Kalau begitu, guru harus adaptif dan kerja ekstra sediakan instrumen pembelajaran ya?
Betul, sudah seharusnya demikian. Guru itu profesional, seorang profesional itu diakui saat bekerja berlandaskan disiplin keilmuan yang terdefinisi dengan baik. Sama dengan dokter yang mengambil keputusan mengambil diagnosis berdasarkan ilmu, guru juga begitu berdasarkan ilmu kependidikan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Artinya, guru bukan sekadar pelaksana, tetapi juga profesional yang menggunakan judgement untuk menerjemahkan kebijakan jadi praktik pembelajaran. Harus lebih inovatif, adaptif, kreatif, sudah seharusnya demikian, bukan kerja administratif.
Jika kita takut guru belum bisa melakukan itu (menjadi profesional), mencegah pemerintah untuk memberikan kewenangan, memaksakan guru jadi pelaksana saja, sampai kapan pun tidak akan berubah sistem pendidikan kita.
Sebab, guru jadi dibiasakan jadi pelaksana, menunggu petunjuk teknis, arahan. Kalau birokrat oke, kalau guru nggak boleh, mereka professional workers.
Bagaimana jika penalaran anak sudah berkembang, tetapi terhambat internet atau infrastruktur?
Implementasi pembelajaran kontekstual itu justru harus disesuaikan kondisi lokal. Kalau sekolah susah sinyal, jangan bikin pembelajaran yang mengandalkan sinyal internet kuat. Pembelajaran berbasis project bisa macam-macam.
Contoh, sekolah di 3T bikin project terkait potensi sumber daya kelautan, kayak abon, inovasi pembuatannya. Itu contoh pembelajaran kontekstual, bisa dilakukan di sekolah yang terbatas akses. Jadi sangat memungkinkan, sangat fleksibel bagi sekolah untuk merancang pembelajaran.
Sepakat bahwa kesenjangan infrastruktur itu problem. Tapi ini ada banyak program lain. Kini, sekolah di wilayah terpencil ada subsidi lebih besar di BOS tadi, subsidi dari pemerintah. Ini upaya konkret untuk mereduksi kesenjangan belajar.
Apakah ada kurikulum di negara lain yang dijadikan acuan atau referensi saat menyusun Kurikulum Merdeka ini?
Kalau sebagai referensi, kita kaji banyak kurikulum, termasuk di negara lain, Australia, Ontario, Finlandia, dan lainnya. Tetapi tidak mentah-mentah mengadopsinya, ada konteks berbeda, ada acuan regulasi undang-undang berbeda di Indonesia, kekhasan budaya kita, kita tidak mungkin adopsi begitu saja kurikulum dari tempat lain.
Tetapi, prinsipnya bisa kita sarikan. Salah satunya yaitu tidak membebani siswa dengan konten akademik. Berat sekali kalau diwajibkan terlalu banyak, anak-anak kita tidak semuanya akademik, beragam, tetapi kurikulumnya malah ke akademik semua.
Jadi bukan dari The International Baccalaureate (IB) ya?
IB salah satu referensi, tetapi tidak mungkin kita adopsi satu model kurikulum. Kita punya konteks budaya dan regulasi beda, jadi tidak mungkin terjadi.
Masih akan ada penyesuaian materi Kurikulum Merdeka lagi sampai diterapkan di 2024?
Sampai 2024 masih masa evaluasi dan perbaikan kurikulum. Kita sengaja evaluasi bertahap, dibandingkan dengan strategi dulu, yang mana ditetapkan langsung sebagai kurikulum nasional.
Ini bertahap, ada evaluasi terbatas di sekolah penggerak, implementasi di sekolah yang melakukannya secara paralel. Dua tahun ke depan, kita ambil umpan balik dari lapangan, tidak hanya dari ahli. Sebab ahli kadang juga membayangkan dari lapangan. jadi kita lengkapi pandangan ahli dengan pengalaman sekolah di lapangan.
Jadi kita butuh waktu perbaikan agar 2024 untuk revisi dan perbaikan, sehingga bisa diterapkan jadi kurikulum nasional. Tetapi itu pun ada evaluasi berkala juga, terus memperbaikinya. Hanya saja moga-moga yang fundamental dan prinsipil sudah cukup matang.
Selanjutnya>>>