Belenggu Kekakuan Regulasi, Hingga Kapan Wakaf Mati Suri?

Kolom Hikmah

Belenggu Kekakuan Regulasi, Hingga Kapan Wakaf Mati Suri?

Rindawati Maulina, Penulis Kolom - detikHikmah
Jumat, 05 Des 2025 20:00 WIB
Belenggu Kekakuan Regulasi, Hingga Kapan Wakaf Mati Suri?
Penulis kolom, Rindawati Maulina selaku Analis Bank Indonesia (BI) (Foto: Dok Pribadi)
Jakarta -

Potensi wakaf uang Indonesia yang mencapai hampir Rp 200T sudah sering kita dengar. Tapi pada realitanya, wakaf yang dapat terkumpul belum juga bisa melampaui 2% dari total estimasinya. Meskipun geliat wakaf produktif secara nasional dalam beberapa tahun belakangan juga semakin meriah, sayangnya masih terkendala salah satunya oleh regulasi yang dirasa belum cukup adaptif. Padahal untuk mengoptimalkan potensi wakaf uang memerlukan dukungan yang kuat dari aspek perundang-undangan, peraturan, juga kelembagaan yang kredibel. Lalu mengapa hambatan ini seperti sulit diatasi dan bagaimana solusi yang tepat untuk mengurainya?

Pembelajaran Historis Wakaf: Terjaga Nilainya dan Semakin Produktif

Sahabat Umar bin Khattab RA telah mencontohkan profesionalisme yang tinggi dalam mengelola tanah wakaf Khaibar setelah mendapatkan perintah dari Nabi Muhammad SAW. Umar pun berhasil meningkatkan nilai wakaf yang semula hanya berupa tanah menjadi aset ekonomi yang dapat menebarkan manfaat luas bagi penerimanya (mauquf alaih). Setelah Rasulullah SAW dan Umar bin Khattab RA mempraktikkan wakaf, maka banyak sahabat lain yang mengikuti keteladanan mereka. Abu Thalhah RA mewakafkan kebun kesayangannya. Abu Bakar RA, Utsman RA, Ali bin Abi Thalib RA, dan sahabat lainnya juga turut berkontribusi dengan mewakafkan berbagai jenis harta benda kesayangannya, mulai dari tanah, kebun, sumur, hingga rumah tinggalnya.

Praktik wakaf yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat, sebenarnya merupakan landasan kuat bagi pengembangan model wakaf yang berorientasi pada produktivitas dan ekonomi umat yang berkelanjutan. Pengelolaan aset wakaf dengan tujuan menghasilkan nilai tambah atau saat ini populer disebut dengan 'wakaf produktif', bukan hanya menjaga keberlangsungan pokok harta, tetapi juga berupaya mengembangkan potensi aset tersebut agar memberikan manfaat yang lebih luas dan berkesinambungan bagi umat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Peradaban ekonomi yang terbentuk dari wakaf juga diperlihatkan di masa pemerintahan Dinasti Umayyah (661-750 M) dan Abbasiyah (750-1258 M) dengan wilayah kekuasaan Islam meluas hingga Afrika Utara, Spanyol, dan sebagian wilayah Asia Tengah. Semangat berwakaf kaum Muslim di zaman ini sangat tinggi. Wakaf tidak hanya terbatas pada sedekah untuk orang miskin, tetapi juga digunakan untuk membangun lembaga pendidikan, perpustakaan, dan memberikan dukungan finansial bagi para pendidik dan pelajar. Selama masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah, praktik wakaf di berbagai negara juga semakin berkembang. Di Mesir, di bawah kepemimpinan Hakim Taubah, lembaga wakaf pertama kali dibentuk dan dikelola secara profesional. Lembaga ini bertanggung jawab mengelola harta wakaf dan menyalurkannya kepada yang berhak.

