Inovasi Dalam Layanan dan Manasik Haji

Kolom Hikmah

Inovasi Dalam Layanan dan Manasik Haji

Abu Rokhmad - detikHikmah
Selasa, 18 Jun 2024 21:05 WIB
Abu Rokhmad Koordinator Tim Monev PPIH 2024
Staf Ahli dan Plt. Dirjen Pendis Kemenag RI
Foto: Dokumentasi Abu Rokhmad
Jakarta -

Setiap tahun, Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qoumas, selalu menghadirkan hal-hal baru dalam pelayanan kepada jemaah haji Indonesia. Makan tiga kali sehari selama tinggal di Makkah, merupakan kebijakan yang pertama kali diluncurkan pada dua tahun lalu. Sebelumnya, Jemaah haji hanya mendapatkan dua kali makan.

Keputusan penting dalam hal konsumsi ini sangat membantu Jemaah. Mereka dapat fokus dalam hal ibadah dan tidak direpotkan dengan tetek bengek urusan perut. Beban logistik yang biasa memenuhi koper jemaah, secara signifikan terkurangi. Mereka cukup membawa lauk spesial tambahan saja, tanpa harus membawa beras, lauk pauk, dan peralatan masak. Resiko kebakaran akibat memasak di kamar hotel juga tidak terjadi.

Tahun 2024, kebijakan konsumsi untuk jemaah kembali diperbaiki dan disempurnakan. Tahun lalu, dua hari sebelum dan tiga hari setelah puncak ibadah haji, jemaah haji tidak mendapatkan konsumsi karena faktor distribusi yang tidak mungkin dilakukan. Kota Makah sangat macet.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tahun ini, Jemaah haji mendapatkan konsumsi di tanggal 7 dan pagi hari di tanggal 8 Dzul Hijjah. Selebihnya mendapatkan konsumsi di Arafah. Begitu pula konsumsi pasca puncak haji, yaitu tanggal 12 siang dan malam serta tanggal 13 Dzul Hijjah pagi hari, Jemaah haji mendapatkan lauk dan atau makanan siap saji di hotel. Selebihnya, konsumsi regular untuk jemaah haji sudah dapat diberikan secara normal seperti biasa.

Haji ramah lansia (HRL) menjadi prioritas haji 2023 dan tahun ini dilanjutkan dan disempurnakan. Fakta bertahun-tahun menyatakan lebih dari 30% jemaah lansia. Tentu saja ini bukan salah jemaah tetapi karena panjangnya antrian haji. Jemaah lansia memiliki Riwayat penyakit yang beragam dan tergolong jemaah dengan resiko tinggi (risti), termasuk tingkat kematian. HRL merupakan terobosan penting dalam pelayanan, pembinaan dan pelindungan jemaah dengan kategori khusus.

ADVERTISEMENT

Puluhan tahun, fakta ini dilihat sebagai given saja dan tidak mendapat perhatian yang serius. Dampak kebijakan HRL sangat signifikan dan diharapkan dapat mengurangi jumlah angka kematian. Kebijakan HRL ini juga dibarengi dengan kebijakan istitha'ah (kemampuan atau al-iradah al-muqtadhiyah lil qudrah) kesehatan yang diperketat. Screening kesehatan jemaah haji dilakukan sebanyak dua kali, setelah dinyatakan lolos baru dilakukan pelunasan biaya haji. Bukan sebaliknya, lunasi dulu baru screening kesehatan.

Pada tahun yang sama, Menteri Agama RI juga gelisah dengan ekonomi haji yang sangat besar, namun kecil sekali yang kembali ke tanah air. Indonesia hanya mendapatkan sangat sedikit bagian dalam putaran uang yang nilainya puluhan triliun rupiah saat musim haji berlangsung.
Maskapai penerbangaan nasional hanya sanggup melayani separuh dari total jemaah yang berangkat ke tanah suci. Hanya transportasi udara saja, yang mampu dikapitalisasi itupun tidak maksimal. Selebihnya, kita hanya menjadi konsumen dan bahkan penonton saja, mulai dari konsumsi dan bahan mentahnya, hingga transportasi, akomodasi dan berbagai kebutuhan haji lainnya.

Menteri Agama RI melakukan banyak inisiatif dan pertemuan dengan kementerian dan pihak terkait untuk memastikan bahwa Indonesia harus mendapatkan manfaat ekonomi dalam setiap penyelenggaraan ibadah haji. Tahun ini, inisiatif itu mulai membuahkan hasil.

Sekarang semua pengusaha katering di Saudi Arabia wajib menggunakan bumbu, makanan dan lauk siap saji yang didatangkan dari Indonesia. Di berbagai hotel di Makkah yang menjadi tempat menginap jemaah, tersedia makanan khas nusantara yang disediakan pengusaha Indonesia. Tentu saja masih sangat sedikit bagian dari ekonomi haji yang seharusnya dapat dimaksimalkan manfaatnya oleh pengusaha nasional. Ke depan, inisiatif ini harus dilanjutkan dan semestinya lebih baik lagi.

Terobosan yang diambil oleh Menteri Agama RI juga menyentuh aspek petugas yang melayani Jemaah. Sejak tahun pertama penyelenggaraan haji di bawah Gusmen, ada nomenklatur baru dalam struktur PPIH untuk memperkuat layanan ibadah kepada jemaah. Struktur baru itu, ada yang disebut konsultan ibadah dan adapula musytasyar dini (penasihat keagamaan).

