Memahami Fikih Peradaban

Kolom Hikmah

Memahami Fikih Peradaban

Ahmad Tholabi Kharlie - detikHikmah
Selasa, 07 Feb 2023 07:37 WIB
Ahmad Tholabi Kharlie
Foto: Dokumentasi Pribadi
Jakarta - Salah satu agenda utama dalam perhelatan "Satu Abad Nahdlatul Ulama" adalah "Muktamar Internasional Fikih Peradaban I" (6/3/2023). Inilah inisiatif strategis yang digulirkan Nahdlatul Ulama (NU) menyusul kepemimpinan NU dalam forum internasional R20 beberapa waktu lalu di Bali. Muktamar ini dihadiri oleh Wakil Grand Syaikh Al-Azhar Kairo dan tidak kurang dari 300 ulama dari pelbagai belahan dunia terlibat membincang realitas peradaban saat ini. Melalui kegiatan ini diharapkan Islam yang diwakili oleh para ulama dapat memberikan wawasan baru dan solusi keagamaan terhadap permasalahan umat manusia secara global.

Bagi NU, gagasan mengenai fikih peradaban merupakan salah satu perwujudan dari komitmen untuk mewujudkan tatanan peradaban dunia yang harmonis dan berkeadilan. Hal ini sejalan dengan visi NU yang diusung saat ini, yakni "Merawat jagat, membangun peradaban". Untuk mewujudkan visi besar ini, NU dituntut untuk berperan lebih aktif dalam penyelesaian problem kemanusiaan global. Salah satu strateginya adalah melalui revitalisasi konsep fikih peradaban.

Secara literal, fikih berarti pemahaman atau memahami (Al-Rāzī, 1999). Dalam khazanah hukum Islam, fikih dimaknai sebagai ilmu tentang hukum syarak yang bersifat praktis yang diperoleh dari dalil-dalil yang terperinci. Sedangkan fikih peradaban, secara sederhana dapat diartikan sebagai pemahaman terhadap realitas atau peradaban yang didialogkan dengan teks-teks suci untuk memberikan solusi atas permasalahan yang muncul akibat dinamika peradaban itu.

Sejatinya, ulama terdahulu telah mendialogkan teks-teks syariat dengan realitas kehidupan dan peradaban di masanya. Ikhtiar ini pada gilirannya telah melahirkan khazanah fikih yang begitu luas dan memberikan aneka opsi serta solusi atas pelbagai masalah yang muncul pada konteks peradaban di mana mereka hidup, baik terkait ihwal keagamaan maupun muamalah atau hubungan antar individu dan masyarakat (Ibn 'Asyur, 2010).

Pada ranah muamalah, terjadi dinamika sosial yang luar biasa. Realitas saat ini sangat berbeda dibanding dengan realitas dan peradaban masa-masa sebelumnya. Pasca perang dunia pertama dan kedua, kehidupan manusia mengalami perubahan sangat signifikan, yang tidak diperkirakan sebelumnya. Dampak yang ditimbulkan dan ongkos yang harus dibayar pasca peperangan sungguh sangat mahal akibat daya rusak persenjataan canggih yang luar biasa. Dari sini kemudian menghasilkan turunan masalah yang sangat serius di pelbagai sektor.

Di sisi lain, kemajuan teknologi informasi juga telah melahirkan apa yang disebut sebagai globalisasi. Inilah peradaban baru yang tidak dialami oleh umat-umat manusia sebelumnya, termasuk dunia Islam. Globalisasi meniscayakan semua sektor menjadi saling terkoneksi dan saling terkait, sehingga jika terjadi permasalahan di suatu negara atau wilayah tertentu maka dampaknya akan meluas hingga ke banyak negara. Seperti terganggunya situasi ekonomi di pelbagai negara sebagai dampak dari terjadinya perang Rusia-Ukraina (BRIN, 2022).

