Saat Haji Jalur Laut Memakan Waktu 6 Bulan Perjalanan

Saat Haji Jalur Laut Memakan Waktu 6 Bulan Perjalanan

Kristina - detikHikmah
Senin, 14 Jul 2025 19:30 WIB
Berhaji dengan Kapal Laut
Berhaji dengan kapal laut. Foto: Repro
Jakarta -

Wacana haji lewat jalur laut mencuat belakangan ini meski disebut belum ada pembahasan resmi pemerintah. Dalam sejarah perhajian Indonesia, jalur laut adalah jalur yang pertama kali digunakan sebelum era pesawat terbang.

Perjalanan haji lewat jalur laut berlangsung jauh sebelum Indonesia merdeka, tepatnya era Hindia Belanda dan sebelumnya. Wilayah Indonesia saat itu masih dikenal dengan Nusantara. Jalur laut juga masih digunakan setelah Indonesia merdeka hingga 1974, menurut arsip data statistik haji tahun 1949-2014 yang diterbitkan Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama RI.

Sejarah mencatat, pemerintah Hindia Belanda menerapkan sejumlah kebijakan terkait transportasi haji. Berdasarkan penelitian Fauzan Baihaqi yang diterbitkan dalam buku Penyelenggaraan Ibadah Haji Hindia Belanda sejak Liberalisasi hingga Depresi Ekonomi, dinamika kebijakan haji tak lepas dari faktor ekonomi pelayaran dan perdagangan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sarana transportasi yang digunakan pada masa itu adalah kapal layar yang kemudian bergeser ke kapal uap dan kapal motor. Perjalanan haji jemaah Nusantara sejak abad pertengahan lewat pelabuhan di Aceh. Di sanalah, jemaah akan naik kapal ke India, berlayar ke Hadramaut atau Pelabuhan Aden, dan berakhir di Pelabuhan Jeddah. Perjalanan memakan waktu enam bulan bahkan lebih.

Baru pada abad ke-18, jemaah haji Nusantara mulai menggunakan pelabuhan di pesisir-pesisir Jawa untuk ke Jeddah. Belum ada kapal khusus haji, melainkan kapal dagang. Jemaah yang naik kapal ini akan transit di Pelabuhan Aden.

ADVERTISEMENT

Setelah munculnya bandar dagang VOC Belanda, banyak kapal dari Arab, China, dan Eropa berlalu-lalang di Batavia. Beberapa kapal menjadi 'tebengan' calon jemaah haji Nusantara.

Jumlah calon jemaah haji di Jawa naik cukup signifikan memasuki abad ke-19. Hal tersebut membuat Gubernur Jendral Hindia Belanda mengeluarkan aturan syarat administratif. Calon jemaah haji wajib punya surat jalan (reispass) yang bisa dipesan lewat kantor bupati. Biayanya disebut cukup mahal untuk ukuran saat itu.

Era tersebut juga menjadi kali pertama penggunaan kapal khusus angkutan jemaah haji berupa kapal layar milik saudagar Arab. Sejumlah saudagar Arab diketahui membuka biro perjalanan haji sejak pertengahan abad ke-19.

Kapal layar dari Nusantara sekitar tahun 1850-an mengangkut 200-250 calon jemaah haji menuju Pelabuhan Jeddah sebelum menuju Makkah.

Dalam perkembangannya, orang-orang Inggris dan Arab lainnya tergiur membuka bisnis angkutan haji melihat peningkatan jemaah dari Batavia yang signifikan. Pada 1858, sebuah kapal uap Inggris membuka layanan pelayaran jemaah haji via Batavia.

Transportasi jemaah haji pun bergeser. Kapal layar tak lagi eksis karena memakan waktu lama, digantikan kapal uap. Terlebih sejak dibukanya Terusan Suez pada 1869. Tiga tahun kemudian, pemerintah Belanda membuka kantor konsulat haji di Jeddah untuk memantau jemaah Hindia Belanda.

Kapal-kapal jemaah haji menyediakan layanan cukup lengkap. Mulai dari konsumsi hingga layanan kesehatan.

Pascakemerdekaan, penyelenggaraan ibadah haji Indonesia berada di bawah Departemen Agama Republik Indonesia. Pemberangkatan dan pemulangan jemaah haji masih menggunakan jalur laut. Transportasi udara baru digunakan pada 1952 dan transportasi laut terakhir beroperasi pada 1974 dengan membawa 6.578 jemaah haji.




(kri/erd)

Hide Ads