Wacana kebijakan libur sekolah selama puasa Ramadan menimbulkan polemik. Salah satu yang menyoroti dampaknya adalah Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G).
Koordinator Nasional P2G, Satriwan Salim khawatir jika libur sekolah selama Ramadan penuh akan berdampak negatif bagi siswa. Terutama karena siswa berpotensi tidak menjalani aktivitas pembelajaran dalam waktu yang cukup lama.
"Kami khawatir ini akan berdampak negatif terhadap tumbuh kembang anak. Karena apa? Anak-anak itu kalau diliburkan selama sekolah, justru mereka (berpotensi) bisa terjebak kegiatan-kegiatan negatif, misalnya game online, berselancar di dunia maya, waktunya akan dihabiskan untuk media sosial," terangnya dalam pernyataan yang diterima detikEdu, Jumat (3/1/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Anak yang libur sekolah, lanjutnya, juga dinilai akan kurang pengawasan. Sebab, saat mereka di rumah, orang tua yang semestinya mengawasi harus tetap bekerja. Ada yang ke pasar, ladang, sawah, kantor, hingga tempat usaha.
"Ini tidak memberikan pengawasan yang memadai dari guru, dari orang tua. Karena anaknya di rumah, orang tua tidak bisa mengontrol apa yang anak lakukan. Jadi kebijakan (libur sekolah selama Ramadan) ini sangat timpang," imbuh Salim.
Guru-guru di Sekolah Swasta Akan Terdampak
P2G juga menyoroti dampak yang akan terjadi pada guru jika sekolah diliburkan selama satu bulan penuh. Hal ini terutama berkaitan dengan penghasilan guru yang ada di madrasah swasta.
Salim membeberkan bahwa madrasah-madrasah yang di bawah Kementerian Agama (Kemenag), 95% merupakan madrasah swasta dan hanya 5% yang madrasah negeri.
Mirisnya, dari 95% madrasah swasta, sangat banyak madrasah yang menengah ke bawah. Gaji gurunya rata-rata hanya sekitar Rp500 ribu per bulan.
"Nah ketika anak nanti diliburkan, orang tua biasanya tidak akan membayar SPP secara penuh. Kalau orang tua tidak membayar SPP secara penuh kepada yayasan, (maka) yayasan akan berdampak pada pengurangan gaji guru. Karena finansial mereka akan berkurang juga dari orang tua," paparnya.
"Ini yang dikhawatirkan," tambahnya.
Kekhawatiran ini juga didapatkan dari laporan guru-guru di daerah. Salim menceritakan bahwa ada banyak pesan yang masuk ke dirinya soal kekhawatiran guru jika sekolah diliburkan sebulan penuh.
"Guru-guru di swasta mengatakan akan dipotong gajinya, sangat signifikan, karena orang tua tidak membayar SPP. Ini akan berdampak pada penghasilan mereka," ungkapnya.
Di sisi lain, dia juga menyoroti kondisi pada bulan puasa, yang biasanya konsumsi masyarakat meningkat, terlebih jelang Idul Fitri.
"Di satu sisi kebutuhan/pengeluaran meningkat tapi gaji dari sekolah justru berkurang, itu yang dikhawatirkan guru-guru," lanjut Salim.
Sekolah Jangan Diliburkan, Tapi...
P2G merekomendasikan, bahwa kegiatan pembelajaran di bulan Ramadan bukan diliburkan melainkan diatur sedemikian rupa. Salah satunya dengan membuat program-program pembelajaran yang dikombinasikan dengan kegiatan ritual bulan puasa.
Misalnya, pesantren Ramadan untuk siswa muslim. Kemudian yang nonmuslim bisa mengikuti kegiatan dari guru pendamping yang sesuai dengan agamanya, yang nuansanya pendidikan karakter.
"Jadi selama bulan Ramadan, bisa didesain kurikulum pembelajarannya adalah mengkombinasikan antara konten mata pelajaran dengan konten yang bernuansa ritual (keagamaan). Jadi jangan dipisahkan gitu keduanya," jelasnya.
Menurut Salim, sangat penting agar siswa tetap tumbuh dengan pembelajaran. Sebab, jika libur sebulan penuh tanpa pengawasan pembelajaran, anak akan berpotensi tertinggal dalam pencapaian kompetensi.
Selain itu, anak juga bisa tertinggal di dalam pencapaian materi pembelajaran yang sudah direncanakan pada awal tahun ajaran.
"Waktu 3 sampai 4 minggu kalau diliburkan betul-betul full, tidak ada pembelajaran secara akademis, ini akan mengancam ketertinggalan materi. Ini saya pikir harus dikaji dampak negatif terhadap pencapaian kurikulum ini juga oleh pemerintah," tutur Salim.
Kegiatan Belajar di Sekolah Selama Ramadan
Dalam hal ini, P2G merekomendasikan bahwa selama bulan Ramadan, jam pelajaran siswa di sekolah bisa dikurangi. Misalnya pada jenjang SMA/MA/SMK, waktu 1 jam pelajaran yang normalnya 45 menit diubah menjadi 30-35 menit.
Skema tersebut berdampak pada siswa bisa pulang sekolah lebih awal. Artinya, selama Ramadan, siswa bersekolah dengan jam belajar yang lebih cepat.
"Anak-anak tetap mendapatkan materi kurikulum atau pembelajaran intrakurikuler dan juga mendapatkan program kegiatan Ramadan yang bernuansa spiritualitas seperti Pesantren Ramadan. Bisa diintegrasikan, bisa juga dipisahkan hari atau waktunya," tulis P2G.
P2G berharap siswa tetap bersekolah masuk seperti biasa selama Ramadan. Hanya saja, pembelajaran dilakukan dengan cara mengombinasikan materi dan kegiatan-kegiatan yang bernuansa spiritualitas atau keagamaan.
"Keduanya simultan, bisa dilangsungkan bersama-sama, jadi tidak ada yang dirugikan satu sama lain," tutupnya.
(faz/twu)