LBM PWNU Jatim Sebut Pewarna Makanan dari Serangga Cochineal Haram & Najis, Ini Kata MUI

LBM PWNU Jatim Sebut Pewarna Makanan dari Serangga Cochineal Haram & Najis, Ini Kata MUI

Devi Setya - detikHikmah
Kamis, 28 Sep 2023 16:00 WIB
ilustrasi pewarna makanan
Ilustrasi pewarna makanan Foto: Getty Images/iStockphoto/Adisak Mitrprayoon
Jakarta -

Perbedaan pendapat terkait pewarna makanan, minuman dan kosmetik berbahan serangga Cochineal terjadi antara Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). LBM PWNU-Jatim menyebut pewarna dari Cochineal haram dan najis, sementara MUI telah mengeluarkan fatwa halal untuk pewarna karmin yang berasal dari serangga ini.

Karmin adalah pewarna merah yang usianya sudah sangat tua, berasal dari suku Aztec di tahun 1500-an. Ketika orang Eropa menemukan budaya mereka selama eksplorasi, mereka menggunakan ekstrak serangga berjenis cochineal atau kutu daun sebagai pewarna untuk kain dengan warna merah cerah.

Zaman sekarang, pemanfaatan pewarna ini biasa diaplikasikan ke dalam makanan, minuman ataupun produk kosmetik. Namun baru-baru ini LBM PWNU Jatim mengeluarkan keputusan bahwa pewarna berbahan Cochineal hukumnya haram dan najis.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Melalui keputusan Batsul Masail PWNU Jatim dijelaskan proses pengolahan pewarna dari serangga Cochineal. Untuk mengolah menjadi pewarna, serangga cochieneal dijemur hingga kering, lalu dihancurkan dengan mesin. Setelah itu, jadilah serbuk berwarna merah tua cerah.

Untuk menonjolkan aspek warna yang diinginkan, biasanya ekstrak cochieneal ini dicampur dengan larutan alcohol asam untuk lebih memunculkan warna. Pewarna karmin ini dapat ditemukan dalam produk pangan komersial seperti yoghurt, susu, permen, jelly, es krim, dan pangan lainnya yang berwarna merah hingga merah muda.

ADVERTISEMENT

Hukum Pewarna Cochineal Haram versi LBM PWNU Jatim

LBM PWNU Jatim menyatakan bangkai serangga (hasyarat) tidak boleh konsumsi karena najis dan menjijikkan kecuali menurut sebagian pendapat dalam madzhab Maliki.

Adapun penggunaan karmin untuk keperluan selain konsumsi semisal untuk lipstik menurut Jumhur Syafi'iyyah tidak diperbolehkan karna dihukumi najis, sedangkan menurut Imam Qoffal, Imam Malik dan Imam Abi hanifah dihukumi suci sehingga diperbolehkan karena serangga tidak mempunyai darah yang menyebabkan bangkainya bisa membusuk.

Hukum Pewarna Cochineal Halal versi Fatwa MUI

Fatwa MUI terkait pewarna makanan berbahan Cochineal dikeluarkan secara independen dan sesuai dengan Pedoman Penetapan Fatwa MUI. Keputusan fatwa MUI ini didahului dengan kajian-kajian yang melibatkan para pakar di bidangnya, untuk kemudian menjadi bahan dalam pembahasan fiqh-nya.

Dalam kasus ini, setelah dilakukan kajian mendalam, baik dari aspek sains maupun fiqh, diputuskanlah secara jama'i (kolektif) fatwa dengan hasil sebagaimana termaktub dalam Fatwa MUI No 33 2011.

Terkait penggunaan karmin yang berasal dari serangga Cochineal sebagai pewarna makanan atau minuman secara kajian fikih memang ada perbedaan pendapat di antara ulama. Perbedaan tersebut dikarenakan ada perbedaan dalam mengelompokkan Cochineal apakah termasuk serangga yang diharamkan atau tidak.

Komisi Fatwa MUI telah mengkaji dan meneliti permasalahan terkait pada tahun 2011. Dari hasil kajian terhadap dalil-dalil dan pendapat para ulama serta hasil penelitian, MUI menetapkan bahwa Cochineal dikelompokkan pada kelompok belalang yang termasuk hewan halal (bahkan bangkainya juga halal)

Tanggapan MUI atas Perbedaan Pendapat

Terkait dengan adanya perbedaan antara fatwa MUI dengan hasil LBM PWNU-Jatim, KH Abdul Muiz Ali selaku Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI menjelaskan bahwa perbedaan pendapat ini sebagai hal yang wajar.

"Kami menghargai adanya perbedaan pendapat ini, karena ada argumen dan hujjah yang mendasari, maka oleh karena itu tidak perlu dipersoalkan berlebihan, dan hasil ijtihad tidak membatalkan satu sama lain," kata KH Abdul Muiz saat dihubungi detikHikmah, Kamis (28/9/2023).

Lebih lanjut, Abdul Muiz mengatakan dengan adanya perbedaan fatwa ini masyarakat diharapkan dapat diberikan edukasi yang tepat dalam menyikapi perbedaan. Masing-masing pendapat dapat menjadi pilihan untuk diikuti, dan hendaknya tidak sampai menimbulkan keresahan.

KH Abdul Muiz juga menegaskan penetapan kehalalan produk adalah wewenang fatwa Majelis Ulama Indonesia sebagaimana telah diatur dalam Undang-undang No. 33 Tahun 2014.

Di antara hasil kajian yang dilakukan oleh MUI adalah sebagai berikut:

1. Secara kekeluargaan Cochineal dan belalang masuk dalam satu kelas yaitu insecta.
2. Secara siklus kehidupan keduanya sama yaitu dari telur kemudian nimfa dan terakhir adalah belalang atau Cochineal.
3. Secara habitat juga sama hidup di dedaunan.
4. Makanan serangga ini juga sama yaitu daun.
5. Keduanya juga tidak mempunyai darah yang mengalir.




(dvs/erd)

Hide Ads