Soal Bullying Siswa, P2G: Petakan Potensi Kekerasan di Sekolah

ADVERTISEMENT

Soal Bullying Siswa, P2G: Petakan Potensi Kekerasan di Sekolah

Trisna Wulandari - detikEdu
Rabu, 21 Feb 2024 20:30 WIB
Boy showing STOP gesture with his hand. Concept of domestic violence and child abuse. Copy space
Soal bullying pada siswa, P2G menegaskan agar guru memetakan potensi kekerasan di sekitar sekolah, membuat strategi pencegahan kekerasan & penanggulangannya. Foto: Getty Images/iStockphoto/gan chaonan
Jakarta - Merespons kasus bullying di sekolah baru-baru ini, Koordinator Nasional Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim menegaskan agar guru, siswa, orang tua, dan masyarakat memahami Permendikbudristek No 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di Satuan Pendidikan. Ia menambahkan, guru perlu memetakan potensi kekerasan di dalam dan sekitar sekolah.

Satriwan menjelaskan, cek kembali nilai-nilai tradisi bernuansa kekerasan yang turun-temurun dari kakak kelas ke adik kelas di sekolah. Nilai-nilai ini kerap dianggap sebagai bentuk solidaritas kendati negatif, serta dianggap sebagai prestige di tiap angkatan.

Ia menambahkan, guru perlu memetakan peer group atau geng yang teridentifikasi melakukan kekerasan. Kelompok-kelompok ini kerap memiliki nilai dan tradisi tersendiri, penampilan, atau simbol sama tertentu.

"Bajunya misalnya, lengan bajunya dilipat satu yang sebelah kiri misalnya. Ya kan apalagi (di kasus baru-baru ini) sampai sembilan generasi ya gitu. Jadi ada penanda-penanda yang sebenarnya guru itu sudah memahami. Nah ini yang saya katakan sekolah gagal dalam mendeteksi dan memetakan potensi kekerasan di sekolah dan luar sekolahnya, dalam konteks yang Serpong ya," kata Satriwan pada detikEdu, Rabu (21/2/2024).

"Yang masuknya ada serangkaian proses, yang sebenarnya bersifat kekerasan, itu juga bentuk kekerasan," ucapnya.

Informan dari Masyarakat

Ia menambahkan, sekolah mesti punya pemetaan potensi kekerasan di luar sekolah. Data penunjangnya termasuk lokasi para siswa, waktu kumpul dan waktu pulang sekolah, agenda kumpul, titik kumpul, dan aktivitas di dalamnya yang dapat dihimpun bersama masyarakat sekitar.

"Berkaca kepada kasus di Serpong, kekerasan itu terjadi di luar sekolah, di wilayah masyarakat. Semestinya masyarakat dan sekolah itu hidup di dalam satu ekosistem, sekolah membuat kegiatan yang melibatkan warga. Kemudian juga ada keterlibatan masyarakat sekitar di dalam berbagai kegiatan yang bisa saling kolaborasi. Gotong royong bersama membersihkan lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat, sehingga masyarakat pun merasa memiliki, bahwa mendidik itu tidak hanya tugas sekolah," ucapnya.

"Sebagaimana tri pusat pendidikan Ki Hajar, pendidikan juga tanggung jawab masyarakat dan orang tua. Jadi kalau terjadi indikasi kekerasan di sekolah atau di luar sekolah, masyarakat dapat dengan senang hati terpanggil jiwanya, misalnya, untuk melaporkan kepada pihak sekolah, bahkan mencegah kekerasan terjadi," sambung Satriwan.

Pelatihan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan

Pelatihan pencegahan dan penanganan kekerasan untuk guru dan siswa, mulai dari mengenal jenis kekerasan, hingga pengaduannya, menurutnya juga perlu segera dilakukan. Berdasarkan Permendikbudristek No 46 Tahun 2023, Satriwan menjelaskan, sekolah harus membentuk tim pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah (TPPK). Tim ini wajib membuat pemetaan dan strategi pencegahan kekerasan dan penanggulangannya, termasuk seperti membuat hotline pengaduan kekerasan bagi semua stakeholders pendidikan.

"Pengaduan terkait kekerasan, saksi dan korbannya harus dilindungi oleh guru, oleh TPPK. TPPK itu unsurnya nggak hanya guru, ada unsur guru, unsur siswa, dan unsur masyarakat," sambungnya.

"Di Penmendikbud sudah ada dijabarkan detail soal kekerasan sampai kekerasan berat. Yang bentuknya mulai dari catcalling, kekerasan yang sifatnya misalnya body shaming, verbal, kekerasan seksual,kekerasan yang dilakukan secara cyber, cyber bully. Ini harus ada pelatihannya," tegasnya.

Sosialisasi Hukuman Pidana & Habituasi Nilai Positif

Ia menambahkan, sosialisasi kepada orang tua dan murid terkait hukuman hingga hukuman pidana atas bullying dan kekerasan lainnya perlu disampaikan. Di samping mengenal hukuman atas bullying dan kekerasan lainnya, pembiasaan nilai positif juga penting bagi siswa sehingga menjadi perilaku sehari-hari dan budaya positif sekolah.

"Budaya damai, budaya toleran, budaya nondiskriminatif gitu ya. Mutual respect, saling menghargai, mengasihi gitu ya. Budaya cinta, mengutamakan perdamaian, dialog dan seterusnya. Nah ini dibantu misalnya dengan quotes-quotes atau kutipan-kutipan yang bisa ditempel-tempel di pojok-pojok kelas, pojok-pojok sekolah, di dinding kelas, di tangga, atau di titik-titik yang anak bisa menyadarkan bahwa sekolah itu fungsinya adalah untuk menanamkan nilai-nilai kemanusiaan, bukan nilai-nilai kekerasan," jabarnya.

"Jadi bukan menghabituasi nilai-nilai atau tradisi yang negatif tadi," pungkasnya.


(twu/twu)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads