Ramadhan dan Tantangan Nihilisme Iklim

Kolom Hikmah

Ramadhan dan Tantangan Nihilisme Iklim

Eko Ernada - detikHikmah
Senin, 17 Mar 2025 08:59 WIB
Ramadhan dan Tantangan Nihilisme Iklim
Ramadhan dan Tantangan Nihilisme Iklim Foto: Dok. pribadi
Jakarta -

Awal Ramadhan ini, banjir kembali merendam berbagai wilayah di Indonesia. Hujan deras mengguyur Jabodetabek, Jawa Tengah, Sumatera, hingga Kalimantan. Jalanan berubah menjadi sungai, rumah-rumah tergenang, aktivitas lumpuh. Ini bukan pemandangan baru. Juga bukan kejadian langka. Tapi, apakah ini semata soal hujan?

Setiap tahun bencana ini berulang. Dan setiap tahun pula, kita seperti tidak belajar. Saluran air tersumbat sampah, lahan hijau habis digantikan beton, sungai kehilangan ruang geraknya. Alam bekerja sesuai hukumnya, tetapi kita yang mengacaukannya. Banjir bukan sekadar air yang meluap, tapi juga peringatan. Bukan hanya fenomena alam, tapi juga cerminan kelalaian manusia.

Yang lebih berbahaya dari banjir itu sendiri adalah sikap pasrah. "Memang begini dari dulu." "Mau bagaimana lagi?" "Semua ini sudah tak terhindarkan." Sikap ini disebut nihilisme iklim-keputusasaan yang membuat orang berhenti berbuat, berhenti peduli. Dalam Islam, sikap ini bertentangan dengan prinsip amanah. Allah telah menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi, bukan untuk menyerah, melainkan untuk menjaga dan memperbaiki.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ramadhan datang sebagai momentum untuk berpikir ulang. Bulan ini bukan hanya tentang menahan lapar dan dahaga, tetapi juga menahan keserakahan, mengendalikan keinginan, dan belajar hidup lebih sederhana. "Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." (QS. Al-A'raf: 31).

Ajaran ini bukan hanya soal makanan, tetapi juga cara kita memperlakukan bumi. Islam selalu menekankan keseimbangan. Rasulullah SAW melarang pemborosan air, bahkan saat berwudhu. Beliau menganjurkan menanam pohon, bahkan jika kiamat akan datang. Ini bukan sekadar simbolisme, tetapi prinsip hidup. Konsep hifdzul bi'ah- menjaga lingkungan-adalah bagian dari maqashid syariah, tujuan utama syariat Islam. Menjaga alam bukan sekadar pilihan, tetapi kewajiban.

ADVERTISEMENT

Di berbagai komunitas Muslim, kesadaran akan tanggung jawab ekologis semakin berkembang. Program penghijauan, pengelolaan sampah berbasis komunitas, dan kampanye pengurangan plastik di masjid serta pesantren telah menjadi bagian dari gerakan keberlanjutan yang berakar pada nilai-nilai Islam. Kesadaran ini menunjukkan bahwa ajaran agama tidak hanya berbicara tentang ibadah spiritual, tetapi juga mengajarkan tanggung jawab sosial dan ekologis.

Krisis lingkungan yang kita hadapi saat ini adalah hasil dari pola hidup yang tidak bertanggung jawab. Konsumerisme yang berlebihan, eksploitasi sumber daya tanpa batas, serta pengabaian terhadap keseimbangan alam adalah faktor utama yang mempercepat kehancuran ekologi. Dalam konteks ini, Ramadhan bukan hanya momen spiritual, tetapi juga ajang bagi kita untuk merenungkan sejauh mana gaya hidup kita selaras dengan ajaran Islam.

Jika Ramadhan adalah bulan perbaikan diri, mengapa tidak kita perluas menjadi perbaikan bumi? Mengurangi sampah plastik, lebih bijak dalam konsumsi, hemat energi-ini bukan hanya gaya hidup modern, tetapi bagian dari ibadah. Kesadaran bahwa setiap tindakan memiliki dampak. Bahwa perubahan, sekecil apa pun, tetap berarti.

Bencana ekologis yang semakin sering terjadi seharusnya membuka mata kita. "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (QS. Ar-Rum: 41). Ayat ini bukan ancaman, tetapi peringatan. Kita masih punya pilihan.

Dalam sejarah Islam, para ulama dan pemimpin Muslim terdahulu telah menjadikan konservasi lingkungan sebagai bagian dari kebijakan mereka. Pada masa Kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah, sistem irigasi dan penghijauan menjadi perhatian utama dalam pembangunan kota-kota Islam. Ini menunjukkan bahwa menjaga alam bukan sekadar isu modern, tetapi warisan peradaban Islam yang telah ada sejak lama.

Saat ini, kita memiliki tanggung jawab yang lebih besar. Teknologi telah memberikan kita banyak kemudahan, tetapi juga mempercepat eksploitasi alam. Maka, sebagai Muslim yang hidup di era modern, sudah saatnya kita menyeimbangkan kemajuan dengan keberlanjutan. Ramadhan mengajarkan kesederhanaan, yang bisa kita terjemahkan sebagai ajakan untuk hidup lebih selaras dengan alam.

Ramadhan adalah waktu untuk kembali ke jalan yang benar. Bukan hanya dalam ibadah, tetapi juga dalam cara kita memperlakukan bumi. Krisis iklim ini memberi kita satu pertanyaan penting: apakah kita masih bisa berubah? Atau lebih tepatnya-apakah kita mau berubah?

Karena pada akhirnya, menjaga bumi bukan sekadar menyelamatkan lingkungan. Tapi juga menyelamatkan diri kita sendiri.

Eko Ernada

Anggota Badan Pengembangan Jaringan Internasional (BPJI-PBNU)
Ketua Regional Centre of Expertise East Kalimantan, Jaringan Internasional ESD-UNU Japan.

Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terima kasih - Redaksi)




(dvs/erd)

Hide Ads