Ibadah haji merupakan ibadah yang penuh misteri, ia menyimpan pesan-pesan hikmah yang luar biasa, yang kadang menjadi komunikasi setiap insan dengan Allah. Haji merupakan ibadah yang dilandasi dengan puncak kerinduan, mematangkan sisi spiritualitas manusia. Perjalanan panjang seorang Salik menuju Maha Penciptanya.
Kita menyaksikan dalam setiap tahun, jutaan muslim dari seluruh dunia berangkat menuju Tanah Suci, menanggalkan atribut sosial dan duniawi, mengenakan kain putih yang sama, dan melangkah dalam satu kesadaran kolektif: memenuhi panggilan Ilahi. Ibadah haji bukan semata ritual tahunan. Ia adalah perjalanan ruhani yang menuntut pengosongan diri, pembebasan dari ego, dan penyerahan total kepada Allah.
Baca juga: Menjadi Seorang Kesatria |
Di tengah gemuruh zaman yang serba cepat dan bising ini, haji hadir sebagai momen kontemplasi paling mendalam dalam kehidupan seorang Muslim. Ia bukan sekadar perjalanan fisik ke Mekkah dan Madinah, tetapi sebuah perjalanan batin yang menguji keikhlasan, kesabaran, dan ketundukan. Dalam keheningan malam Arafah, dalam barisan thawaf di sekitar Ka'bah, dalam lontaran jumrah di Mina, setiap langkah jemaah adalah doa, adalah pengakuan akan kefanaan, dan pengharapan akan perjumpaan dengan Tuhan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Haji mengakar dari sejarah yang sangat tua, dari ketundukan Nabi Ibrahim AS yang bersedia mengorbankan putranya demi menaati perintah Allah. Dari jejak Hajar yang berlari antara Shafa dan Marwah mencari air, dari pembangunan Ka'bah sebagai rumah tauhid pertama. Kita tidak hanya menapaktilasi sejarah ini, kita menghidupkannya kembali.
Ibadah haji adalah pelajaran tentang penyerahan. Ketika Ibrahim diminta menyembelih Ismail, itu adalah ujian tauhid: apakah cinta kepada anak melampaui cinta kepada Allah? Ketika Hajar berlari di tengah padang tandus, itu adalah ujian keyakinan: apakah seseorang akan tetap mencari ketika yang dicari tak kunjung tampak?
Maka haji adalah bentuk dramatik dari tauhid itu sendiri: melepaskan, mempercayai, dan menuju.
Ihram dan Simbol Pengosongan Diri
Dalam dunia yang sering menilai seseorang dari jabatan, status sosial, atau jumlah pengikut di media sosial, ihram datang sebagai simbol pembebasan dari identitas artifisial. Dua helai kain putih yang membungkus tubuh-tanpa jahitan, tanpa aksesori, tanpa merek-menegaskan bahwa di hadapan Allah, semua manusia adalah sama. Di Padang Arafah, seorang raja atau penguasa dan seorang buruh migran bisa berdiri berdampingan, sama-sama memohon ampun, sama-sama menggigil di hadapan Sang Pencipta.
Pengalaman ini adalah pengalaman yang meruntuhkan ego, yang menegur setiap bisikan kesombongan. Ia mengajak kita merenungi siapa kita sebenarnya, jika semua nama dan pencapaian duniawi dilepas: hanya seorang hamba.
Wukuf di Arafah menjadi bagian dari inti haji. Dalam hadis Nabi, "Al-Hajju 'Arafah"-haji adalah Arafah. Mengapa? Karena di sanalah titik pertemuan antara hamba dan Tuhan mencapai intensitasnya yang paling tinggi. Di Arafah, yang muncul hanyalah getar doa, keheningan, wirid, ingatan atas dosa-dosa, dan pengakuan untuk melakukan taubat. Di sinilah ruhani manusia 'bertemu' dengan Allah.
Sebagian ulama sufi menyebut Arafah sebagai bayangan dari hari kebangkitan. Kita berdiri di sana seperti kita kelak akan berdiri di Mahsyar-tanpa kekuasaan, tanpa harta, tanpa penolong kecuali amal dan rahmat-Nya. Dalam kesadaran ini, hati kita dibersihkan, jiwa kita dipertemukan kembali dengan fitrah aslinya.
