Mabit di Muzdalifah termasuk wajib haji, jemaah harus berdiam diri selama beberapa waktu. Namun, ada skema baru yang membuat jemaah bisa berhaji tanpa mabit di Muzdalifah.
Melansir laman Kementerian Agama RI (Kemenag) dijelaskan bahwa jemaah haji yang murur (melintas) Muzdalifah tetap sah meskipun tanpa mabit atau bermalam. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Musyawarah Pengurus Besar Harian Syuriyah Nahdlatul Ulama, Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan hasil sidang Dewan Hisbah Pimpinan Pusat Persatuan Islam (Persis).
Skema Murur Tanpa Mabit di Muzdalifah
Hasil Musyawarah Pengurus Besar Harian Syuriyah Nahdlatul Ulama
Jemaah haji yang murur tanpa mabit di Muzdalifah hukum ibadahnya tetap sah asalkan mengikuti skema khusus.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Musyawarah Pengurus Besar Harian Syuriyah memutuskan bahwa Mabit di Muzdalifah secara murur hukumnya sah jika murur di Muzdalifah tersebut melewati tengah malam tanggal 10 Dzulhijjah, karena mencukupi syarat mengikuti pendapat wajib mabit di Muzdalifah," demikian dikutip dari Lampiran Keputusan Pengurus Besar Harian Syuriyah NU, Jumat (31/5/2024).
Mabit di Muzdalifah dengan cara murur adalah mabit yang dilakukan dengan cara melintas di Muzdalifah, setelah menjalani wukuf di Arafah. Jemaah saat melewati kawasan Muzdalifah tetap berada di atas bus (tidak turun dari kendaraan), lalu bus langsung membawa mereka menuju tenda Mina.
Dalam musyawarah ini juga dijelaskan mabit di Muzdalifah secara murur tersebut belum melewati tengah malam tanggal 10 Dzulhijjah, maka dapat mengikuti pendapat bahwa mabit di Muzdalifah hukumnya sunnah.
Musyawarah Pengurus Besar Harian Syuriyah Nahdlatul Ulama juga memutuskan bahwa kepadatan jemaah di area Muzdalifah dapat dijadikan alasan kuat sebagai uzur untuk dapat meninggalkan mabit di Muzdalifah, sehingga hajinya sah dan tidak terkena kewajiban membayar dam. Sebab, kondisi jemaah yang berdesakan berpotensi menimbulkan mudharat/masyaqoh dan mengancam keselamatan jiwa jamaah.
Hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia MUI
Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan panduan haji di Muzdalifah, salah satunya murur (melintas di Muzdalifah) tanpa turun kendaraan. Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia MUI memfatwakan murur bagi sebagian jamaah haji tanpa turun kendaraan.
Fatwa terkait murur ini dijelaskan Ketua Bidang Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh sebagai salah satu Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia MUI adalah fiqih perhajian.
Ia menjelaskan, jamaah haji dianggap telah melaksanakan mabit jika melaksanakan murur di Muzdalifah selepas tengah malam dengan cara melewati dan berhenti sejenak tanpa turun dari kendaraan di kawasan Muzdalifah.
Jika murur atau berhenti sejenak di Muzdalifah yang dilakukan sebelum tengah malam, maka mabit-nya di Muzdalifah tidak sah. Jamaah wajib membayar dam karena mabit dengan cara berhenti atau murur di Muzdalifah adalah salah satu wajib haji.
Adapun dalam kondisi uzur syar'i, salah satunya keterlambatan perjalanan dari Arafah menuju Muzdalifah hingga tidak menemui waktu mabit di Muzdalifah, jamaah haji tidak wajib membayar dam.
Hasil Sidang Dewan Hisbah Persis
Dewan Hisbah Pimpinan Pusat Persatuan Islam (Persis) menggelar Sidang Terbatas di Bandung, 1 Juni 2024. Dalam sidang ini membahas tentang persoalan jemaah haji yang tidak dapat mabit di Muzdalifah pada malam ke-10 Zulhijjah melainkan hanya lewat (murur) dan jemaah tidak dapat mabit di Mina pada malam-malam Tasyrik karena keterbatasan lahan dan akomodasi.
Sebagaimana dikabarkan Kemenag, sidang terbatas ini menghasilkan sejumlah keputusan. Ketua Umum Pimpinan Pusat Persatuan Islam (Persis) Al Ustadz Dr. KH. Jeje Zaenudin menyampaikan, dalam hal persoalan murur, Dewan Hisbah PP Persis, menyepakati untuk mempertegas keputusan tahun 1994 yang menyatakan bahwa mabit di Muzdalifah adalah wajib, sehingga jika tidak dilaksanakan dengan sengaja hajinya berakibat tidak sempurna.
"Adapun jika jemaah tidak dapat melaksanakan mabit secara sempurna di Muzdalifah melainkan hanya singgah sejenak untuk berdzikir dan doa, atau hanya bisa lewat saja di kendaraan tanpa bisa turun dan singgah karena padatnya tempat atau ada alasan lain yang tidak bisa dihindarkan, maka itu kategori masyaqqoh yang menyebabkan boleh ia melakukannya dan tanpa ada kewajiban kafarah atau dam dan hajinya tetap sah," jelas Ustaz Jeje kepada Media Center Haji (MCH), Minggu (2/6/2024).
(dvs/lus)
Komentar Terbanyak
Sosok Ulama Iran yang Tawarkan Rp 18,5 M untuk Membunuh Trump
Daftar 50 SMA Terbaik di Indonesia, 9 di Antaranya Madrasah Aliyah Negeri
Laki-laki yang Tidak Sholat Jumat, Bagaimana Hukumnya?