Akses akan pendidikan pada zaman pemerintahan Belanda tentu tidak semudah saat ini. Kemajuan dalam bidang pendidikan bagi para bumiputra ditandai dengan berdirinya sekolah guru untuk memudahkan akses akan pendidikan.
Pada masa tersebut sekolah guru lebih akrab disebut sebagai Kweekschool yang mulai muncul pada akhir abad ke - 19 dan awal abad ke - 20, seperti yang dituliskan pada laman milik Kemdikbud.
Latar belakang didirikannya sekolah guru ini adalah karena dibutuhkan tenaga kerja terampil dengan harga yang terjangkau untuk menggantikan tenaga terampil yang berasal dari bangsa Belanda dan bangsa Barat lainnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdirinya sekolah guru di Indonesia diawali oleh peraturan pemerintah akan pendidikan untuk guru bumiputra pada tahun 1871.
Disebutkan oleh Praresta Sasmaya Dewi dalam artikel Perkembangan Kweekschool (Sekolah Guru) di Yogyakarta Tahun 1900-1927, bahwa sekolah guru di Indonesia pertama kali dibuka pada tahun 1852.
Berdirinya Sekolah Guru di Yogyakarta Pada Tahun 1897
Sekolah pelatihan guru-guru pribumi (Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers), mulai dibuka di Yogyakarta pada 6 Februari 1879. Siswa yang akan diterima dalam sekolah ini berada pada rentang usia antara 12 hingga 16 tahun dan diwajibkan telah lulus Sekolah Jawa kelas satu.
Sebelum diterima, para siswa akan melaksanakan ujian penerimaan yang dilakukan di hadapan komite sekolah oleh inspektur atau wakil inspektur dan dibantu oleh para guru dari sekolah tersebut.
Fasilitas yang diberikan berupa asrama, materi pembelajaran, dan alat tulis secara gratis seperti yang disebutkan oleh Departemen Pendidikan, Agama dan Perindustrian yang mengelola sekolah ini pada masa tersebut.
Para siswa akan menempuh masa pendidikan selama 4 tahun dan mendapatkan gelar yang setara dengan diploma saat ini. Melalui gelar tersebut, lulusan sekolah ini dapat menjadi guru Jawa dan memulai perjalanannya sebagai guru pembantu pada sekolah dasar Jawa kelas satu.
Materi pendidikan yang diberikan meliputi bahasa Jawa dan bahasa Melayu, ilmu pengajaran dan pendidikan (pedagogi), ilmu bumi, sejarah Hindia, membaca dan menulis, berhitung, mencetak, menggambar, menyurvei, ilmu pasti, dan sejarah alam. Pada siswa yang tingkat tinggi juga diberikan materi praktik mengajar.
Pendidikan agama pada sekolah ini hanya diberikan sebagai ekstrakurikuler. Disebutkan oleh Nakamura pada Bulan Sabit di atas Pohon Beringin (2021), KH Ahmad Dahlan pernah mengajar di sekolah ini dengan memberi materi terkait agama Islam.
Diketahui, sekolah guru ini memiliki departemen persiapan untuk mendidik murid sebelum mereka mulai belajar. Bagian ini disebut Voorbereidende Afdeling der Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers (Departemen Persiapan Sekolah Pelatihan Guru-guru Pribumi).
Selain itu, Reigids Jogjakarta en Omstreken (1909) dan jurnal Indisch Bouwkundig Tijdschrift (IBT) (Januari 1911) menyebut sekolah ini juga memiliki wilayah yang cukup luas dengan beberapa gedung yang difungsikan sebagai tempat belajar, asrama guru, rumah direktur, dan asrama siswa.
Pada tahun 1909, Reigids Jogjakarta en Omstreken menyebut jika jumlah siswa di sekolah tersebut adalah 50 orang.
Dituliskan pada jurnal IBT, sekolah guru ini menempati dua lokasi di daerah Jetis Yogyakarta. Saat ini sekolah guru telah berubah menjadi SMA 11 Yogyakarta, sementara gedung departemen persiapan telah menjadi markas Komando Distrik Militer (Kodim) 0734 Kota Yogyakarta.
Sempat Disewakan dan Disebut Sebagai Sekolah Raja Hingga Proklamasi
Perkembangan sekolah guru di Yogyakarta selanjutnya menyebabkan pengelolaan dialih tangankan dan tidak lagi sepenuhnya berada di bawah Departemen Pendidikan, Agama, dan Perindustrian.
Bahkan, disebutkan dalam Harian de Indische Courant pada 23 Mei 1924, bahwa gedung milik departemen persiapan telah disewakan kepada Yayasan Keuchenius hingga tahun 1928. Namun, yayasan ini diketahui juga mendidik guru sekolah bumiputra untuk sekolah Zending.
Melalui surat kabar De Standaard, diketahui bahwa pada 21 April 1928, pemerintah kembali meminta gedung departemen persiapan dan akan digunakan kembali sesuai dengan fungsi awalnya.
Sayangnya, tidak ditemukan sumber lain yang membahas sekolah guru bumiputra ini. Namun, sekolah ini tetap melekat dalam ingatan rakyat bahkan setelah proklamasi dan acap disebut sebagai Sekolah Raja karena biayanya ditanggung oleh Kerajaan Belanda.
Meskipun pada awalnya sekolah ini hanya ditujukan untuk mempermudah pencarian tenaga kerja terampil dengan harga terjangkau, tetapi sekolah guru ini dapat menjadi sarana dalam menunjang politik etis khususnya dalam bidang pendidikan.
(pal/pal)