NU dan fikih peradaban

Oleh karena realitas peradaban yang kompleks itu, saat ini ulama memiliki beban dan tanggung jawab yang amat besar dalam memberikan solusi atas perubahan-perubahan yang terjadi sebagai dampak dari dinamika peradaban. Menyadari akan tanggung jawab ini, NU sebagai organisasi kemasyarakatan keislaman terbesar di dunia, telah melakukan inisiatif dengan mengadakan sosialisasi dalam bentuk dialog ilmiah atau halaqah fikih peradaban di lebih dari 250 titik. Kegiatan ini melibatkan para kiai dan ahli agama di seluruh Indonesia untuk ikut serta menyumbangkan gagasan-gagasannya yang secara lebih luas dibahas dalam forum Muktamar Internasional Fikih Peradaban I.

Dalam menghadapi realitas sosial yang terus berubah, sejatinya ulama pendiri (mu'assis) NU telah menginisiasi dan melahirkan pelbagai pandangan fikih yang sangat berani dan visioner, mulai dari pembentukan Komite Hijaz hingga didirikannya Jam'iyyah NU. Kita bisa sebut fatwa ulama NU seputar pengangkatan Penghulu oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Ulama NU tampil ke depan dan menyatakan bahwa tidak mengapa Belanda membentuk institusi kepenghuluan dengan sejumlah alasan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. Sikap hukum ini dinilai sangat berani dan lebih maju pada masanya. (Staquf, 2022)

Contoh lain, ulama NU juga telah memberikan panggung kepada wakil peserta perempuan menyampaikan pidato di hadapan forum Muktamar NU di Menes pada 1938. Sekali lagi, jika dilihat dari sisi bagaimana peran perempuan di depan publik kala itu, sikap ulama NU ini merupakan sesuatu yang sangat berani. Ulama NU memberikan hak kesetaraan kepada
perempuan. Sejak itu, pada setiap muktamar NU diadakan rapat khusus bagi kaum perempuan. Hingga kemudian pada 1946 Muslimat NU dibentuk.

Demikian pula dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, ulama di Indonesia juga telah memberikan solusi final dengan suatu kesepakatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berlandaskan pada Pancasila dan UUD tahun 1945 serta Bhinneka Tunggal Ika. Bahkan, Hadratus Syaikh K.H. Hasyim Asy'ari menyatakan bahwa hukum membela NKRI adalah fardhu 'ain atau kewajiban individu.

Keputusan penting lainnya juga lahir pada Munas NU ke-28 tahun 1989 di Karapyak. Forum Munas menegaskan bahwa fikih haruslah dikontekstualisasikan dengan perkembangan zaman. Pernyataan ini sangat penting sebagai pijakan para ulama NU untuk memahami realitas peradaban saat ini secara komprehensif dan selalu melakukan upaya kontekstualisasi fikih dengan realitas.

Sejumlah pendapat hukum ulama NU tempo dulu, sebagaimana disebutkan di muka, telah mengafirmasi bahwa penyelenggaraan forum halaqah di sejumlah titik maupun Muktamar Internasional Fikih Peradaban I yang diselenggarakan dalam rangka menyambut satu abad NU sejatinya tidak terlepas dari ikhtiar nyata dalam melanjutkan semangat dan peran yang secara substansial telah dilakukan oleh para ulama pendiri NU terdahulu, sebagai bentuk tanggung jawab keumatan.

Sikap ulama

Saat ini dunia dihadapkan pada aneka persoalan global seiring dinamika peradaban yang berubah kian cepat. Realitas ini mendorong ulama meningkatkan empati dan tanggung jawab keumatan untuk turut-serta merumuskan solusi yang mencerminkan Islam sebagai rahmatan lil 'alamin.

Dinamika sosial telah memunculkan pelbagai persoalan dan pertanyaan fikih yang membutuhkan solusi hukum yang relevan. Tentu saja, jika menggunakan kerangka dan argumen fikih konvensional diyakini tidak akan mampu menyelesaikan permasalahan, bahkan dapat menimbulkan problem baru. Oleh karena itu, ulama harus beranjak dari sekadar mengutip dan merujuk pandangan ulama klasik tanpa berupaya mendialogkannya dengan realitas kekinian. Sikap jumud dan taklid terhadap pandangan-padangan lama yang terkadang telah kehilangan konteksnya merupakan tindakan kontraproduktif, yang oleh al-Qarafi disebut sebagai "kesesatan".

