Guru dan Ketua Dewan Pimpinan Cabang IPN Karimun, Mahadi, mengatakan guru PPPK saat ini memiliki tugas dan tanggung jawab serupa dengan guru PNS. Kendati demikian, guru PPPK menghadapi kesulitan pengembangan karier dan jabatan, ketidakstabilan status kepegawaian, kurang pengakuan dan penghargaan, kesulitan mutasi, dan sistem kontrak bervariasi dan tidak merata.
"Di Undang-Undang ASN, PNS dan PPPK adalah ASN, tapi masih ada diskriminasi, perbandingan, kesenjangan, antara P3K dan PNS," ucapnya.
"Kontradiksi dengan semangat pemerataan pendidikan nasional," imbuh Mahadi.
Guru PPPK Tanpa Kepastian Perpanjangan Kontrak
Ia menjelaskan, guru PPPK tidak tenang karena sekalipun berstatus sebagai aparatur sipil negara (ASN). Sebab, para guru tidak punya kepastian apakah kontraknya akan diperpanjang dan berisiko menganggur.
Diketahui, kontrak PPPK yakni maksimal 5 tahun per periodenya sesuai peraturan dan kemampuan keuangan daerah.
Tak Dapat Hak Pensiun
Lebih lanjut, saat ini masih belum ada kepastian hukum bagi guru PPPK untuk mendapatkan hak setelah pensiun, termasuk pesangon.
"Mungkin ada wacana-wacana pesangon, tapi undang-undanganya kan belum begitu jelas juknis atau PP turunannya," ucapnya.
"Pensiun (PNS) ada, (sedangkan) kami belum jelas, belum-tidak ada juga. Karena sudah banyak teman-teman kami di (seleksi PPPK guru) tahap 1 yang 2019, (guru honorer) K2 kemarins udah pensiun, tidak dapat apa-apa," ucapnya.
Mahadi melaporkan, sejumlah guru PPPK juga tidak mendapat manfaat BPJS Kesehatan dari pemerintah daerah usai pensiun.
"Teman-teman yang sudah pensiun di tahun 2023, 2024, bahkan 2025 tidak ada dapat apa-apa setelah pensiun, dan BPJS Kesehatan mereka terputus otomatis dari pemerintah daerah," ucapnya.
Isu Karier Guru PPPK
Sementara itu saat berkarier, guru PPPK dinilai tidak punya jenjang karier yang jelas kendati sudah mengantongi kualifikasi S2 dan S3.
"Banyak guru sudah S2, S3. Kami mentok, S1, itu di golongan 9. Jadi tidak akan naik lagi ke golongan 10, 11, 12, seperti PNS. PNS itu mereka bisa naik setiap tahunnya melalui uji kompetensi, sedangkan kami mentok," ucapnya.
Ia juga menyorot sejumlah kasus saat pimpinan sekolah memprioritaskan guru PNS ketimbang guru PPPK untuk ikut peluang-peluang pengembangan kompetensi.
Masih di ranah karier dan jabatan, ia mengatakan guru PPPK tidak dapat menjadi pejabat struktural. Sementara guru PPPK bisa menjadi kepala sekolah, guru PNS dapat menjadi kepala dinas pendidikan.
Di samping itu, Mahadi juga mempertanyakan hak mutasi guru PPPK. Ia mengatakan guru PNS memiliki kesempatan mutasi, sedangkan guru PPPK dikembalikan pada kebijakan daerah masing-masing.
"Tidak ada, dikembalikan ke kebijakan daerah masing-masing. Dan tidak ada dasar hukum yang jelas," ucapnya.
Merespons isu diskriminasi guru PPPK, Komisi X DPR menyatakan mendorong pemerintah mendorong pemerintah untuk segera menyusun regulasi yang menjamin perlindungan hukum dan kepastian kerja bagi guru dan tenaga kependidikan non-ASN maupun ASN PPPK.
Dalam hal ini, regulasi juga mengatur status kepegawaian, hak atas jaminan sosial dan kesejahteraan, dan perlindungan dari pemutusan kontrak kerja yang tidak jelas.
Komisi X DPR menyatakan pihaknya juga mendorong penguatan skema ASN PPPK agar setara dengan PNS, terutama dalam hak pensiun, jenjang karier, dan perlindungan profesi.
"Mendesak pemerintah untuk mempercepat transformasi tata kelola guru secara menyeluruh, mulai dari proses rekrutmen, pembinaan berkelanjutan, hingga kepastian hukum dalam satu kerangka regulasi setingkat undang-undang," sambungnya.
(twu/nwk)