Tak cuma sederhana dalam penampilan, tutur kata, sikap, dan perilakunya pun demikian. Juga tidak ngoyo atau terkesan ambisius dan lebih mengedepankan empati. Setidaknya begitulah kesan yang kami tangkap dari sosok Alizar selama kurang lebih sepekan bergaul di Madinah.
Ketika para jemaah lain begitu antusias berupaya untuk bisa kembali masuk ke Raudhah, lalu terlihat masygul dan gelisah ketika berkali-kali gagal untuk mendaftar melalui aplikasi Nusuk dan Tawakkalna, dia anteng-anteng saja. Saat detikHikmah menanyakan ikhwal sikapnya seperti itu, jawabannya sungguh mengejutkan.
Ia mengaku tak enak hati dengan ribuan jemaah lain yang antre berjam-jam di bawah terik matahari demi bisa masuk Raudhah. Alizar sepertinya berprinsip tak ingin berlebih-lebihan dalam segala hal, termasuk dalam ibadah bila itu di ruang publik. "Kalau saya tak ikut kan setidaknya antrean berkurang satu. Biarlah mereka menjadi prioritas," kata lelaki kelahiran Solok, Sumatera Barat, 3 Juli 1971 itu kalem.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terlahir dari pasangan petani, Amran dan Yulidar, di sebuah desa di Solok, Alizar mengaku punya prinsip serba mengalir dalam melakoni peran kehidupan. Ketika lulus SMP lalu memilih SMEA, bukan karena ingin menjadi ahli ekonomi tapi semata-mata karena jaraknya terdekat dari rumah. "Biar irit ongkos dan hemat waktu," ujarnya tersenyum.
Alasan serupa juga yang mendasari sulung dari 9 bersaudara itu saat memilih IKIP Padang melalui Sipenmaru (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Alasan tambahannya, "Ya, yang penting saya bisa kuliah agar bisa jadi PNS untuk mengangkat derajat keluarga."
Dengan menjadi PNS, Alizar berharap sapi ibunya yang dijual seharga Rp 1,4 juta bisa dia tebus kembali. Juga dapat membantu membiayai sekolah adik-adiknya. Nyatanya selepas dari IKIP dengan IPK 2,75 pada 1995 Alizar berkali-kali gagal mengikuti tes PNS. Akhirnya dia memutuskan merantau ke Jawa, menyambangi kerabatnya di Ambarawa yang punya toko pakaian.
Selama dua bulan suami Dariati itu menjajakan pakaian untuk anak-anak dari kota ke kota di Jawa Tengah. Salatiga, Boyolali, dan Temanggung adalah wilayah jajahannya sebagai pedagang kaki lima (PKL). Barang dagangannya dia beli dari Pasar Johar, Semarang.
![]() |
Di tengah lakon sebagai PKL, seorang teman yang menjadi guru di Pulau Seribu, Jakarta mengajaknya bergabung. Sebagai alumnus IKIP, Alizar pun tergoda. Namun setelah melihat lokasi dan tahu gajinya tak seberapa dia memutuskan untuk kembali menjadi pedagang. Saat singgah ke kediaman tantenya di Pondok Gede, dia berjumpa dengan tetangganya di Solok yang punya konveksi pakaian dalam wanita. Selama tiga bulan Arizal ikut menjajakannya.
Hokinya sebagai PKL mulai terbangun ketika dia menemukan produk sejenis dengan kualitas lebih baik dan harga bersaing. Mereknya Cendana. Dengan modal Rp 650 ribu dia membeli pakaian dalam tersebut dari grosir di Jatinegara.
"Namanya Pak Suasli, dia orang Padang juga. Saya beli cash dari tabungan dan menjualnya ke pasar di Jabodetabek hingga Sukabumi," tuturnya.
Sukses tersebut awalnya membuat ibundanya masygul. Sang Bunda menjual sapi guna membiayai kuliah Arizal karena untuk jadi PNS yang bisa mengangkat derajat dan kehormatan keluarga. Namun dengan caranya ia berusaha menjelaskan bahwa secara ekonomi menjadi pedagang bisa membuat keluarga lebih sejahtera ketimbang jadi PNS. "Tiap hari saya bisa jual 100 lusin celana dalam, kaos BH, dan lainnya," ujar Arizal.
Ketika krisis ekonomi dan moneter menerjang pada 1997-1998, dia justru meraup cuan lebih besar. Sebab dia punya stok barang cukup banyak yang dibelinya setiap kali dapat cuan. Seiring dengan itu, Arizal hijrah dari Kampung Melayu ke kontrakan yang lebih besar di Jalan Asem Baris, Tebet.
Kesuksesannya itu membuat adik-adiknya satu persatu ikut merantau bersamanya di Jakarta. Mulai 2004, adik-adiknya disebar untuk membantu mengelola kios di PGC, ITC Depok, Tamini Square, Bekasi, Blok M. Square, dan di Tanah Abang. Dia sendiri mengelola langsung beberapa kios di Thamrin City sejak 2015. "Total saya punya 16 kios," ujar Alizar.
Dari hasil keuntungan berjualan pakaian dalam tersebut, Alizar dapat membelikan adik-adiknya rumah. Memberangkatkan orang tua dan mertuanya untuk berhaji dan umrah.
Namun ujian besar harus dihadapinya ketika pandemi COVID-19 melanda. Kebijakan pemerintah yang membatasi aktivitas warga membuat dia rugi miliaran rupiah. Beberapa kios terpaksa harus tutup sementara, atau menegosiasi ulang terkait cicilan dan sewanya.
Pascapandemi tantangan baru muncul lewat berbagai aplikasi belanja online. Ayah 5 anak itu kembali harus melakukan adaptasi untuk bisa mempertahankan usahanya. Toh begitu, ibadah haji yang dilakukan saat ini semata-mata demi menggenapi rukun Islam. Sebab proses pendaftaran telah dilakukan sejak 2019 via Maktour.
Dia memilih biro ini bukan untuk gaya-gayaan, tapi karena merujuk informasi dari sejumlah temannya. "Saya pernah dikecewakan dengan pelayanan biro haji lain, makanya sekarang pilih Maktour saja dan Alhamdulillah sejauh ini pelayanannya memang terbukti baik," ujar Alizar.
(jat/kri)
Komentar Terbanyak
Ustaz Khalid Basalamah Buka Suara Usai Dipanggil KPK
OKI Gelar Sesi Darurat Permintaan Iran soal Serangan Israel
Iran-Israel Memanas, PBNU Minta Kekuatan Besar Dunia Tak Ikut Campur