Ada sejumlah langkah yang harus dilakukan ulama dalam konteks ini. Pertama, menggali kembali literatur fikih klasik yang merupakan sumbangsih ulama terdahulu. Kemudian mempertimbangkan pelbagai kesamaan dan perbedaan antara realitas peradaban mereka dengan realitas peradaban saat ini serta pertimbangan konsekuensi apabila pandangan fukaha tempo dulu diterapkan pada realitas saat ini.

Kedua, mendialogkan realitas peradaban saat ini dengan teks-teks syariat secara manhaji (metodologis), terutama dalam hal-hal yang tidak terdapat bandingan atau persamaannya di dalam aqwal (pandangan) fukaha, dengan menimbang kemaslahatan dan dampaknya bagi umat manusia, sebagai inisiatif yang dapat menghadirkan stabilitas dan keselamatan umat manusia. Hal ini tentu membutuhkan peran ahli dari pelbagai disiplin ilmu sehingga dapat membaca realitas secara utuh.

Contoh klasik dapat dikemukakan di sini, untuk menggambarkan betapa ulama tempo dulu telah mampu menemukan formula hukum Islam yang tidak hanya sesuai dengan tuntutan zamannya tapi juga visioner. Umar Ibn al-Khaththab memutuskan tidak memberikan hak zakat untuk kelompok mualaf, padahal hak zakat untuk mereka jelas ada dalam teks suci yang qath'i. Umar berijtihad bahwa 'illat hukum pemberian harta zakat untuk mualaf di masa awal Islam adalah karena dalam masa konsolidasi sehingga masih memerlukan dana stimulus untuk para mualaf. Sedangkan di masa kekhalifahannya, dana semacam itu sudah tidak lagi diperlukan.

Demikian pula pandangan Yusuf al-Qaradhawi dalam pembaruan jenis harta yang wajib dizakatkan. Menurut dia, jenis harta yang wajib dizakatkan dahulu, seperti harta dari perniagaan, pertanian, perkebunan, tambang, emas, dan perak, menimbang sumber kekayaan masa itu. Sedangkan dalam peradaban zaman modern setelah revolusi industri hingga revolusi digital, sumber kekayaan menjadi lebih banyak dan beragam. Tidak sebatas sumber harta zakat konvensional. Karena itu, al-Qaradhawi berpendapat bahwa zakat juga wajib dari pendapatan lainnya, termasuk dari gaji.

Pandangan lain yang juga cukup menarik, dalam persoalan hukum berobat. Sejatinya ulama fikih klasik tidak menganggap wajib berobat. Cukup bersikap sabar atas musibah sakit. Dalam artian tidak perlu berobat, sebab kemungkinan sembuh dari pengobatan tidak bisa diukur. Akibatnya, fukaha kala itu menganggap bahwa dalam relasi suami istri, pengobatan atau biaya berobat tidak termasuk nafkah wajib suami kepada istri. Namun, dengan kemajuan teknologi kedokteran dan kemajuan ilmu farmasi saat ini, beragam penyakit dapat diperkirakan kesembuhannya. Oleh karena itu, terjadi perubahan pemikiran fukaha mengenai pengobatan ini seiring kemajuan dalam bidang teknologi kedokteran (Al-Qaradhawi, 1996).

Demikianlah sejumlah contoh kasus yang menunjukkan dinamika fikih dalam realitas peradaban yang terus berubah. Para ulama harus mendialogkan realitas dengan teks-teks suci serta menimbang pelbagai kemaslahatan umum sehingga melahirkan konsepsi fikih baru yang solutif.


Ahmad Tholabi Kharlie


Guru Besar dan Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pengurus Lembaga Ta'lif wan Nasyr (LTN) - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

Simak Video "Panggung Rakyat NU Jadi Daya Tarik Antusiasme Rakyat Sidoarjo dan Sekitarnya"
[Gambas:Video 20detik]
(erd/erd)