Sebagian lagi berpendapat, Dinasti Fatimiyyah (909-1171 M) yang pertama kali mentradisikan hal itu. Syiah-sebagai mazhab Dinasti Fatimiyyah-memang memiliki kebiasaan memperingati berbagai momentum yang berkaitan dengan ahlul bait, seperti Asyura dan tentu saja Maulid Nabi Muhammad SAW. Tidak penting berdebat mana pendapat yang kuat. Yang jelas, mengikuti dan mencintai Nabi Muhammad SAW merupakan perintah agama Islam kepada pengikutnya.
Tradisi memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW pada masyarakat muslim Indonesia juga sudah menjadi rutinitas yang khas. Tradisi ini tumbuh dan mengakar di hati umat karena ekspresi kecintaannya kepada utusan pembawa risalah Islam. Maulid Nabi juga merupakan luapan kegembiraan umat Islam atas lahirnya Nabi Muhammad SAW. Tegasnya, peringatan kelahiran Nabi diinspirasi al-Qur'an dan al-Hadits yang memerintahkan umatnya untuk mengikuti jejak dan teladannya dalam semua aspek kehidupan. Peringatan Maulid Nabi merupakan momentum yang tepat untuk menyadarkan kembali pentingnya umat Islam meneladani tokoh agung ini.
Tidak sulit menandai bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW pada masyarakat muslim Indonesia. Jika masjid, musala, pesantren dan masyarakat muslim menggelar berbagai pengajian dan pembacaan sejarah Rasulullah SAW (kitab al-Barjanzi, al-Burdah, Simtud Durar atau yang lainnya), berarti kini umat Islam telah memasuki bulan Maulud (Rabiul Awwal), bulan di mana Nabi Muhammad SAW lahir. Peringatan Maulid Nabi sarat makna dan emosional. Umat Islam diajak menyelami kehidupan tokoh agung dan membayangkan kehadirannya di majelis tersebut. Uraian sejarah perjuangan, sifat-sifat dan keutamaan Nabi Muhammad SAW yang disampaikan para mubalig menggenapi kekhusukan sekaligus menambah pemahaman umat Islam tentang Nabinya. Seorang Rasul panutan yang sempurna (kamal) sifatnya dan indah (jamal) kepribadiaannya. Rasul akhir zaman yang menegaskan bahwa dirinya adalah manusia dan ajarannya selalu memanusiakan manusia.
Menyempurnakan Akhlak
Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa "sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak" (HR. Bukhari, 273). Hadits ini menarik karena menempatkan akhlak sebagai misi utama seorang rasul, bukan meluruskan akidah atau mengoreksi ibadah, seperti kata para ustadz yang sering melontarkan kata kafir, bid'ah, musyrik dan menyalah-nyalahkan orang lain. Masalah akidah dan ibadah sangat penting, tetapi soal akhlak tidak kalah penting, bahkan sangat penting. Akhlak merupakan inti dan pondasi beragama.
Bermula dari perbaikan akhlak, maka soal yang lain lebih mudah dibereskan. Jika akhlaknya benar, maka dimensi ajaran Islam yang lain, seperti akidah, ibadah, dan hukum/ mu'amalah akan mengikuti. Seorang yang berakhlak akan menjaga dengan sekuat tenaga bahwa akidah Islam yang dianut pasti persis sama, sebagaimana ajaran al-Qur'an dan al-Hadits. Akidahnya lurus dan sahih, bukan akidah yang batil. Jika kepada sesama saja, seorang yang berakhlak akan menjaga akhlaknya, lebih-lebih ini menyangkut akhlak kepada Tuhannya, pastilah ia tidak akan mengkhianati ajaran agamanya. Sebab di dalam akidah, terkandung akhlak tertinggi hamba kepada Tuhannya. Dengan akhlaknya, ia berusaha mengenali Tuhannya, memahami sifat-sifat-Nya dan tidak menduakan Tuhannya.
Jika ada orang lain yang akidahnya dianggap kurang tepat akibat kejahilan, ia akan mengingatkannya dengan adab dan akhlak yang baik. Itulah esensi akhlak jika membingkai akidah. Kekakuan akidah yang umumnya berisi prinsip-prinsip Islam yang tidak bisa ditawar dan telah diajarkan langsung oleh Rasulullah SAW, dapat didakwahkan dengan cara yang santun dan beretika. Harapannya tidak lain, makin banyak orang yang tercerahkan dengan keagungan agama Islam.