Berlanjut ke masa dinasti Mamluk (1250-1517 M), praktik wakaf mengalami perkembangan pesat dan memberikan kontribusi signifikan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat sehingga wakaf mencapai puncak kejayaannya. Pemerintah Mamluk juga mengeluarkan undang-undang yang mengatur pengelolaan wakaf secara lebih sistematis. Masa pemerintahan Dinasti Utsmani, yang berlangsung selama lebih dari enam abad (1299-1922 M), melanjutkan tradisi wakaf yang telah dibangun oleh dinasti-dinasti sebelumnya. Mereka mengeluarkan berbagai undang-undang untuk mengatur pengelolaan wakaf, termasuk mengenai pencatatan, sertifikasi, dan cara pengelolaan harta wakaf.

ADVERTISEMENT

Menggeser Paradigma Wakaf: Lebih Dari Sekedar Instrumen Keagamaan

Meskipun praktek wakaf pertama kali telah dilaksanakan dan dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabat, sayangnya masih banyak umat Muslim, termasuk di Indonesia belum memahami tentang konsep wakaf dan implementasinya. Banyak dari umat Muslim masih memahami wakaf hanya untuk tujuan penyelenggaraan ritual keagamaan seperti pendirian masjid dan musholla dari tanah wakaf. Padahal, berbagai masalah ekonomi dan sosial umat Muslim dari masa ke masa telah terbukti dapat diselesaikan dengan pemberdayaan harta wakaf.

Di Indonesia, dengan perkembangan sektor keuangan Islam yang dalam beberapa dekade terakhir menunjukkan pertumbuhan yang mengesankan, pada tahun 2023 lalu pemerintah telah membuka ruang bagi perbankan syariah untuk berperan sebagai nazhir (pengelola) wakaf uang. Sebelumnya, perbankan syariah hanya mendapatkan izin sebagai Lembaga Keuangan Syariah Pengumpul Wakaf Uang (LKSPWU). Pengesahan undang-undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) di Indonesia akan membuka peluang besar bagi aktor lembaga keuangan seperti bank syariah untuk mengoptimalkan potensi berbagai aset wakaf.

Di sisi lain, jika menilik dari peraturan perundangan wakaf di Indonesia yang ada saat ini, banyak pihak menilai belum cukup mendukung bagi terbentuknya ekosistem wakaf yang berorientasi investasi. Padahal, kepastian hukum untuk berbagai kepentingan pelaku wakaf, yaitu antara lain benda atau harta wakaf, wakif (pendonor wakaf), nazhir, hingga mauquf'alaih (penerima manfaat wakaf) sangat diperlukan dan tercantum secara eksplisit di dalam peraturan perundangan yang akan diberlakukan. Sementara itu inovasi wakaf semakin berkembang menyesuaikan kebutuhan zaman sehingga memerlukan sebuah "pagar" peraturan dan pengawasan yang lebih akomodatif. Peran regulasi bukan justru memberikan efek "bottleneck" namun memberikan fleksibilitas yang akuntabel dalam membangun ekosistem wakaf "beyond" sebagai sebuah instrumen keagamaan.

Mengurai Kebuntuan: Tiga Kunci Memacu Potensi Wakaf

Minimal tiga kondisi dapat menjadi kunci dan kritikal untuk muncul di dalam perundangan wakaf ke depan sehingga dapat mendukung akselerasi modernisasi wakaf:

1. Optimalisasi Wakaf dalam Kolaborasi, Bukan Kompetisi

Indonesia memperoleh predikat negara paling dermawan selama tujuh tahun berturut-turut. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sebagai pemeluk agama Islam terbanyak telah cukup patuh menunaikan perintah Tuhan untuk berbuat baik kepada sesama. Karakteristik ini semestinya tidak dimanfaatkan untuk kompetisi dalam pengumpulan dananya saja, tapi alangkah bijaknya jika turut memikirkan hak dari wakif yang telah secara ikhlas berkontribusi dan hak mauquf'alaih sebagai pihak penerima manfaat wakaf. Dari sisi nazhir sebagai pengelola, wakaf yang merupakan salah satu instrumen sedekah yang dikategorikan sunnah, tidak wajib bagi seorang Muslim sebagaimana perintah dalam menunaikan zakat, justru harus dipandang sebagai amanah yang harus disertai dengan kapasitas dan kemampuan dalam berinovasi untuk pengembangan lebih lanjut.

