Setelah menunaikan rangkaian ibadah haji, ada satu ruang spiritual yang terus membekas dalam jiwa: Madinah. Kota suci kedua dalam Islam ini bukan hanya saksi bisu perjuangan Nabi Muhammad SAW, tetapi juga menjadi ransc peradaban yang damai, inklusif, dan berakar pada nilai kasih sayang. Di tengah hiruk-pikuk dunia yang semakin bising, Madinah hadir sebagai oase ketenangan, tempat di mana setiap peziarah bisa mereguk kesejukan iman dan menjahit ulang hubungan spiritualnya dengan Tuhan serta sesama makhluk.
Atmosfer Madinah pasca-haji memberikan ruang reflektif yang dalam. Tidak seperti Makkah yang intens dan penuh semangat ritual, Madinah menyajikan suasana yang lebih tenang, penuh khidmat, dan membawa pada kontemplasi. Masjid Nabawi, dengan bentangan karpet hijaunya yang luas dan payung-payung raksasa yang membuka-menutup bak kelopak bunga, menjadi ruang ranscendental yang menyatukan umat dari berbagai bangsa dalam satu denyut cinta pada Nabi Muhammad.
Nabi Muhammad sangat mencintai kota Madinah, yang diriwayatkan Aisyah RA; "Ya Allah anugerahilah kami cinta kepada Madinah, sebagaimana cinta kami pada Makkah, berkah cinta yang lebih kepada Madinah". Hadist ini menunjukkan keistemewaan Madinah sebagai kota, sebagai jalur illmu sekaligus penjuru cinta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penulis merasakan betul ketika duduk bersimpuh di Raudhah-taman surga di antara rumah dan mimbar Nabi-jiwa terasa dibasuh oleh keteduhan. Di ruang ini, tidak sedikit peziarah meneteskan air mata. Bukan karena permintaan duniawi, melainkan karena kerinduan yang mendalam pada sosok Rasulullah yang lembut, sabar, dan penuh kasih pada umatnya. Cinta ini tidak berhenti dalam ekspresi emosional, tapi menggerakkan kesadaran moral untuk menjadi manusia yang lebih bertakwa, lebih bertanggung jawab, dan lebih bermanfaat bagi semesta.
Takwa yang Membumi
Haji bukan hanya ritual fisik. Ia adalah proses transformasi spiritual yang merombak kesadaran manusia dari pusatnya. Setelah menjalani wuquf di Arafah, melempar jumrah di Mina, dan thawaf ifadah, setiap jamaah pada hakikatnya telah melalui titik balik kehidupan. Maka, pasca-haji seharusnya bukan kembali ke kehidupan lama, melainkan memasuki fase baru dengan jiwa yang lebih bersih dan kesadaran yang lebih tajam.
Selain itu, takwa bukanlah sekadar simbol kesalehan pribadi, melainkan orientasi hidup yang membumi: peduli pada kemiskinan, aktif dalam kebaikan sosial, serta berani bersikap adil dalam setiap laku. Seperti yang dicontohkan Rasulullah di Madinah, takwa memancar dalam tindakan: menyantuni yatim, menjamin keamanan kaum minoritas, membangun sistem sosial yang setara.
Ketika seseorang kembali dari haji, dia seharusnya menjadi representasi dari nilai-nilai ini. Ia tak hanya menjadi pribadi yang lebih khusyuk dalam ibadah, tapi juga menjadi cahaya di tengah masyarakat yang kusut oleh ketimpangan dan kecemasan kolektif. Haji sejati melahirkan manusia yang menyuarakan keadilan dan menegakkan kasih dalam praktik sehari-hari.
Tanggung Jawab terhadap Alam
Salah satu dimensi yang sering terabaikan dalam refleksi pasca-haji adalah hubungan manusia dengan alam. Padahal, dalam setiap tahap ibadah haji, kita diingatkan bahwa bumi bukanlah milik manusia semata. Arafah, Muzdalifah, dan Mina-semuanya ruang terbuka yang memaksa kita untuk hidup bersama alam, merasakan panas, debu, angin malam, dan kerendahan hati.
Kesadaran ekologis ini menjadi semakin penting dalam konteks krisis iklim yang kian mendesak. Haji mengajarkan kita tentang kesederhanaan, pengurangan konsumsi, dan hidup kolektif. Jika nilai ini dibawa pulang, jamaah seharusnya menjadi agen perubahan dalam menjaga lingkungan: mengurangi sampah, hemat energi, dan memperlakukan bumi sebagai amanah Tuhan yang harus dijaga.