Begitu pula dengan ibadah sebagai praktik penghambaan umat Islam kepada Tuhannya. Pada dasarnya, ibadah kita adalah akhlak kita kepada Tuhan Sang Pencipta. Ibadah, baik yang mahdah maupun ghairu mahdah, sudah diatur sedemikian rupa, sehingga yang berakhlak akan mengikuti dan melaksanakan ajaran soal ibadah tersebut.
Ibadah mahdah diatur secara ketat tata caranya. Menambah atau mengurangi ibadah mahdah, dapat dipandang sebagai perilaku tidak sopan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya dan secara hukum haram dilakukan. Berbeda dengan ibadah ghairu mahdah yang tata caranya tidak diatur secara rigid. Umat Islam bebas mengekspresikan segala kebaikan dan kemanfaatan kepada sesama, tentu yang tidak melanggar syariat Islam dan dalam bingkai akhlak.
Islam yang Humanis
Islam merupakan agama yang humanis, mudah, tidak memberatkan dan memanusiakan kemanusiaan. Ini merupakan konsekuensi logis dari misi Rasulullah SAW untuk menyempurnakan akhlak. Jika agama ini berat, maka misi menyempurnakan akhlak tidak akan terwujud. Alasannya karena Tuhan tidak 'memperlakukan' hamba-Nya dengan baik dan memberikan beban yang berlebihan kepadanya.
Allah SWT telah menegaskan bahwa seluruh kewajiban yang harus dilaksanakan umat Islam berada dalam takaran kemampuan manusia untuk melaksanakan (QS, 2: 286). Jika tidak mampu karena keadaan tertentu, ia boleh mengambil rukhsah (keringanan). Misalnya, shalat fardu wajib dilaksanakan seorang muslim dengan cara berdiri. Jika tidak mampu, ia boleh mengerjakan shalat dengan cara duduk atau berbaring. Jika sedang bepergian atau alasan syar'i lainnya, seorang muslim juga boleh men-jama' (mengumpulkan dua shalat dalam satu waktu) dan meng-qashar (meringkas shalat dari empat rakaat menjadi dua rakaat). Begitu pula dengan kewajiban berpuasa, zakat dan haji. Seorang muslim boleh meng-qadha puasa di bulan selain Ramadan karena alasan sakit, bepergian dan alasan syar'i lainnya. Bila belum mampu, zakat dan haji bahkan boleh tidak dikerjakan.
Dua prinsip hukum Islam, yaitu menyedikitkan beban (qillatut taklif) dan menghilangkan segala kesulitan ('adamul haraj) betul-betul menempatkan Islam sebagai agama yang manusiawi. Jika yang wajib saja semudah itu dikerjakan, apalagi amalan yang sunnah. Itu juga menjadi bukti bahwa kewajiban dalam Islam-baik dalam bentuk rukun Islam atau kewajiban bentuk lainnya-diperintahkan dalam frame 'akhlak ilahi' di mana manusia itu lemah dan tidak mungkin diberikan beban melebihi kemampuannya.
Demikianlah. Rasulullah SAW menempatkan akhlak sebagai misi utama kerasulannya. Karena itu, umatnya harus menjadikan pula akhlak sebagai pusat ikhtiar untuk menggapai kejayaan Islam dan muslimin. Akhlak dalam pengertian dan konteks yang luas, seperti akhlak dalam studi dan mengembangkan ilmu pengetahuan, akhlak berekonomi, termasuk juga akhlak dalam berpolitik.
Selamat merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW 1445 Hijriah.
Yaqut Cholil Qoumas
Menteri Agama RI
(erd/erd)
Komentar Terbanyak
Ada Penolakan, Zakir Naik Tetap Ceramah di Kota Malang
Sosok Ulama Iran yang Tawarkan Rp 18,5 M untuk Membunuh Trump
Respons NU dan Muhammadiyah Malang soal Ceramah Zakir Naik di Stadion Gajayana