Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa Prof Asrorun Niam Sholeh menerima kedatangan Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto S.E., Ak., M.B.A., Ph.D. Pertemuan bertujuan untuk mendiskusikan skema pajak berkeadilan yang telah dilaksanakan pemerintah dan penyampaian Fatwa MUI tentang Pajak Berkeadilan.
Sebagaimana diketahui, fatwa tentang Pajak Berkeadilan ditetapkan sebagai respons atas keresahan masyarakat terkait kenaikan pajak bumi dan bangunan (PBB) yang dinilai tidak adil. Fatwa tersebut ditetapkan dalam forum Musyawarah Nasional XI pada 22 November 2025 lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam pertemuan MUI dengan Dirjen Pajak itu, diskusi berlangsung sangat produktif. Terdapat kesamaan pandang tentang pentingnya pajak sebagai salah satu instrumen sumber pendapatan negara bagi perwujudan kesejahteraan rakyat. Pemungutan pajak dinilai harus sejalan dengan prinsip keadilan.
Melalui keterangan yang diterima detikHikmah pada Jumat (28/11/2025), diskusi berlangsung sejak pukul 16.40 hingga 18.00 WIB. Pertemuan sore itu juga menyepakati pembentukan task force untuk menindaklanjuti fatwa tersebut demi perbaikan sistem perpajakan nasional yang berkeadilan, termasuk mendorong pengenaan pajak bagi pihak yang menguasai kekayaan besar dengan pajak yang besar pula.
Turut hadir dalam diskusi sore ini Sekjen MUI Amirsyah Tambunan, Ketua Bidang Komdigi Masduki Baidlowi, Ketua Bidang Hukum Wahidudin Adams serta Pimpinan Komisi Fatwa MUI Prof Abdurrahman Dahlan dan KH Miftahul Huda, Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak Sigit Danang Joyo, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Rosmauli, Direktur Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur Belis Siswanto, Direktur Transformasi Proses Bisnis Imam Arifin, dan Direktur Peraturan Perpajakan II Heri Kuswanto.
Bunyi Fatwa MUI tentang Pajak Berkeadilan
Ketentuan Hukum:
1. Negara wajib dan bertanggung jawab mengelola dan memanfaatkan seluruh kekayaan negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
2. Dalam hal kekayaan negara tidak cukup untuk membiayai kebutuhan negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat maka negara boleh memungut pajak dari rakyat dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pajak penghasilan hanya dikenakan kepada warga negara yang memiliki kemampuan secara finansial yang secara syariat minimal setara dengan nishab zakat mal yaitu 85 gram emas.
b. Objek pajak dikenakan hanya kepada harta yang potensial untuk diproduktifkan dan / atau merupakan kebutuhan sekunder dan tersier(hajiyat dan tahsiniyat).
c. Pajak digunakan untuk kepentingan masyarakat yang membutuhkan dan kepentingan publik secara luas.
d. Penetapan pajak harus berdasar pada prinsip keadilan.
e. Pengelolaan pajak harus amanah dan transparan serta berorientasi pada kemaslahatan umum ('ammah).
3. Pajak yang dibayarkan oleh wajib pajak, secara syar'i merupakan milik rakyat yang pengelolaannya diamanahkan kepada pemerintah (ulil amri), oleh karena itu pemerintah wajib mengelola harta pajak dengan prinsip amanah yaitu jujur, profesional, transparan, akuntabel dan berkeadilan.
4. Barang yang menjadi kebutuhan primer masyarakat (dharuriyat) tidak boleh dibebani pajak secara berulang (double tax).
5. Barang konsumtif yang merupakan kebutuhan primer, khususnya sembako (sembilan bahan pokok), tidak boleh dibebani pajak.
6. Bumi dan bangunan yang dihuni (non komersial) tidak boleh dikenakan pajak berulang.
7. Warga negara wajib â menaati aturan pajak yang ditetapkan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 2 dan 3.
8. Pemungutan pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 2 dan 3 hukumnya haram.
9. Zakat yang sudah dibayarkan oleh umat Islam menjadi pengurang kewajiban pajak sebagaimana diatur dalam ketentuan angka 2 dan 3, (zakat sebagai pengurang pajak).
Rekomendasi
1. Untuk mewujudkan perpajakan yang berkeadilan dan ber pemerataan maka pembebanan pajak seharusnya disesuaikan dengan kemampuan wajib pajak (ability pay). Oleh karena itu perlu adanya peninjauan kembali terhadap beban perpajakan terutama pajak progresif yang nilainya dirasakan terlalu besar.
2. Pemerintah harus mengoptimalkan pengelolaan sumber-sumber kekayaan negara dan menindak para mafia pajak dalam rangka untuk sebesar-besar untuk kesejahteraan masyarakat.
3. Pemerintah dan DPR berkewajiban mengevaluasi berbagai ketentuan perundang-undangan terkait perpajakan yang tidak berkeadilan dan menjadikan fatwa ini sebagai pedoman.
4. Kemendagri dan pemerintah daerah mengevaluasi aturan mengenai pajak bumi dan bangunan, pajak pertambahan nilai (PPn), pajak penghasilan (PPh), Pajak Bumi dan Bangunan(PBB), Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), pajak waris yang seringkali dinaikkan hanya untuk menaikkan pendapatan daerah tanpa mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.
5. Pemerintah wajib mengelola pajak dengan amanah dan menjadikan fatwa ini sebagai pedoman.
6. Masyarakat perlu mentaati pembayaran pajak yang diwajibkan oleh pemerintah jika digunakan untuk kepentingan kemaslahatan umum (maslahah 'ammah).
(aeb/erd)












































Komentar Terbanyak
MUI: Nikah Siri Sah tapi Haram
Tolak Mundur dari Ketum PBNU, Gus Yahya Kumpulkan Ulama Malam Ini Tanpa Rais Aam
Gus Yahya Kumpulkan Alim Ulama di PBNU Malam Ini, Rais Aam & Sekjen Tak Diundang