Madinah sebagai kota suci yang terawat, bersih, dan penuh ketertiban juga mengajarkan teladan konkret. Dari sistem transportasi ramah lingkungan, pengelolaan air bersih, hingga tata kota yang mendukung kenyamanan peziarah-semua itu adalah manifestasi nilai Islami dalam praksis tata kelola yang berkelanjutan. Pasca-haji, umat Islam punya tanggung jawab ganda: menjaga kemurnian iman sekaligus merawat bumi yang menjadi rumah bersama.
Produktivitas sebagai Wujud Syukur
Bersyukur atas kesempatan menunaikan haji seharusnya diwujudkan dalam produktivitas yang meningkat. Produktivitas di sini bukan semata soal kerja keras dalam ekonomi, tetapi juga produktivitas spiritual, intelektual, dan sosial. Seorang yang telah berhaji idealnya menjadi pribadi yang lebih efisien, lebih tertata dalam waktu, serta lebih tulus dalam membantu sesama.
Cinta pada Nabi Muhammad yang begitu terasa di Madinah, harusnya menjadi bahan bakar utama dalam membangun etos kerja dan dedikasi. Rasulullah adalah manusia paling produktif dalam sejarah: membangun komunitas, menulis perjanjian, memediasi konflik, dan membimbing umat dengan bijaksana. Cinta sejati pada beliau bukanlah dengan melafazkan shalawat semata, tapi juga dengan meneladani semangat kerja, integritas, dan kasih beliau pada semua makhluk.
Dalam konteks Indonesia, produktivitas pasca-haji sangat relevan. Bayangkan jika jutaan jamaah haji di tanah air menjadi motor penggerak kebaikan: membuka lapangan kerja, mendorong pendidikan anak, menyuarakan toleransi, serta menjadi pelopor hidup bersih dan tertib. Maka haji tak hanya menjadi pengalaman spiritual pribadi, tapi juga investasi sosial bagi masa depan bangsa.
Refleksi pasca-haji tidak lengkap tanpa menyadari kembali misi kenabian: menjadikan Islam sebagai rahmat bagi semesta. Madinah adalah simbol dari semangat ini. Di kota ini, Rasulullah menandatangani Piagam Madinah-dokumen perintis konstitusi pluralisme yang menjamin hak semua komunitas. Beliau hidup berdampingan dengan Yahudi, Kristen, dan komunitas lain tanpa mencabut hak-hak mereka.
Maka, pengalaman pasca-haji seharusnya mendorong kita menjadi pribadi yang ramah pada semua. Menghormati keyakinan lain, menghapus prasangka, serta menyebarkan kasih. Itulah sejatinya jejak Nabi yang harus kita teruskan. Kita bukan hanya umat Islam, tapi umat Rasulullah: pembawa misi damai, penebar cinta, dan penjaga harmoni.
Madinah, dalam segala keheningannya, menjadi ruang reflektif untuk memahami makna terdalam dari perjalanan haji. Ia bukan sekadar kota, tapi ruang spiritual yang mempersatukan sejarah, cinta, dan peradaban. Dari Madinah, kita belajar bahwa menjadi Muslim bukan hanya tentang identitas, tapi tentang tanggung jawab: pada Tuhan, pada sesama, dan pada bumi tempat kita berpijak.
Setelah melaksanakan ibadah haji secara utuh, mari jadikan takwa sebagai pedoman hidup, cinta Nabi sebagai energi transformasi, dan produktivitas sebagai bentuk syukur. Dengan begitu, haji tidak berakhir di tanah suci, tapi berlanjut dalam tindakan nyata di tengah kehidupan sehari-hari. (*)
Dr. Hasan Chabibie
Penulis adalah Staf Ahli Bidang Penguatan Ekosistem Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi Kemendiktisaintek, Pengasuh Pesantren Baitul Hikmah Depok Jawa Barat
Artikel ini adalah kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel merupakan tanggung jawab penulis. (salam - redaksi)
(erd/erd)
Komentar Terbanyak
Saudi, Qatar dan Mesir Serukan agar Hamas Melucuti Senjata untuk Akhiri Perang Gaza
Dari New York, 15 Negara Barat Siap Akui Negara Palestina
Mengoplos Beras Termasuk Dosa Besar & Harta Haram, Begini Penjelasan MUI