Jalur zonasi adalah jalur masuk sekolah berdasarkan kedekatan geografis domisili calon siswa dengan sekolah yang ia lamar. Jalur zonasi merupakan salah satu jalur masuk siswa ke sekolah dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di jenjang SD, SMP, SMA, hingga SMK.
Pada pelaksanaan PPDB di berbagai daerah di Indonesia, jalur zonasi mendapat respons beragam dari siswa, orang tua siswa, hingga guru. Sebab, berbeda dengan jalur prestasi atau seleksi berdasarkan nilai ujian nasional (UN) dahulu, penerimaan siswa baru tidak lagi cukup memengaruhi apakah sebuah sekolah jadi sekolah unggulan atau tidak.
Baca juga: Cerita-cerita dari Sekolah yang Minim Siswa |
Terkait jalur zonasi, Pembina Yayasan Guru Belajar Najelaa Shihab berpendapat kebijakan ini tepat, terutama dengan adanya wajib belajar. Najeela menjelaskan, zonasi pada dasarnya adalah kebijakan untuk memastikan pemerataan kesempatan pendidikan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kesenjangan selalu lebih nyata di perkotaan. Jadi enggak heran, reaksi pertama yang anti (jalur zonasi) itu lebih banyak di tempat-tempat di kesenjangan itu nyata, seperti Jakarta, Bandung, hingga Surabaya. Tetapi, reaksinya itu dari mana? Dari orang yang selama ini menang di konteks kesenjangan-the winners," kata Najelaa di Jakarta, Kamis (16/3/2023).
"Dalam dasar kompetisi, ia menang dalam UN: bisa bimbel; punya orang tua yang nanya ke anaknya tiap pulang sekolah, menumbuhkan motivasi, dan sebagainya. Mereka yang selama ini menikmati kemenangan dalam ekosistem yang memperbesar kesenjangan," imbuhnya.
Najelaa menggarisbawahi, zonasi itu bukan kebijakan untuk menghukum orang-orang kaya dan bukan kebijakan untuk menghukum anak-anak pintar. Ia menjelaskan, zonasi sederhanyanya adalah soal siapa yang dekat (secara geografis dengan sekolah) maka dapat masuk sekolah itu, terlepas dari kaya atau pintar. Karena itu, zonasi merupakan bentuk pemerataan kesempatan.
"Kenapa itu tepat? Karena tujuannya sesungguhnya itu masuk sekolah negeri seharusnya tanpa seleksi. Jadi kalau yang nggak setuju zonasi itu, saya selalu tanya dulu, 'ini nggak usah ngomong kebijakan dulu, tujuannya sepakat, nggak?'" tuturnya.
"Harusnya, masuk sekolah negeri itu enggak pakai seleksi. Orang wajib belajar, negara punya tanggung jawab untuk memastikan semua anak sekolah. Kenapa ada zonasi? Zonasi itu dianggap sebagai metode seleksi yang paling nggak bias, metode seleksi yang dianggap paling bisa mengatasi isu kesenjangan," imbuhnya.
Najelaa: Tidak Perlu Seleksi Masuk kalau Jumlah Sekolah Cukup
Menurut Najelaa, jika jumlah sekolah sudah cukup, maka seharusnya tidak perlu sama sekali ada seleksi masuk.
"Cara membuat sekolah itu cukup seperti apa? Memastikan di setiap area, di setiap zona itu cukup. Jadi nggak bisa melihat kebijakan ini sebagai 'kebijakan oleh menteri ini, gubernur ini. Melihatnya itu ke sambungannya ke kebijakan lain itu apa, itu menggantikan apa, yaitu menggantikan metode seleksi dengan prestasi, dengan UN, yang dulu porsinya banyak. Masih ada nggak sekarang kebijakan metode seleksi dengan prestasi? Masih ada, masih 20 persen," tuturnya.
"Kalau ditanya, mungkin ekstrem bagi sebagian orang, idealnya bagi saya itu nggak ada seleksi. Nggak pakai prestasi, seharusnya itu no. Kenapa harus ada itu? Kita lagi bicara hak dasar warga negara," tambahnya.
Agar ketersediaan sekolah cukup bagi semua calon siswa, sambungnya, perlu pemerintah daerah dalam merumuskan kebijakan. Dalam hal ini, definisi cukup dapat meliputi sekolah negeri yang cukup, atau sekolah negeri dan swasta yang cukup.
