Fikih Haji Perempuan: Pentingnya Pemahaman Khusus untuk Ibadah yang Sempurna

Kabar Haji 2025

Fikih Haji Perempuan: Pentingnya Pemahaman Khusus untuk Ibadah yang Sempurna

Devi Setya - detikHikmah
Sabtu, 24 Mei 2025 16:01 WIB
Ibu Nyai Badriyah Fayumi
Ibu Nyai Badriyah Fayumi Foto: Kemenag MCH 2025
Jakarta -

Ibadah haji merupakan rukun Islam kelima yang wajib ditunaikan bagi setiap muslim yang mampu secara fisik dan finansial. Namun, ketika berbicara tentang haji bagi kaum perempuan, ada dimensi tambahan yang patut diperhatikan secara lebih khusus.

Fikih haji perempuan menjadi penting untuk dipelajari, bukan hanya oleh perempuan itu sendiri, tetapi juga oleh kaum laki-laki yang sering menjadi pendamping atau mahram dalam pelaksanaan ibadah ini.

Dalam Konferensi Pers Penyelenggaraan Ibadah Haji 1446 H / 2025 M yang disiarkan secara daring melalui saluran Youtube Kementerian Agama (Kemenag) RI, Ibu Nyai Badriyah Fayumi selaku Mustasyar Diniy PPIH Arab Saudi menjelaskan fikih haji untuk jemaah perempuan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ibadah Haji Bagi Perempuan

1. Haji dan Umrah sebagai Jihad Perempuan

Haji dan umrah memiliki kedudukan istimewa bagi perempuan dalam Islam. Suatu hari, istri Rasulullah, Aisyah RA, bertanya kepada Nabi Muhammad SAW, "Wahai Rasulullah, para laki-laki bisa berjihad (berperang), bagaimana dengan kami?" Rasulullah SAW menjawab, "Jihad kalian adalah haji dan umrah." (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menunjukkan bahwa haji dan umrah adalah bentuk jihad bagi perempuan. Perjalanan jauh, pengorbanan meninggalkan keluarga, serta menjalani berbagai larangan ihram adalah tantangan tersendiri yang menunjukkan betapa beratnya perjuangan perempuan dalam melaksanakan ibadah ini. Maka sayang sekali jika kesempatan berharga ini tidak dimanfaatkan dengan baik karena kurangnya pemahaman fiqih yang tepat.

ADVERTISEMENT

2. Perbedaan Fisiologis dan Konsekuensi Hukum

Allah SWT menciptakan laki-laki dan perempuan dengan perbedaan fisik dan biologis, termasuk dalam hal reproduksi. Perempuan mengalami haid, nifas, dan melahirkan. Hal-hal ini secara langsung berpengaruh pada pelaksanaan ibadah haji. Misalnya, bagaimana hukum ihram bagi perempuan yang sedang haid? Bolehkah perempuan melakukan tawaf saat haid? Bagaimana jika waktu pulang sudah tiba namun haid belum berhenti?

Pertanyaan-pertanyaan ini menunjukkan pentingnya memahami fikih haji perempuan secara spesifik agar ibadah bisa berjalan sah dan nyaman. Tata cara ihram, larangan khusus perempuan, serta cara menyikapi kondisi darurat seperti haid saat akan tawaf wajib diketahui dan dipahami.

3. Fakta Sosial: Mayoritas Jamaah Haji adalah Perempuan

Data dari Kementerian Agama (Kemenag) RI menunjukkan bahwa lebih dari separuh jamaah haji Indonesia adalah perempuan. Dari sekitar 221.000 jamaah, sekitar 120.000 di antaranya adalah perempuan. Fakta ini menunjukkan urgensi untuk memberikan edukasi dan pendampingan fikih haji yang lebih mendalam kepada jamaah perempuan.

4. Persoalan Praktis dalam Pelaksanaan Haji

Berdasarkan pengalaman para pembimbing haji di lapangan, ada beberapa masalah praktis yang kerap dihadapi jamaah perempuan, terutama berkaitan dengan:

a. Perempuan Haid Saat Ihram

Jika seorang perempuan sudah niat ihram dari tanah air namun dalam kondisi haid, maka ia tetap sah berihram. Namun, ia tidak boleh melakukan tawaf hingga benar-benar suci. Ia tetap menjalani larangan ihram seperti biasa sambil menunggu di hotel. Jika waktu mendesak dan haid belum berhenti, maka niatnya bisa diubah menjadi haji tamattu' agar bisa menyelesaikan manasik hajinya terlebih dahulu, kemudian melakukan umrah setelah suci.

b. Belum Tawaf Wada dan Harus Pulang

Ada kalanya perempuan belum sempat melakukan tawaf Wada karena masih haid dan waktu kepulangan sudah dekat. "Dalam kondisi seperti ini, perempuan tidak dikenai kewajiban mengganti tawaf Wada. Ini adalah bentuk keringanan dari Allah karena haid merupakan kondisi alami yang tidak bisa dihindari," jelas Nyai Badriyah.

c. Penggunaan Pembalut atau Pampers

Dalam kondisi padat dan terbatasnya fasilitas toilet seperti di Mina dan Arafah, disarankan agar jamaah perempuan menggunakan pembalut atau bahkan pampers, meskipun tidak sedang haid. Ini bukan pelanggaran ihram, tapi bentuk kehati-hatian agar tidak terkena najis atau kesulitan saat buang air dalam antrian panjang.

5. Menggunakan Masker Saat Sakit

Dalam kondisi darurat seperti sakit ISPA yang kini banyak menyerang jamaah di Arab Saudi, perempuan boleh menggunakan masker meskipun sedang ihram. Meskipun menutup wajah dalam ihram bagi perempuan hukumnya tidak diperbolehkan, namun dalam kondisi udzur syar'i, penggunaan masker dibolehkan. Sebagai bentuk kehati-hatian, fidyah bisa dibayarkan sebagai kompensasi. Berdasarkan Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 196, fidyah dapat berupa:

  • Puasa tiga hari,
  • Sedekah kepada enam fakir miskin,
  • Menyembelih satu kambing.

Untuk sedekah, bisa berupa makanan matang seharga kurang lebih 60 riyal dan bisa dibagikan kepada petugas kebersihan atau fakir miskin.

6. Etika dan Akhlak saat Ihram

Meskipun di dalam kamar bersama sesama perempuan, tetap disarankan menjaga aurat dengan tidak membuka jilbab atau memperlihatkan bagian tubuh yang tidak layak. Ini bukan sekadar perkara hukum, tapi juga adab dan kehormatan dalam menjalani ibadah suci yang mungkin hanya dilakukan sekali seumur hidup.

Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'an surat An-Nur ayat 60, bahkan perempuan yang sudah lanjut usia dan tidak wajib berhijab pun dianjurkan tetap menjaga kesopanan karena itu lebih baik bagi mereka.

7. Menyempurnakan Ibadah Haji dengan Spiritualitas

Haji bukan hanya ibadah fisik dan harta (maliyah), tapi juga ibadah ruhiyah. Setiap langkah dari miqat menuju Makkah, dari Arafah ke Muzdalifah, dari Mina kembali ke Masjidil Haram adalah perjalanan spiritual yang membutuhkan kesabaran, keikhlasan, dan rasa syukur. Rasa lelah akan hilang jika hati senantiasa terhubung dengan Allah dan yakin bahwa setiap kesulitan akan membawa ganjaran besar.




(dvs/inf)

Hide Ads