Salah satu ritus haji yang sering memicu tanya adalah melontar jumrah-melempar batu ke tiga pilar yang melambangkan setan. Tapi lebih dari sekadar simbol, ia adalah ritual perlawanan terhadap nafsu. Yang dilempari bukan hanya setan eksternal, tapi juga setan dalam diri: rasa iri, kesombongan, kerakusan, dan kecintaan berlebih pada dunia.
Di zaman ini, Syaitan datang dalam bentuk godaan yang lebih subtil: popularitas yang melenakan, konsumsi tanpa batas wajar, serta ambisi tanpa arah. Maka melempar jumrah bukan hanya ritual tahunan, tapi peringatan: bahwa setiap Muslim harus aktif melawan bisikan destruktif, baik dari luar maupun dari dalam dirinya.
Mengitari Ka'bah dalam thawaf adalah simbol perputaran hidup di sekitar Tuhan. Dalam thawaf, manusia bergerak dalam harmoni, tidak saling bertabrakan, tidak pula mencari pusat. Karena pusatnya sudah jelas: Allah.
Dunia hari ini sering membuat kita menempatkan pusat hidup kita pada hal-hal selain Tuhan: pekerjaan, keluarga, harta, bahkan citra diri. Tapi thawaf mengingatkan: hidup ini harus berpusat pada Allah. Jika kita menjadikan Allah pusat, maka yang lain akan menemukan tempatnya masing-masing, dan hidup menjadi lebih tertata.
Ibadah haji bukan sekadar pengalaman yang dikenang, tapi transformasi yang dibawa pulang. Ia bukan klimaks dari kehidupan beragama, melainkan awal dari fase baru yang lebih sadar, lebih lembut, lebih tunduk.
Dalam tradisi sufi, ada ungkapan: "Man 'arafa, 'afa"-siapa yang mengenal (Allah), maka ia akan berhenti dari dosa. Haji harus melahirkan pengenalan itu. Maka pulang dari haji seharusnya bukan kembali menjadi orang yang sama, tapi pribadi yang lebih dalam jiwanya, lebih jernih niatnya, dan lebih lapang hatinya.
Haji sebagai Orkestrasi Kehidupan
Haji adalah miniatur dari kehidupan itu sendiri. Ia dimulai dengan niat, penuh perjuangan, ujian, air mata, kebersamaan, dan akhirnya pulang ke rumah. Seperti hidup, ia adalah perjalanan dari Allah, bersama Allah, dan kembali kepada Allah.
Dalam haji, kita diajari untuk berjalan ringan: hanya membawa yang perlu, hanya berkata yang baik, hanya melihat yang benar. Ia mengajarkan bahwa hidup ini adalah perjalanan suci, dan setiap kita adalah musafir yang akan kembali kepada-Nya.
Penulis beruntung bisa melaksanakan ibadah haji pada tahun ini, sebagai bagian dari puncak kerinduan kepada Allah, juga keinginan yang kuat untuk berziarah ke Kanjeng Nabi Muhammad. Banyak sekali kisah-kisah spiritual yang melengkapi perjalanan penulis, juga cerita dari beberapa kawan seperjalanan dalam proses ibadah haji ini. Intinya, ibadah haji merupakan cermin dari kebeningan hati kita masing-masing, bagaimana kita mendekat sekaligus berdialog dengan Allah.
Di tengah proses ibadah ini, penulis melihat kerja keras penyelenggara Ibadah Haji, terutama tim Kementerian Agama yang total melayani jamaah. Hal-hal teknis sebagai kendala yang ditemui, dicoba diurai satu persatu dengan solusi, juga beradaptasi dengan peraturan-peraturan dari pemerintah Saudi. Semoga penyelenggaraan haji dari tahun ke tahun semakin membaik.
Maka mari kita hayati ibadah haji bukan sekadar sebagai kewajiban kelima dalam rukun Islam, tapi sebagai panggilan untuk menyucikan jiwa, menata ulang orientasi hidup, dan mempersiapkan diri untuk perjalanan yang jauh lebih agung: perjumpaan abadi dengan Allah.
--
Dr. Hasan Chabibie
Penulis adalah Staf Ahli Bidang Penguatan Ekosistem Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi Kemendiktisaintek; Pengasuh Pesantren Baitul Hikmah Depok
Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terima kasih - Redaksi)
(dvs/erd)
Komentar Terbanyak
MUI Serukan Setop Penjarahan: Itu Bentuk Pelanggaran Hukum
Berangkat ke Mesir, Ivan Gunawan Kawal Langsung Bantuan untuk Gaza
BPJPH Dorong Kesiapan Industri Nonpangan Sambut Kewajiban Sertifikasi Halal