Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) mengubah Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) menjadi Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) tahun 2025. Salah satu yang diubah dalam perubahan ini adalah istilah zonasi diganti dengan domisili.
Pakar Pendidikan Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya Achmad Hidayatullah menyoroti sistem zonasi yang dihapus. Menurut pria yang akrab disapa Dayat ini, sistem zonasi dinilai masih baik untuk diterapkan.
"Karena dengan sistem zonasi artinya ada kontrol pemerintah untuk pemerataan pendidikan. Sistem ini masih diperlukan guna memperkuat collective beliefs masyarakat, bahwa dalam pemerataan pendidikan ini penting," kata Dayat sapaan akrabnya, Minggu (2/2/2025)
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dampak Sistem Zonasi Dihapus
Menurut Dayat, kesenjangan akan kembali muncul ketika sistem zonasi dihapus. Contohnya, sekolah unggul yang berisi anak dari keluarga dengan ekonomi kelas atas dan sekolah biasa dengan siswa yang berasal dari ekonomi kelas bawah.
"Jika sistem zonasi ini dihapus total, maka kesenjangan akan kembali tampak terlihat," ujarnya.
Baginya, selama ini banyak guru dari sekolah unggulan harus berjuang keras untuk bisa juara saat lomba. Sekolah unggulan akan sangat diuntungkan, sebab muridnya dari kalangan ekonomi kelas atas.
"Tentunya ini tidak baik untuk masa depan pendidikan Indonesia. Apapun namanya, substansi dari zonasi ini perlu dipertahankan dengan pengawasan ketat," jelasnya.
Dayat memberi catatan untuk memperhatikan distribusi guru. Sebab banyak sekolah unggulan negeri memiliki banyak guru dengan kualifikasi yang bagus.
"Pada sisi lain ada beberapa sekolah yang kekurangan guru. Sehingga penguatan kualitas guru tetap perlu dilakukan," katanya.
Apresiasi Bantuan Biaya untuk Siswa yang Gagal Seleksi
Di sisi lain, Dayat mengapresiasi langkah pemerintah membantu siswa yang gagal seleksi PPDB untuk masuk sekolah swasta dengan biaya ditanggung pemerintah.
"Selama ini memang salah satu masalahnya, sekolah negeri menambah rombel belajar dan nambah kelas yang berdampak terhadap menurunnya jumlah siswa di sekolah swasta di beberapa area. Oleh karena itu, pelibatan sekolah swasta ini juga bentuk keadilan dalam bidang pendidikan bahwa pendidikan bisa diakses oleh semua rakyat," urainya.
Ketika kuota di sekolah negeri telah penuh, siswa dapat memilih sekolah swasta dengan bantuan pemerintah.
"Hal ini akan berdampak pada penguatan terhadap sistem epistemologi beliefs atau keyakinan siswa, bahwa pengetahuan berkembang dan milik semua orang, bukan hanya kelompok tertentu saja," ujar Dayat.
Bantuan Pemerintah Pengaruhi Self-efficacy Siswa
Selain itu, Dayat menjelaskan konteks social cognitive theory yang diusulkan oleh Bandura. Bantuan pemerintah untuk siswa yang bersekolah di swasta tersebut dapat mempengaruhi Self-efficacy siswa.
"Karena dukungan pemerintah meskipun di swasta, siswa akan merasa mendapatkan perhatian sehingga mereka tetap memiliki kepercayaan diri bahwa mereka memiliki kesempatan yang sama untuk berhasil," pungkasnya.
(iwd/iwd)