Tahlilan 3, 7, 40, 100 Hari Kematian dalam Islam, Seperti Apa Hukumnya?

Tahlilan 3, 7, 40, 100 Hari Kematian dalam Islam, Seperti Apa Hukumnya?

Rahma Harbani - detikHikmah
Jumat, 09 Des 2022 16:15 WIB
Presiden ke enam Susilo Bambang Yudhoyono (tengah) bersama Agus Harimurti Yudhoyono (kanan) dan Edhie Baskoro Yudhoyono (kiri) bersama kabinet Indonesia Bersatu dan warga melakukan doa tahlil di Puri Cikeas, Bogor, Jawa Barat, Jumat (7/6/2019). Doa tahlil tersebut dilakukan secara bersama untuk memperingati tujuh hari meninggalnya Ani Yudhoyono yang meninggal akibat terkena kanker darah pada (1/7) di Singapura. Grandyos Zafna/detikcom
Ilustrasi. Apa hukum tahlilan dalam Islam? (Foto: Grandyoz Zafna/detikcom)
Jakarta -

Tahlilan sudah menjadi bagian yang lekat dengan kebiasaan masyarakat muslim di Indonesia bila ada kerabat yang meninggal dunia. Tahlilan biasanya dilakukan 3, 7, 40, 100 hari selepas kematian seseorang.

Publikasi UIN Jambi dengan tajuk Tradisi Tahlilan: Potret Akulturasi Agama dan Budaya Khas Islam Nusantara mendefinisikan tahlilan sebagai peristiwa dibacakannya ayat Al Quran, kalimat thayyibah, dan doa untuk mayit. Lantas, bagaimana Islam memandang tradisi tahlilan tersebut?

Hukum Tahlilan 3, 7, 40, 100 Hari Kematian dalam Islam

Menurut buku Pengantar Studi Aswaja An-Nahdliyah karangan Muchotob Hamzah, sebetulnya tradisi tahlilan adalah akulturasi atau sinkretisme budaya lokal dengan ajaran agama Islam. Muchotob menjelaskan, hal itu sudah menjadi ibadah ghairu mahdhah yang tidak bisa dipisahkan dari masyarakat Indonesia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tradisi tahlilan juga disebut dalam buku tersebut sebagai implementasi dari kaidah fiqh al'adah muhakkamah ma lam yukhalif al syar'a yang artinya budaya lokal dapat diadopsi menjadi bagian hukum syariah sepanjang budaya dan adat istiadat tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar ajaran Islam.

Tahlilan biasanya diisi dengan bacaan zikir, doa, dan tahlil untuk orang yang sudah meninggal dunia dan dibarengi dengan jamuan makanan sebagai sedekah. Berkenaan dengan hal ini, hukum tahlilan dapat dibenarkan secara syara' juga didukung oleh penjelasan Imam Thawus dalam Kitab al Hawi li al Fatawi li As Syuyuti.

ADVERTISEMENT

"Seorang yang mati akan beroleh ujian dari Allah dalam kuburnya selama tujuh hari. Untuk itu, sebaiknya mereka (yang masih hidup) mengadakan sebuah jamuan makan (sedekah) untuknya selama hari-hari tersebut," tulis Imam Thawus yang diterjemahkan Pustaka Ilmu Sunni Salafiyah - KTB dalam buku Tanya Jawab Islam.

Senada dengan itu, Imam As Suyuthi dalam kitab yang sama juga mengatakan, praktik memberikan sedekah makanan selama tujuh hari juga pernah dilakukan oleh para sahabat. Kebiasaan tersebut dinilai tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat Nabi Muhammad SAW hingga sekarang di Makkah dan Madinah.

"Tradisi itu diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama (masa sahabat Nabi Muhammad SAW)," tulisnya.

Meski demikian, ketentuan hari untuk melakukannya hanya dianggap sebagai bagian dari kebiasaan atau ada menurut Fatwa Sayid Akhmad Dahlan. Jadi, secara syara' tidak ada anjuran waktu pelaksanaannya.

Adapun terkait sampainya pahala tahlil untuk orang yang meninggal dunia pernah disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa.

ﻭﺳﺌﻞ: ﻋﻦ ﻗﺮاءﺓ ﺃﻫﻞ اﻟﻤﻴﺖ ﺗﺼﻞ ﺇﻟﻴﻪ؟ ﻭاﻟﺘﺴﺒﻴﺢ ﻭاﻟﺘﺤﻤﻴﺪ ﻭاﻟﺘﻬﻠﻴﻞ ﻭاﻟﺘﻜﺒﻴﺮ ﺇﺫا ﺃﻫﺪاﻩ ﺇﻟﻰ اﻟﻤﻴﺖ ﻳﺼﻞ ﺇﻟﻴﻪ ﺛﻮاﺑﻬﺎ ﺃﻡ ﻻ؟

Ibnu Taimiyah ditanya tentang bacaan keluarga mayit apakah sampai kepada mayit? Berupa bacaan tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir, jika dihadiahkan kepada mayit apakah pahalanya sampai?

ﻓﺄﺟﺎﺏ: ﻳﺼﻞ ﺇﻟﻰ اﻟﻤﻴﺖ ﻗﺮاءﺓ ﺃﻫﻠﻪ ﻭﺗﺴﺒﻴﺤﻬﻢ ﻭﺗﻜﺒﻴﺮﻫﻢ ﻭﺳﺎﺋﺮ ﺫﻛﺮﻫﻢ ﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺇﺫا ﺃﻫﺪﻭﻩ ﺇﻟﻰ اﻟﻤﻴﺖ ﻭﺻﻞ ﺇﻟﻴﻪ ﻭاﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ.

Ibnu Taimiyah menjawab: "Bacaan keluarga mereka bisa sampai kepada mayit, baik tasbih, takbir dan dzikir mereka karena Allah. Bila mereka menghadiahkan bacaan itu kepada mayit maka akan sampai. Wallahu A'lam."




(rah/lus)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads