Cerita Warlok Makkah, Tak Ada Bioskop-Datangi Masjidil Haram Tiap Hari

Cerita Warlok Makkah, Tak Ada Bioskop-Datangi Masjidil Haram Tiap Hari

Rahma Harbani - detikHikmah
Selasa, 25 Jul 2023 17:00 WIB
Kota Makkah dulu dan sekarang
Potret Kota Makkah. (Foto: via Huffpost)
Jakarta - Makkah adalah salah satu kota yang disebut Tanah Suci dalam Islam. Selain sebagai tempat kelahiran Rasulullah SAW, Makkah adalah lokasi di mana Ka'bah berada yang menjadi tujuan haji dan acuan kiblat dari seluruh umat Islam di dunia.

Bersamaan dengan itu, Makkah juga merupakan tempat tinggal jutaan warga untuk beraktivitas sehari-hari seperti, mencuci, membuang sampah, hingga menikmati akhir pekan. Itulah yang dialami para warga lokal (warlok) Makkah.

Lahir di Jeddah, Zainab Abdu tinggal di Makkah sejak usia enam tahun. Abdu mengenang masa kecilnya saat bermain sepatu roda bersama teman-temannya di sekitar Masjidil Haram.

Bahkan, dataran gurun dan lembah yang setiap tahunnya dipadati peziarah haji adalah tempat di mana Abdu, keluarga, dan teman-temannya berpiknik, menunggang kuda, dan bermain sepak bola tiap akhir pekan.

"Masjidil Haram adalah rumahku. Ini masa kecilku. Tetapi orang tidak dapat membayangkan betapa normalnya kehidupan bagi kita. Kami melakukan hal-hal yang dilakukan orang lain," ceritanya, dikutip dari AP News, Selasa (25/7/2023).

Tak Punya Bioskop, Hiburan Sederhana

Abdu bercerita, Kota Makkah tidak jauh berbeda dengan kota modern lainnya yang memiliki jalan raya hingga diisi oleh mal, pusat kebugaran, sekolah, hingga universitas. Meski demikian, ada sejumlah cara untuk menjaga kesucian kota.

Salah satunya, Kota Makkah adalah kota yang tidak memiliki bioskop. Meski, sebetulnya, pemerintah setempat sudah mencabut larangan bioskop secara nasional pada tahun 2018 lalu.

Untuk bisa menikmati hiburan di bioskop, warga lokal Makkah harus melalui perjalan sekitar 35 mil atau 70 kilometer untuk pergi ke kota pesisir Jeddah.

Wanita usia 29 tahun ini juga menceritakan, aula-aula pernikahan di Makkah biasanya terletak jauh dari area-area sakral. Bahkan, meski tetap ada iringan musik di perayaaan pernikahan, ulang tahun, dan lainnya, volume suara dari musik-musik tersebut tetap dijaga agar tidak terlalu keras.

"Ini (Makkah) adalah kota suci dan perlu dihormati," kata Abdu.

Kondisi Musim Haji bagi Warlok

Tiap setahun sekali, populasi kota Makkah bertambah berkali-kali lipat karena kedatangan para peziarah haji. Untuk itu, biasanya keamanan di jalan-jalan raya mulai diperketat guna mengarahkan lalu lintas saat jemaah haji bergerak di sekitar Masjidil Haram dan tempat-tempat suci seperti Mina, Muzdalifa, dan Gunung Arafat.

Sementara bagi Abdu dan warlok lainnya, hal itu berarti membuat mereka perlu menyiapkan waktu ekstra untuk menghindari penutupan rute.

Di sisi lain, kondisi padatnya musim haji dirasakan dampak positifnya oleh sopir taksi kebangsaan Bangladesh, Jahid Rojin. Ia mengatakan, kerap kali ia menerima tiga kali lipat ongkos perjalanan dari penumpang yang harus berbagi dengan penumpang lainnya karena terbatasnya armada transportasi.

Lain halnya dari cerita warlok yang lahir dan besar di Makkah, Fajr Abdullah Abdul-Halim. Ia menambahkan bahwa dulunya warga kota Makkah cukup dekat dengan para peziarah haji. Bahkan pintu rumah warga seakan terbuka lebar untuk menyambut para peziarah haji.

"Kalau ada yang sakit biasanya dirawat di rumah (warga). Itu saat-saat yang indah," ceritanya.

Namun, saat ini, pihak berwenang sudah menerapkan aturan sedemikian rupa untuk mengendalikan dan mengatur kerumunan antara jemaah haji dan penduduk lokal.

Pergi ke Masjidil Haram Tiap Hari

Abdul-Halim bercerita, rumahnya yang berdekatan dengan Masjidil Haram membuatnya dapat menyaksikan jemaah haji tawaf dari rumah mereka. Pemandangan tersebut dapat disaksikan langsung melalui atap rumahnya.

Karena jarak yang dekat itu pula, Abdul-Halim mengenang masa kecilnya saat bisa pergi ke Masjidil Haram setiap hari. Pria yang kini berusia 57 tahun itu mengaku bisa setiap sore hingga Magrib berada di Masjidil Haram bersama orang tua dan saudara kandungnya.

"Saya selalu bilang saya beruntung, saya bisa pergi (ke Masjidil Haram) setiap hari. Orang-orang sangat senang saya tinggal di sini. Kadang-kadang saya merasa saya tidak cukup, tapi saya sangat bersyukur. Ini adalah hadiah," katanya.

Dulu, cerita Abdul-Halim, ia dan warga setempat lainnya bisa menunaikan haji dengan mudah tanpa biaya. Namun, kemudahan itu perlahan berakhir karena sekarang mereka tetap harus mendaftar seperti jemaah haji lainnya dan membayar mulai dari $1.060 atau kurang lebih Rp 15,9 juta per orang.

Bagaimanapun, tetap ada kebanggaan tersendiri bagi Abdul-Halim sebagai warlok Makkah. Ia lalu mengenang pesan gurunya saat ia duduk di bangku sekolah dasar.

"Kami disuruh memberi contoh yang baik bagi orang-orang karena status (warga) Makkah," ujarnya.


(rah/nwk)

Hide Ads