung Nasional adalah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang arti penting sarung dalam kebudayaan Indonesia.
(rah/lus)
Komentar Terbanyak
Ada Penolakan, Zakir Naik Tetap Ceramah di Kota Malang
Sosok Ulama Iran yang Tawarkan Rp 18,5 M untuk Membunuh Trump
Respons NU dan Muhammadiyah Malang soal Ceramah Zakir Naik di Stadion Gajayana