Khusus musytastar dini, mereka terdiri dari para ahli agama (ulama) yang bertugas membuat analisis, memberikan arahan dan kajian serta rekomendasi terkait aspek ibadah dan manasik haji. Untuk kebutuhan internal dalam rangka mendisplinkan petugas, tahun 2024 ini juga dilahirkan istilah pengendalian petugas (dalgas).

Kebijakan Murur

Insiden Muzdalifah pada penyelenggaraan haji 2023 memberikan banyak pelajaran, khususnya pada manasik haji. Waktu itu, jemaah terlambat didorong ke Mina karena faktor kemacetan di Muzdalifa-Mina yang sangat parah. Paling akhir jam 8 pagi 10 Dzulhijjah, seharusnya semua jemaah sudah meninggalkan Muzdalifah. Tetapi kenyataannya, sebagian jemaah masih banyak yang tertinggal di sana, bahkan hingga siang hari. Padang Muzdalifah sangat panas dan tanpa tenda.
Puncak haji yang dimulai dari wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah dan di Mina merupakan waktu dan situasi yang kritis (critical momentum), baik dari segi syariah maupun pelayanan kepada jemaah. Dibandingkan Arafah dan Mina, mabit di Muzdalifah memiliki critical point yang khas, utamanya soal sempitnya lahan dan fasilitas di Muzdalifah yang tidak ada apa-apa, kecuali toilet saja. Tidak ada tenda dan sangat panas, jika jemaah terlambat didorong ke Mina.

Menurut hitungan Ditjen PHU Kemenag RI, luas lahan Muzdalifah untuk jemaah haji Indonesia (213.320 jemaah ditambah petugas 2.747 orang) hanya sekitar 82.350 m2. Itupun sekarang dikurangi untuk toilet seluas 20.000 m2. Praktis, perjemaah hanya mendapat 0,29 m2. Nyaris hanya cukup untuk menaruh pantat saja.
Atas dasar ini, Menteri Agama RI mengeluarkan kebijakan murur di Muzdalifah untuk lansia, jemaah sakit atau risti dan penyandang disabilitas serta pendampingnya. Tentu saja, kebijakan ini dirilis setelah mendengar masukan dan pandangan fiqh dari para ulama, baik dari musytasyar diny maupun kalangan ormas Islam.

Murur merupakan makharij fiqhiyyah dalam fikih manasik haji. Murur sesuai dengan prinsip maqashid al-syariah (tujuan ditetapkannya Syariat Islam), khususnya dalam menjaga jiwa jemaah (hifz al-nafs). Kebijakan murur baru saja dilaksanakan dalam penyelenggaraan haji 2024 ini. Dengan penuh syukur, pada pukul 07.34 WAS, seluruh jemaah sudah keluar dari Muzdalifah dan berada di Mina.

Fiqh Alternatif

Salah satu wajib haji adalah mabit (bermalam) di Muzdalifah. Sebagian ulama tidak menyebut mabit melainkan al-wujud (berada) di sana (al-Sayyid Muhammad, 2003: 63). Dua istilah ini, memiliki konsekuensi yang berbeda, setidaknya seperti terlihat dalam arti literalnya. Jemaah yang meninggalkan wajib haji, maka hajinya tetap sah namun wajib menyembelih dam.

Di kalangan ulama mazhab, terdapat perbedaan pendapat tentang mabit di Muzdalifah. Menurut Imam Malik, Syafi'i dan Malik, hukum mabit di Muzdalifah adalah wajib. Menurut Imam Abu Hanifah dan salah satu pendapat ulama mazhab Syafi'i, mabit di Muzdalifah hukumnya sunnah. Bagi yang meninggalkannya, tidak memiliki konsekuensi hukum apa-apa. Bahkan siapapun boleh murur, apalagi yang sedang sakit, lansia atau penyandang disabilitas.
Bagi ulama yang mewajibkan mabit di Muzdalifah, murur yang dilakukan oleh lansia, orang yang sakit atau risti, penyandang disabilitas dan pendamping merupakan rukhsah (keringanan) bagi mereka. Hajinya sah dan tidak dikenakan dam. Pendapat ulama musytasyar dini dan ulama ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, MUI, Persis dan lain-lain, membolehkan murur seperti di atas. Hal ini makin meyakinkan jemaah bahwa meskipun murur, haji mereka tetap sah dan tidak membayar dam.

Pada masa depan, jika tidak ada perubahan yang signifikan di Muzdalifah, murur mungkin saja bukan hanya menjadi rukhsah (keringanan) bagi jemaah lansia, sakit dan ristis, penyandang disabilitas serta pendamping, tetapi dapat menjadi 'azimah (hukum yang berlaku umum) dalam pelaksanaan manasik haji. Murur dapat menjadi fikih alternatif dan kini menjadi istilah baru dalam manasik haji yang lahir dari fukaha Indonesia. Murur selain hajinya sah juga menyelamatkan jemaah.

Abu Rokhmad

Penulis adalah Koordinator Tim Monev PPIH 2024
Staf Ahli dan Plt. Dirjen Pendis Kemenag RI

Artikel ini adalah kiriman dari pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terimakasih - Redaksi)




(erd/erd)

Hide Ads