"Kita baru bikin riset tentang zonasi di Jakarta. Kalau ditotal negeri dan swasta, itu 101 persen, udah lebih sebetulnya sekolahnya. Tapi apa yang bisa dilakukan pemerintah daerah untuk melibatkan swasta dalam PPDB? Kalau Jakarta bikin PPDB Bersama," ucapnya.
"Jadi memang nggak bisa satu kebijakan, secara umum persentasenya sampai sekian masing-masing daerah tentukan persentase daerahnya berapa. Kalau dalam konteks sekolah udah cukup dengan swasta, bikin PPDB Bersama swasta. Kalau belum cukup, bikin sekolah negeri tambahan. Jadi implementasinya di masing-masing bisa berbeda-beda," imbuh Najelaa.
Soal Imbas Jalur Zonasi ke Guru dan Sekolah Unggulan
Najelaa mengakui, terkait peningkatan kapasitas, tidak semua guru bisa serta-merta ikut pelatihan. Di samping itu, tidak semua pemerintah daerah punya kapasitas setara.
"Ada yang udah bisa lihat data, udah bisa merencanakan berbasis data, punya anggaran yang lebih besar dibanding yang lain. Ada juga pemerintah daerah yang amat terbatas. Nah di sini otonomi dari daerah itu menentukan strategi paling tepat itu seperti apa," katanya.
"Esensi Merdeka Belajar di level ekosistem itu sebetulnya juga di level kemerdekaan belajar yang dipraktikkan dinas-dinas pendidikan daerah, di mana menemukan tujuan-tujuan pendidikan esensial," tegasnya.
Menurut Najeela, kebijakan zonasi merupakan kebijakan yang berhasil, kendati belum di semua tempat.
"Kalau dibilang zonasi enggak ada penelitian atau evaluasinya, nggak kok, banyak, dan jelas itu policy (kebijakan) yang berhasil. Dalam konteks belum berhasil di semua tempat, dan protes keras dari SMA favorit, maka bukan salah kebijakannya," jelasnya.
"Justru perlu dilihat, kapasitas apa yang perlu ditingkatkan dari sekolah-sekolah ini yang sebelumnya kita lihat unggulan, tetapi di sistem lama. Begitu di sistem baru, ternyata justru saat menghadapi anak yang bervariasi, prosesnya harus berubah, nggak unggul lagi sekolah-sekolah ini. Jadi kita nggak nyalahin kebijakan, dan juga nggak nyalahin aktor-aktor yang masih butuh proses menjalani perubahan ini dengan baik. Ditingkatkan dan didampingi kapasitasnya," sambung Najelaa.
Ketua Yayasan Guru Belajar Bukik Setiawan mengatakan, dengan dihilangkannya ujian nasional, guru pun punya ruang lebih luas untuk menerapkan pembelajaran yang berpusat pada murid. Peluang ini menurutnya jadi solusi yang berpusat pada murid ketika zonasi dijalankan, dengan guru-guru di sekolah unggulan yang sudah terbiasa mengajar murid yang pintar kini mengajar murid dengan nilai yang rendah.
"Sudah teruji di mana-mana, bahwa kalau pembelajaran yang sesuai kompetensi awal murid, maka proses belajarnya jauh lebih cepat ketimbang menerapkan miskonsepsi 'murid harus ditekan atau dipaksa atau pintar," tutur pemikir Merdeka Belajar tersebut.
"Namun datanya, semakin murid ditekan, justru semakin mogok. Kalau tidak ada guru, tidak belajar. Tapi kalau tantangan belajarnya sesuai dengan murid, murid itu akan belajar sendiri. Tantangan guru dilihat sebagai hal realistis yang bisa dicapai, tidak jadi beban," tegasnya.
Bukik menambahkan, terkait kapasitas guru, peran pihak nonpemerintah jadi penting untuk mendukungnya, terutama dengan terkuncinya aturan sertifikasi guru di tingkat undang-undang,
Ia menambahkan, penting untuk melibatkan kepala sekolah dan pengawas yang menyambungkan antara perubahan di level makro dengan di ruang kelas oleh guru.
"Sehingga, apa yang jadi keluhan-keluhan guru itu bisa terjawab oleh teman-teman kepala sekolah dan pengawas," pungkasnya.
(twu/nah)