Kolaborasi yang kuat antara wakif, nazhir, regulator wakaf, dan masyarakat akan mendorong ekosistem wakaf yang jauh lebih kuat sehingga dapat mendukung kesejahteraan sosial yang berkelanjutan. Keberhasilan negara-negara Muslim seperti Arab Saudi dan Mesir untuk mengelola wakaf produktif, sehingga mengurangi beban anggaran negara dan mendorong terciptanya ekosistem wakaf, dapat menjadi contoh penerapan model bisnis berbasis wakaf. Berbagai kebijakan yang ditempuh oleh negara lain menjadi pengalaman yang berharga dalam mengatasi tantangan yang akan dihadapi di masa yang akan datang. Regulasi wakaf yang akan diberlakukan seharusnya bukan melulu tentang bagi-bagi porsi kewenangan akan tetapi bagaimana bersama-sama menciptakan regulatory environment yang suportif, sehat, berdaya tahan dan berkelanjutan.

2. Penciptaan Ekosistem Wakaf Menuju Peradaban Islam yang Berkelanjutan

Wakaf membutuhkan ekosistem dan para aktor di dalamnya yang tidak sekadar memiliki mindset "mem-peti-es-kan" harta wakaf. Prinsip dasar wakaf seperti tidak bisa dihibahkan atau dijual juga krusial, namun lebih dari itu harus dapat membuat wakaf menjadi lebih bermakna dengan cara menghidupkan praktek-praktek ekonomi kreatif dan produktif. Pengelolaan wakaf yang berdaya saing pada gilirannya bukan hanya memberikan nazhir keuntungan finansial, namun juga memberikan penguatan bagi mauquf'alaih serta perekonomian nasional di masa depan. Penggabungan antara nilai-nilai syariah dengan praktik bisnis modern wakaf tidak hanya menawarkan paradigma baru dalam ekonomi umat tapi juga akan mendorong implementasi nyata wakaf dalam bentuk peradaban baru yang bertanggung jawab dan berkelanjutan.

3. Perwujudan Kelembagaan Profesional dan Berkapasitas Global

Wakaf telah terbukti sukses dalam pembangunan ekonomi dan sosial di masa kejayaan Islam, terutama pada masa Turki Utsmani. Sebuah lessons learned dari keberhasilan ini yaitu wakaf tidak hanya dipengaruhi oleh faktor sumber daya manusia (SDM) namun juga oleh perundangan dan kelembagaan yang memayungi pengelolaannya. Optimalisasi wakaf agar sejalan dengan cita-cita mulia bangsa yang tercantum dalam RPJMN 2025-2030 dapat dicapai salah satu kuncinya yaitu melalui kehadiran sebuah lembaga profesional. Lembaga yang bukan sekadar mengelola dana secara efektif dan efisien, tapi juga dapat memastikan keterhubungan secara langsung maupun tidak langsung dengan prioritas pembangunan nasional serta memiliki kapasitas sekaligus kompetensi menarik potensi wakaf global.

Pembentukan lembaga ini idealnya juga harus dapat memenuhi kepatuhan pada prinsip fikih dan peraturan yang berlaku, serta memiliki dampak yang luas secara ekonomi bagi umat, namun tetap memperhatikan aspek risiko pengelolaan investasi berbasis dana umat. Kehadiran sebuah lembaga pengelolaan investasi dana wakaf diharapkan menjadi cermin dan benchmarking pengelolaan wakaf nasional yang profesional, terstruktur, transparan, dan akuntabel. Hal ini pada gilirannya akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap pengelolaan wakaf, yang dapat mendorong partisipasi masyarakat luas dalam berwakaf, bukan hanya dari domestik namun juga dari global.
Wakaf produktif di Indonesia yang kini tengah "mati suri" niscaya terbangun semakin kuat membentuk peradaban umat yang sesuai dengan harapan kita bersama. Menjalankan minimal tiga kunci di atas InsyaaAllah menuntun lebih tepat langkah kita menuju pintu gerbang keemasan Indonesia yang sudah makin dekat. Wallahu'alam bishawab.

Tulisan ini merupakan opini pribadi dan tidak mewakili pandangan/kebijakan instansi.

Rindawati Maulina

Penulis adalah Analis Bank Indonesia (BI).

Artikel ini adalah kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terima kasih - Redaksi)




(aeb/aeb)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads