Cara Haji Manakah yang Harus Membayar Dam?

Cara Haji Manakah yang Harus Membayar Dam?

Nilam Isneni - detikHikmah
Senin, 05 Jun 2023 10:15 WIB
Muslim pilgrims are revolving around Kaaba in Mecca Saudi Arabia.
Ilustrasi cara haji yang harus membayar dam. Foto: Getty Images/iStockphoto/Aviator70
Jakarta -

Dalam melaksanakan ibadah haji terdapat tiga cara pelaksanaannya yaitu Ifrad, Qiran, dan Tamattu. Dua di antaranya mengharuskan jemaah untuk membayar dam.

Haji merupakan salah satu rukun Islam yang ke-5 dan merupakan salah satu ibadah yang diwajibkan dalam agama.

Mayoritas ulama, termasuk Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, mengatakan bahwa haji disyariatkan pada tahun ke-9 Hijriah, sebagaimana dikatakan Saleh bin Al-Fauzan dalam Kitab Ringkasan Fiqih Islam.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ada pendapat lain dari jumhur yang menyebut bahwa ibadah haji diwajibkan pada tahun ke-6 H. Hal tersebut sebagaimana dijelaskan dalam Kitab Al-Wajiz fi Fiqh As-Sunnah Sayyid Sabiq karya Syaikh Sulaiman Yahya al-Faifi.

Keutamaan melaksanakan ibadah haji ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA. "Rasulullah SAW ditanya, 'Amalan apakah yang paling utama?' Beliau menjawab. 'Iman kepada Allah dan Rasul-Nya.' Kemudian ditanya lagi. 'Lalu apa lagi?' Beliau menjawab, 'Kemudian jihad di jalan Allah SWT.' Kemudian ditanya lagi, 'Lalu apalagi?' Beliau menjawab, 'Kemudian Haji mabrur'." (Muttafaq 'Alaih)

ADVERTISEMENT

Diriwayatkan pula oleh Aisyah RA, bahwa dia berkata, "Wahai Rasulullah, menurut kami jihad adalah sebaik-baiknya amal. Apakah kami harus berjihad?" Beliau menjawab, "Akan tetapi sebaik-baik jihad (bagi kalian) adalah haji mabrur." (HR Al-Bukhari dan Muslim)

Tidak hanya itu, dengan melaksanakan haji juga dapat menghapus dosa, hal ini diriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda,

مَنْ حَج فَلَمْ يَرْقُتُ وَلَمْ يَفْسُقُ رَجَعَ كَيَوْم وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

Artinya: "Siapa yang melaksanakan haji, sedang dia tidak berbuat keji dan kefasikan, maka ia pulang (kembali dalam keadaan terampuni dosanya) seperti saat baru dilahirkan oleh ibunya." (HR Bukhari dan Muslim)

Mengenai cara melaksanakan haji terdapat tiga jenis yaitu Qiran, Tamattu, dan Ifrad. Para ulama sepakat boleh melaksanakan salah satu dari ketiga jenis tersebut.

Haji Qiran adalah meniatkan ihram untuk haji dan umrah secara bersamaan. Sedangkan, haji Tamattu merupakan berumrah pada bulan-bulan haji kemudian menyempurnakan haji pada tahun di mana dia telah berumrah di tahun tersebut.

Adapun, haji Ifrad adalah berihram bagi orang yang ingin berhaji dan setelah itu berihram untuk umrah lalu mengerjakan amalan umrah. Demikian menurut kesepakatan ulama sebagaimana dijelaskan Muhammad Jawad Mughniyah dalam Kitab al-Fiqh 'ala al-madzahib al-khamsah.

Lantas, cara haji manakah yang harus membayarkan dam?

Merujuk dari Kitab Fiqhul Islam wa Adillatuhu Juz 3 karya Wahbah az-Zuhaili, para ulama sepakat bahwa pelaksanaan haji Tamattu' dan Qiran harus membayarkan dam atau menyembelih hadyu (hewan kurban) jika mereka berihram haji, sebab Allah SWT berfirman

وَاَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلّٰهِ ۗ فَاِنْ اُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِۚ

Artinya: "Sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Akan tetapi, jika kamu terkepung (oleh musuh), (sembelihlah) hadyu...." (QS Al-Baqarah: 196)

Bentuk dari membayar dam bagi haji Tamattu' dan Qiran adalah dam syukur. Menurut mazhab Syafi'i dam Tamattu menjadi gugur apabila dia kembali ke miqat untuk mengerjakan ihram haji dari sana.

Mazhab Syafi'i juga berpendapat, yang paling afdhal adalah menyembelih pada hari Kurban, karena demikian itu dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Akan tetapi, terang Wahbah az-Zuhaili, waktu wajibnya penyembelihan adalah waktu ihram haji, sebab pada saat itulah pelaksana haji mendapat status sebagai mutamatti' (pelaksana tamattu') dan menurut pendapat paling shahih, penyembelihan boleh dilaksanakan setelah selesai umrah.

Apabila dia tidak mampu menyembelih hewan kurban dia wajib berpuasa. Mazhab Syafi'i menjelaskan bahwa dianjurkan untuk melaksanakan puasa tiga hari pada musim haji dan batas akhirnya pada hari Arafah, kemudian melanjutkannya tujuh hari ketika telah pulang di kampung halaman.

Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW

فَمَنْ لَمْ يَجِدْ هَدْيَا فَلْيَصُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فِي الْحَقِّ وَسَؚْعَةٌ إِذَا رَجَعَ إِلَى أَهْلِهِ

Artinya: "Barang siapa tidak sanggup berkurban, hendaknya dia berpuasa tiga hari pada musim haji dan tujuh hari setelah pulang ke keluarganya." (HR Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar)

Dijelaskan lebih lanjut, jika puasa tiga hari tidak terlaksana pada musim haji, maka (menurut pendapat yang paling kuat) dia harus mengqadhanya sebab ini adalah puasa yang dibatasi waktunya sama seperti puasa Ramadan.




(kri/kri)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads